Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas.
Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu.
Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.
Tok..tok..
"Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya.
"Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang sangat mengenal aksen bicara gadis kecil itu, langsung saja menyuruhnya masuk. Kebetulan murid yang lain belum datang. Salsa duduk di atas karpet yang sudah dibentangkan Devit di ruang depan kontrakannya. Wajah Salsa yang imut memakai kerudung bewarna pink bergambar buah strawberry. Satu dua anak rambut keluar dari celah kerudungnya. Devit gemas sendiri dengan Salsa, dia menyukai gadis kecil itu, bukan ibunya.
"Caca mau baca peltama boleh tak Papa?" ucap Salsa.
"Panggilnya pak guru ya Caca, atau panggil Pak Devit," terang Devit mengajarkan Salsa untuk memanggilnya dengan sebutan seperti murid lainnya.
Salsa menggeleng. "No, papa aja," kata Salsa lagi. Wajahnya ditekuk karena cemberut. Devit tersenyum melihat wajah Salsa yang sangat tidak mirip dengan Juwi. Mungkin Salsa lebih mirip ayahnya, pikir Devit.
"Ya sudah yuk, Salsa baca pertama," ajak Devit mengarahkan Salsa untuk duduk di depannya membaca iqro' yang dibawa Salsa. Namun bukannya duduk di depan Devit, Salsa malah duduk di pangkuan Devit.
"Mau pangtu Papa," ucapnya kini sudah duduk manis di paha kanan Devit, sambil berpura-pura sibuk membuka iqro'nya. Devit membenarkan pecinya, sambil tersenyum kikuk. Kasihan Salsa sepertinya sangat merindukan ayahnya.
Tapi ke mana ayahnya? hingga sebulan Devit tinggal bersebelahan dengan mereka, tak pernah sekalipun Devit melihat ayah Salsa. Devit celingak celinguk memandang ke arah pintu, memastikan belum ada lagi yang datang, mengingat ini baru pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya anak-anak yang lain datang pada pukul enam tiga puluh.
Devit mencoba bertanya pada Salsa hal yang sangat ingin dia ketahui, namun menanyakan langsung pada Juwi, tentu saja Devit merasa sungkan.
"Mmm ... Salsa sudah makan?" tanya Devit basa basi, masih sambil memangku Salsa.
"Cudah, Papa," jawabnya sambil tersenyum manis, menunjukkan gigi susunya yang tersusun rapi.
"Makan pakai apa?"
"Pate telu cepok."
"Enak deh," ucap Salsa lagi.
"Habis tidak makannya?"
"Habis Papa, benel," ucap Salsa sambil menarik-narik kerudungnya.
"Ayah Salsa kok belum pulang?" tanya Devit memberanikan diri, kini tangan Devit membenahi kerudung yang dipakai Salsa.
"Ayah Caca cudah di dalam tanah Papa, dikubul," jawabnya polos.
"Innalillahi, a-ayah..Caca sudah meninggal?" tanyanya sambil berbisik dengan tatapan iba kepada Salsa.
"Meningal itu apa Papa?" Salsa malah balik bertanya dengan wajah polosnya.
"Meninggal itu saat kita dimasukkan dalam tanah dan dikubur," jelas Devit. Entah Salsa mengerti atau tidak perkataan Devit.
Salsa mengangguk. "Cepelti ayah Caca dong," katanya lagi.
Kini Devit tak lagi menanyakan kelanjutannya, tidak mungkin Salsa berbohong. Kasian Salsa, masih kecil sudah yatim. Kalau begitu Juwi adalah janda, nasibnya kurang beruntung masih muda sudah menjanda.
Tak lama murid yang lain berdatangan. Devit kembali memimpin murid-murid yang merupakan tetangga kanan kirinya, jumlah mereka tak lebih dari sepuluh anak, Salsalah murid termuda Devit.
Pukul delapan tiga puluh, Devit telah selesai mengajarkan semua muridnya, mereka lalu melaksanakan sholat isya berjamaah yang diimami oleh Devit sendiri. Salsa ikut sholat bersama kakak-kakaknya yang lain. Salsa anak yang pintar, saat ikut sholat tidak pernah bercanda atau banyak bergerak seperti kebiasaan pada anak seusianya.
"Caca...yuk pulang!" Juwi muncul di depan pintu rumah kontrakan Devit dengan hanya memakai piyama selutut bermotif keroppi.
Rambutnya yang panjang digelung ke atas, hingga menampakkan leher putih jenjangnya. Devit menelan salivanya sambil tercekat. "Astaghfirulloh ... jadi hilang semua pahala malam ini." gumam Devit sambil berpura-pura tak melihat Juwi yang berdiri di depan pintu.
"Ayo, Ca." Kini Juwi masuk sambil memegang tangan mungil Salsa mengajaknya bangkit dari posisi tidur-tidurannya di samping Devit yang masih asik membuka Alqur'an kecilnya.
"Mau bobo cini aja, Bunda," ucap Salsa enggan malah meletakkan kepalanya di paha Devit. Devit kaget mencoba bersikap ramah agar tidak ketahuan Juwi, bahwa dia salah tingkah sendiri dengan sikap Salsa.
"Eh, ini kan rumah pak guru, Salsa rumahnya di sebelah, bobo sama Bunda yuk," rayu Juwi lagi sambil duduk di dekat Salsa.
"Mau bobo sama Papa." Mata Salsa melihat Devit yang tersenyum kikuk.
"Papa siapa?" tanya Juwi ikut kebingungan.
"Papa Caca, ya kan Pa?" Salsa nyengir kuda menatap wajah Devit. Juwi kini paham, ikut tersenyum lebar.
"Caca...Caca...kamu bikin Bunda gemes aja." Juwi menggelitiki tubuh Salsa. Salsa tertawa cekikikan, Devit ikut tersenyum melihat keakraban antara ibu dan anak itu.
Ah...sebentar lagi tentu saja ia dan Sarah akan segera mempunyai anak yang lucu dan gemesin.
"Maafkan anak saya ya pak guru," ucap Juwi merasa sungkan sambil membenarkan posisi piyamanya yang tadi sedikit tertarik ke atas.
"Ah, eh ... iya, gak papa, namanya juga anak-anak."
"Ayo Salsa pulang dulu ya, Pak Devit mau belajar lagi," rayu Devit dengan lemah lembut.
Salsa menggeleng. Juwi pun merayu kembali Salsa, bahkan dengan iming-iming dibelikan es krim esok hari. Namun Salsa tetap menolak. Kini Salsa malah menangis.
"Ya sudah biar Salsa tidur di sini, nanti kalau sudah pulas, saya antar ke rumah," ucap Devit akhirnya mengalah. Tak tega juga melihat Salsa yang sudah sesegukan menangis tak ingin pulang.
"Bunda bobo cini juga ya," ucap Salsa lagi.
"Eh ... Kalau Bunda bobo di sini nanti Pak guru gak bisa bobo Ca," ledek Juwi sambil nyengir kuda.
Devit hanya tersenyum canggung, kini ia berdiri untuk mengambil laptop di atas meja, bermaksud mengerjakan materi yang akan besok ia berikan pada mahasiswanya.
Juwi pun pasrah, menemani Salsa tiduran di rumah Devit. Pintu rumah Devit masih terbuka, tentu tak enak jika tetangga melihat Salsa dan Juwi di rumah Devit. Juwi sudah sangat mengantuk, begitu juga Salsa, sedangkan Devit masih asik depan laptopnya sambil sesekali melirik ibu dan anak yang kini berada di ruang depan kontrakannya.
Kedua wanita itu akhirnya tertidur. Salsa tertidur di paha Devit, sedangkan Juwi tertidur dengan bersandar di tembok dengan kepala miring. Pemandangan apa ini hingga membuat hatinya berdesir.
Wajah teduh Juwi saat tidur sangat elok dipandang. Devit tak ingin melihat namun berkali-kali ekor matanya seperti tertarik magnet hingga menatap kembali wajah Salsa dan Juwi bergantian. Devit mengulum senyum, dengan pelan Devit membangunkan Juwi.
"Dek Juwi bangun," bisiknya.
"Apa loe?!" bentak Juwi dalam tidurnya. Juwi mengigau.
Devit tersentak. "Ett dah, serem amat nih cewek ngigonya," gumam Devit sambil bergidik ngeri.
"Juwi bangun, Salsa udah tidur," bisiknya lagi sambil mencolek bahu Juwi. Bukannya bangun Juwi malah melorotkan badannya hingga tertidur miring di samping Salsa.
Devit sampai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba membangunkan Juwi kembali. Namun Juwi terlalu pulas. Devit jadi bingung sendiri."Devit."
"Kakaak," ucap wanita paruh baya dan seorang remaja lelaki bersamaan. Devit terjengkit kaget mendengar suara yang sangat familiar. Devit menoleh.
"Ma." Mata Devit terbelalak melihat siapa tamu yang datang.
"Siapa mereka Devit?"
"Sayang, kok belum tidur?"
"Ayo sini tidur." Juwi dengan mata tertutup menarik lengan Devit untuk berbaring.
Mama Devit melongo, begitu juga dengan adik remaja Devit.
"Maa, Devit bisa jelaskan!" Devit melepas paksa lengannya dari tangan Juwi.
****
Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit."Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu."Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan."Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi."Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini."Kamu tahukan anak saya s
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membaca😘Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat Membaca😘Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa