Mentari pagi sudah menyingsing, banyak orang berlalu lalang memulai aktifitasnya di jum'at pagi ini. Devit memperhatikan lingkungan sekitar tempat ia mengontrak saat ini yang merupakan jalan utama. Jalan yang masih bisa dilalui mobil berukuran kecil sampai dengan sedang.
Devit menyesap kopinya, duduk dekat jendela. Pilihannya di situ karena dia nyaman dan bisa melihat langsung ke tetangga sebelah. Astaghfirulloh...apa kini yang ada dalam fikirannya. Tak mungkin ia...aah..sudahlah, tak ingin hanyut dalam nafsu setan yang tak berkesudahan.
Devit memutuskan kembali membuka laptopnya, mempelajari bahan ajar yang akan ia jelaskan pada mahasiswanya hari ini.
Took..took..
Pintu kontrakan Devit diketuk.
"Pak, assalamualaikum," seru Juwi, Devit hapal suaranya. Ia bergegas membuka pintu rumah dan ia lupa saat ini ia hanya mengenakan boxer pendek sepaha tanpa sarung. Biasanya Devit selalu menggunakan sarung dengan rapi.
"Wa'alaykumussalam," jawabnya lalu membuka pintu dengan tergesa. Kuncinya macet.
Sreeg
SreegDevit berusaha membuka pintu kontrakan, tetapi tidak bisa.
"Tunggu Juwi, ini kunci pintunya kok macet," ucap Devit tak sabar. Lelaki itu melihat Juwi membawa semangkuk makanan di tangan kanannya.
"Bukanya pake perasaan coba, Pak," seru Juwi sambil nyengir.
"Jangan kasar, Pak, yang lembut ngapah?" lanjutnya lagi.
"Ya ampun ni bocah ngomong apaan sih?" gerutu Devit sambil berusaha terus membuka lubang kunci yang masih seret.
"Kalau perawan mah gitu Pak, pasti susah bukanya, seret," ledek Juwi lagi di balik pintu sambil terkekeh geli.
Kini wajah Devit sudah semerah tomat, bayangan anak perawan tiba-tiba melintas. Ya ampun, masih pagi ujiannya udah berat banget. Devit bermonolog mengusap kasar wajahnya.
Cleekk
" Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.
"Ehh, Bapak seksi benar, ck!" Juwi memperhatikan Devit yang hanya mengenakan celana pendek sebatas paha, kulit Devit yang putih begitu kontras dengan celana boxernya yang bewarna merah menyala.
Devit tersadar menatap dirinya. "Duh, maaf, Dek." Devit berlari masuk ke dalam rumahnya, wajahnya semakin merah di pagi hari. Dia bergegas memakai sarung yang ada di atas ranjangnya.
Juwi senyum-senyum sendiri karena merasa berhasil menggoda tetangga barunya. Devit kembali menghampiri Juwi. "Eh ... ya ada apa, Juwi?"
"Keburu dingin deh kolak durian saya, kelamaan sih abapak bukanya." Juwi memberengut kesal sambil memberikan paket komplit kolak durian dengan ketan dan roti tawar.
"Wah, makasih Juwi." Mata Devit berbinar, tangannya menerima mangkuk pemberian Juwi. Seketika perutnya jadi keroncongan, padahal biasanya Devit baru mau sarapan setelah pukul sembilan pagi. Tapi entah kenapa, masih pukul tujuh dan perutnya meronta hendak melahap makanan yang dibawakan Juwi.
"Mangkoknya jangan lupa dikembalikan lho ya," ucap Juwi sambil berlalu kembali ke rumahnya.
Devit langsung duduk dekat jendela dan melahap kolak durian tersebut. Tak lupa sesekali melirik keluar jendela, melihat Juwi yang sedang membuka warung kelontongnya.
****
Jam pertama di kelas reguler selesai tepat pukul sepuluh tiga puluh. Devit keluar kelas dengan langkah ringan. Masuk ke ruang dosen dan duduk di mejanya."Undangan kapan dibagiin Pak Devit?" tanya Bu Ruri dosen matematika.
"Eh...itu, belum Bu, masih lama ini, Bu.l," sahut Devit sambil tersenyum canggung, hampir seminggu pindah ke kontrakan dan dia hampir saja melupakan persiapan pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Senyumnya terbit tatkala membuka ponsel dan nama Sarah ada beberapa kali mengirimkan pesan singkat.
"Jangan kelamaan Pak Devit, nanti calonnya Pak Devit bisa dicaplok orang," goda Pak Yusuf kini, dosen mata kuliah bahasa Arab.
"Kalau bukan calonnya Pak Devit yang dicaplok orang, Pak Devitnya yang dicaplok gadis lain," ledek Bu Ruri menyahuti candaan Pak Yusuf. Kedua dosen tersebut tertawa.
"Doakan yang baik atuh, Pak...Bu..." Devit hanya cengengesan sambil membuka pesan yang masuk.
"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana kabarnya? masih sibuk ya?
"Kapan Kak Devit ada waktu untuk membicarakan design undangan?"
"Saya tunggu di kantin kampus C ba'da dzuhur ya, Kak. Saya bersama Nuri, dia yang akan membantu kita berkaitan dengan undangan.
"Kakak ada waktukan?"
Devit merasa tak enak hati, pesan singkat yang dikirimkan Sarah tadi shubuh, baru siang ini sempat ia baca.
"Wa'alaykumussalam. Sarah. Maafkan Kakak yang baru sempat membaca pesan dari Sarah. Insya Allah siang ini Kakak akan ke kantin ya. Maaf sekali lagi."
Sesuai dengan janji awal, Devit dan Sarah juga Nuri bertemu di kantin kampus. Tampak Sarah memakai kerudung panjang bewarna biru dongker dengan gamis yang senada. Wajahnya teduh, senyumnya manis. Wanita sholeha impian setiap lelaki sholeh. Beruntung sekali Devit dapat meminangnya. Sarah adalah satu-satunya puteri dari pasangan Pak Haji Aryo Ibrahim dan Ibu Hajah Dewi. Orang tua Sarah adalah seorang camat di wilayah Jakarta timur.
Kenali Bibit bebet dan bobot seseorang sebelum engkau hendak menghalalkannya. Itulah yang selalu nenek Devit sampaikan kepada cucu-cucunya yang berjumlah enam orang ini. Devit adalah cucu pertama dari anak laki-laki.
"Kak, kok melamun?" tanya Sarah saat Nuri asik menjelaskan design undangan, sedangkan Devit pikirannya mengawang-awang.
"Ah, nggak kok Sar, rasanya cepat sekali waktu berlalu ya, sebentar lagi saya segera memiliki istri yang cantik dan sholeha," puji Devit sambil tersenyum kepada meja di depannya. Tak berani dipandangnya wajah Sarah yang mungkin saat ini bersemu merah.
"Ahai, calon pengantin tersipu malu," celetuk Nuri sambil terkekeh. Terlihat Sarah mencubit lengan Nuri, wajahnya merona.
"Beruntungnya aku," gumam Devit lagi.
"Mbak, ini pesanan es cendol duriannya." Seorang pelayan kantin menghantarkan segelas es krim durian ke depan Sarah dan Nuri.
"Makasih, Mas, "Ucap keduanya.
"Kakak mau pesan juga?" tanya Sarah kepada Devit.
"Tidak Sar, teirma kasih. Tadi pagi saya sudah makan durian," jawab Devit yang tiba-tiba terlintas di kepalanya adalah wajah oriental Juwi dengan seringainya. Devit menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir tampilan Juwi.
"Emm ... kenapa, Kak?" Sarah memandangnya aneh.
"Eh, gak papa, Sar ." Devit menjadi kikuk sendiri, matanya kembali menatap laptop Nuri untuk fokus pada undangannya.
Hampir dua jam mereka bertiga berdiskusi. Akhirnya final pada undangan berwarna biru disertai sedikit tinta gold pada tulisan dan bingkainya. Warna sesuai keinginan Sarah dan Devit juga menyukainya. Nuri telah mencatat semua hal yang diperlukan dalam pembuatan undangan Sarah dan Pak Devit dosennya. Serta berapa banyak yang akan dicetak. Devit menyerahkan sepuluh lembar uang merah, sebagai DP biaya mencetak undangan, namun Nuri menolak. Jika design sudah oke dan akan naik cetak baru Nuri mau menerima DP nya.
Mereka akhirnya berpisah, Sarah dan Nuri kembali ke kelasnya, karena masih ada bimbingan skripsi, sedangkan Devit kembali ke ruang dosen, ia akan mengajar di jam tiga sore.
"Terimakasih untuk hari ini, Kak."
Devit membaca pesan Sarah. Senyumnya mengembang.
"Sama-sama calon istri."
Devit membalas pesan Sarah, tak lupa menyertai juga emot senyuman.
****
Hampir magrib saat Devit sampai di kontrakannya. Rumah bercat putih di sampingnya yang tak lain adalah rumah Juwi dan ibunya, sepertinya sedang banyak menerima tamu. Devit melihatnya heran, tak seperti biasanya. Devit duduk di kursi teras kontrakannya sambil membuka sepatu."Bundaaaa......Caca mau pelmen!" rengek seorang anak kecil berusia tiga tahun dari depan pintu rumah Juwi.
"Maaf ya, Nak. Tidak baik makan permen, nanti gigi Salsa sakit, makan biskuit aja yuk!" Juwi menggandeng anak kecil cantik bernama Salsa itu dan mengajaknya ke warung.
"Hah?" Devit melongo, wanita yang dipanggil bunda itu adalah Juwi. Masih terkesiap Devit seakan terpaku duduk di kursinya, padahal sebentar lagi adzan magrib tiba, tak pernah Devit mau melewatkan sholat wajib berjama'ah di masjid.
"Ohh, kirain masih gadis, ternyata sudah punya anak." Devit bermonolog dengan hati yang mendadak lemah.
"Aish, untuk apa aku jadi kepo seperti ini? Ck...Devit...Devit...ingat..sebentar lagi kamu menikah," gumamnya dalam hati.
Juwi tak sengaja bertemu pandang dengan Devit, Juwi tersenyum ramah, sedangkan Devit tersenyum canggung.
"Bunda, ayo macuk, udah mau malgib," oceh gadis kecil itu sambil menarik tangan Juwi.
Devit pun masuk ke dalam rumahnya, mandi dan bergegas sholat ke masjid. Hari ini Devit sempat membeli sayur matang dan ia panaskan untuk makan malam.
Devit menyuapkan nasi dan sayur ke dalam mulutnya, namun tak berselera. Ada apa dengannya? Saat mulutnya malas menyuapkan nasi, tapi matanya rajin melihat ke jendela, di sana Juwi sedang bermain dengan gadis kecil itu, sangat keibuan.
Berbeda jika saat bicara dengan Devit yang suka ceplas-ceplos. Tunggu, jika itu adalah anaknya, suaminya mana? Apakah seorang pelaut jadi jarang pulang? ataukah suaminya sedang tugas keluar kota, ataukah Juwi istri kedua, matanya masih asik di depan jendela.
Ting
Bunyi pesan singkat di ponsel Devit.
"Ngeliat apaan sih Pak dari jendela?"
Mata Devit melongo membaca pesan singkat Juwi. Ya ampuun ketahuan! Wajah Devit pun kembali merona semerah tomat.
Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas.Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu.Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.Tok..tok.."Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya."Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang
Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit."Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu."Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan."Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi."Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini."Kamu tahukan anak saya s
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membaca😘Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak