Setiap keinginan, terlepas itu sesuatu yang baik atau buruk, selalu menuntut pengorbanan. Bahkan keinginan yang mulia sekalipun, tak jarang berakhir tragis dan menjadi penyesalan bagi mereka yang tak bisa menahan diri.
Itulah yang terjadi pada seorang prajurit gagah perkasa, yang membaktikan hampir seluruh hidupnya untuk kebaikan orang banyak. Setelah kematiannya, dia meninggalkan istri dan anak yang hampir tak merasakan kehilangan. Karena mereka sudah kehilangan dirinya jauh sebelum kematiannya.
“Yang tabah yo, ndok!” pesan seorang perempuan tua terhadap janda yang masih terlihat sangat muda itu.
Meski wanita itu nampak kuat, tak sedikitpun ada kesan sedih dan kelemahan pada dirinya. Namun perempuan tua tersebut masih nampak khawatir terhadapnya. Karena seorang janda yang masih begitu cantik dan belia itu sekarang ditinggal suami tanpa seorangpun penjaga.
Sementara anak laki-lakinya masih sangat muda. Apa lagi mereka tinggal di pinggir hutan, agak jauh dari rumah-rumah penduduk desa lainnya.
“Rangkabumi adalah pahlawan dan kebanggaan desa ini. Jika ada masalah, jangan sungkan mendatangi kami,” pesan kepala desa sebelum dia dan penduduk desa lainnya memutuskan untuk pergi dari kuburan tersebut.
Di depan batu nisan itu, setelah semua tangis dari khalayak ramai sirna dan meninggalkannya, tinggallah istri dan satu orang anak dari kesatria itu di sana. Mereka berdua hanya terdiam tak tahu harus bereaksi bagaimana, karena mereka sudah terbiasa belajar hidup ditinggalkan sejak lama oleh sang kesatria.
Kepergiannya sekarang tak lagi begitu menyedihkan mereka. Satu-satunya yang mereka pikirkan saat ini adalah bagaimana untuk terus hidup setelahnya. Karena sang kesatria yang dielu-elukan sebagai pahlawan itu tak meninggalkan harta selain rumah sederhana dengan kebun sempit di belakangnya.
“Kamu dengar, Rangkahasa!” seru sang ibu pada anaknya. “Jangan biarkan keinginanmu membuatmu buta, tak peduli seberapa mulianya keinginanmu,” pesannya di depan kuburan suaminya yang mati sebagai seorang pahlawan itu.
Wanita itu pun mengelus rambut anaknya dengan penuh perhatian. “Apa lagi, jika keinginanmu itu sudah menyangkut kehidupan orang lain,” lanjutnya menasehati dengan penuh penekanan.
“Baik, Bu!” jawab anak tersebut, meski mungkin dia sendiri belum sepenuhnya mengerti akan pesan yang diterimanya.
Sang ibu menepuk bahu anaknya tersebut dua kali, sekadar memberitahu sudah saatnya mereka pergi meninggalkan tempat pemakaman. Namun anak laki-laki tersebut masih menyempatkan berdiam diri di depan pusara ayahnya.
Dia tak tahu kalau wejangan dari ibunya tadi berhubungan dengan kondisi ayahnya itu. Namun tetap saja, ayahnya adalah seorang pahlawan baginya. Dia hanya ingin sedikit lebih lama mengenang dan merasakan kebanggaan tersebut di dalam dadanya.
Ibunya terhenti sesaat, menoleh ke arah anaknya. “Rangkahasa?” panggilnya dengan nada yang lembut.
Anak laki-laki itu akhirnya pergi meninggalkan pusara ayahnya, membalas senyuman ibunya dengan senyuman yang tak kalah lembutnya.
Menjelang senja, mereka sampai di halaman rumah mereka yang letaknya cukup terpencil jauh dari penduduk lainnya. Sang anak meminta izin pada ibunya untuk pergi ke tempat di mana dia biasa menambatkan sapi-sapi piaraannya. Tak mungkin sapi-sapi itu dia biarkan bermalam di luar sana.
“Jangan terlalu lama. Sebentar lagi gelap, nak!” pesan sang ibu sebelum dia memasuki rumah mereka yang sederhana sendirian.
Begitu wanita itu masuk ke dalam rumah, alangkah terkejutnya ia ketika menemukan seorang laki-laki sudah duduk menantikan kedatangannya di dalam rumah. Wajah yang tak asing baginya. Namun ketidakasingan itu justru membuatnya merasa tidak nyaman berada satu ruangan dengannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya wanita tersebut. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Aku bisa saja memanggil warga desa untuk datang ke sini dan melaporkanmu sebagai perampok,” ancamnya.
Laki-laki itu malah tersenyum seakan tak peduli dengan sambutan tak ramah si tuan rumah yang tak menerima kehadirannya. Dia pun berdiri, dan berjalan menghampiri wanita itu.
Hal itu membuat wanita tersebut semakin risih. Dia mengeluarkan belati dari kantong yang terbuat dari anyaman daun pandan yang dijinjingnya, dan langsung menghunuskannya pada laki-laki tersebut.
Laki-laki itu santai saja terus berjalan ke arahnya. Masih dengan senyuman yang sama seakan tak peduli sama sekali. Namun ternyata dia terus berjalan menuju pintu keluar, yang pada akhirnya membuat wanita itu sedikit lega.
Hanya saja, begitu wanita itu berbalik, laki-laki itu ternyata menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
“Kenapa tidak coba saja berteriak?” tanya laki-laki itu dengan seringainya yang buruk.
“Mungkin masih ada dedemit yang masih mau menolongmu,” lanjutnya seakan mengejek peluang wanita itu untuk mendapatkan bantuan. “Atau kau bisa meminta bantuanku untuk mengisi kesepianmu setelah kematian suamimu,” lanjutnya dengan tatapan yang penuh nafsu.
Wanita itu nampak tak senang dan menatap laki-laki itu dengan tatapan merendahkan.
“Kau tahu, sifatmu yang kotor seperti inilah yang membuatku tak pernah bisa menerimamu. Tak peduli seberapa gagah dan perkasanya dirimu, aku yakin tak ada satupun wanita di dunia ini yang akan mau menerimamu,” jawab wanita tersebut.
Namun laki-laki itu masih tetap dengan seringai jeleknya. Seperti sadar kata-katanya sudah tak lagi ada artinya, wanita tersebut bergegas menuju dapur hendak melarikan diri lewat pintu belakang.
Laki-laki itu mencabut sebuah keris dari pinggang bagian belakangnya, dan langsung menancapkannya ke lantai kayu dari rumah. Seketika itu juga, bagian di mana keris itu tertancap langsung berubah seperti onggokan daging.
Daging itu nampak berdenyut, terus menjalar dan menyebar dengan cepat ke seluruh isi rumah.
Ketika wanita itu sampai di pekarangan bagian belakang, dia melihat anaknya baru saja memasukkan hewan ternak ke kandang. Anaknya datang menghampiri sang ibu yang nampak gelisah dan ketakutan. “Ada apa, Bu?” tanyanya. “Kenapa wajah Ibu pucat begitu? Padahal aku tidak terlalu lama. Ini semua sapi sudah aku masukkan ke kandang,” lanjut anak laki-laki tersebut, yang merasa wajah pucat ibunya itu karena mengkhawatirkan dirinya. Namun sang ibu tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia langsung menarik tangan sang anak untuk segera pergi meninggalkan rumah. Hanya saja, ketika dia hampir mencapai pagar samping rumah, tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar seperti terjadi gempa yang dahsyat. “Bu, ada apa ini?” tanya anak tersebut panik sembari memegangi pagar rumah. Namun tentu saja sang ibu sama tak tahunya dengan apa yang sedang menimpa mereka. Gempa semakin kuat menghentak tanah. Kedua ibu dan anak tersebut duduk bersimpuh sembari memagut pancang kayu dari pagar halaman. Namun pagar itu
Anak tersebut mulai kesulitan mempertahankan pikiran sehatnya dengan kengerian mimpi buruk yang dialaminya. Lebih-lebih harus melihat ibunya mulai digerayangi oleh laki-laki yang tak dikenalnya. Pandangannya semakin kabur tak kuasa mengalami semua kengerian itu.Lalu tiba-tiba saja, terlihat olehnya laki-laki itu berhenti seperti tak lagi berniat meneruskan keinginan untuk melampiaskan hawa nafsunya.“Seperti yang kau katakan, sama sekali tidak ada kepuasan jika aku melakukannya seperti ini,” kata laki-laki itu, nampak menjauhi wanita tersebut.Dia pun mulai berjalan menuju ke arah keris yang ditancapkannya ke lantai. Laki-laki itu memegang keris tersebut dan mulai memejamkan matanya sesaat. Tiba-tiba seisi ruangan mulai dijalari oleh daging-daging yang berdenyut-denyut.Seisi rumah itu sekarang diliputi oleh daging berdenyut di segala sudutnya. Situasi mereka
Setelah itu, dia memungut sarung keris dari tubuh pria yang dibunuhnya dan memasukkan keris tersebut kembali ke dalam sarungnya.“Yah, setidaknya kebodohanmu membuat urusanku menjadi sedikit lebih mudah,” jelas laki-laki itu.Gumamannya baru terhenti setelah mendengar suara batuk dari anak lak-laki dari wanita tersebut. Diapun menghampiri anak tersebut dan memeriksa keadaannya.“Tak kusangka dia masih hidup. Hei bocah, sadarlah!” seru laki-laki itu menepuk pipinya.Mata anak itu seperti terbuka sedikit tapi tak jelas apakah dia kembali sadar atau tidak. Laki-laki tersebut melihat ke sekelilingnya, dan mulai khawatir kalau-kalau dia yang nanti dituduh sebagai pelaku atas kejadian naas tersebut. Meski senja sudah berangsur semakin gelap, siapa saja bisa datang ke tempat itu dan akan salah paham bila mendapati dirinya yang o
Laki-laki bernama Mergo itu adalah seorang pemimpin perampok gunung. Meski hidup sebagai perampok, di balik jubah lusuhnya itu dia adalah seorang pendekar gagah yang berkharisma, dan juga memiliki ambisi dan idealisme yang tinggi. Sejak mendapatkan senjata iblis yang sudah lama dicari-carinya itu, dia langsung mengajak rekan-rekannya beralih profesi menjadi tentara bayaran. Meski lambat namun pasti, seiring waktu dia berhasil menaikan nama kelompoknya. Diawali dengan ikut sertanya dia dan kelompoknya ke dalam peperangan antara dua kerajaan yang berdekatan. Tak ada satupun yang mengenal kelompok ini dan berada di posisi mana mereka berpihak. Namun keahlian mereka bertempur mengundang ketertarikan dari kedua kubu. “Siapa mereka?” tanya salah seorang panglima perang yang mengamatinya dari kejauhan.“Sabdo, segera cari tahu mengenai orang tersebut,” titahnya pada seorang ajudan. Di sebuah warung makan, seorang utusan dari salah satu kubu yang berperang menghampiri Mergo. Dia langsung m
Sudah lebih dari satu minggu pertempuran di dekat Sungai Bhagawanta itu berlangsung. Pasukan musuh yang datang dari arah laut yang hendak menguasai Benteng Watukalis belum juga mampu merebutnya. Benteng Watukalis yang dipimpin oleh Panglima Adipati Labdajaya memang terkenal cukup kuat, karena menjadi titik penting untuk mempertahankan Kerajaan Cakradwipa dari arah selatan.Namun musuh itu selalu kembali meski sudah berkali-kali berhasil dipukul mundur. Di pertempuran keenam setelah penyerangan pertama mereka, lagi-lagi mereka langsung mundur begitu melihat keadaan tidak berpihak. Padahal pasukan mereka masih cukup besar untuk melanjutkan pertempuran.Prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng bersorak gembira atas keberhasilan mereka mempertahankan Benteng Watukalis. Namun sang Panglima nampak tak senang. Dia terlihat sedikit gusar karena yakin pasukan itu akan datang lagi, sementara masih banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri.
Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab
Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka. “Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya. “Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya. “Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.
Meski tidak bisa ditebas dengan pedang, roh-roh jahat itu juga tidak bisa melukai mereka. Beberapa roh jahat itu berhasil mendekati Rangkahasa, melayang begitu cepat dan menembus tubuhnya. Rangkahasa langsung bertekuk lutut menahan rasa sakit di kepalanya. Meski tak melukai secara fisik, roh-roh jahat itu mampu melukainya secara mental, memakan sari pati hidupnya sedikit demi sedikit.