Seorang gadis kecil bergaun putih, berlari kesana-kemari mengejar kupu-kupu. Ia tidak berniat menangkap, hanya ingin mengagumi keindahan salah satu ciptaan Tuhan itu saja.
“Sammy lihat, dia sangat cantik.” Sesekali gadis kecil itu akan menoleh kebelakang, dan berbicara pada anak laki-laki yang tengah duduk membaca buku di bangku taman.
Bocah berusia awal 10 tahunan dengan wajah datar itu, dengan sabar menjawab pertanyaan si gadis kecil. “Kamu lebih cantik, peri kecil,” jawabnya dengan mata yang fokus pada buku ditangannya.
Tapi sepertinya, jawaban itu tidak disukai oleh gadis kecil berkuncir dua itu. Terbukti dari bibirnya yang perlahan mengerucut, juga alisnya yang menyatu. Ia kemudian berkacak pinggang, dan menatap bocah laki-laki itu dengan tajam. “Tidak. Kupu-kupu ini lebih cantik,” sanggah gadis itu tidak mau kalah.
Anak laki-laki itu hanya bisa menarik nafas dalam, kemudian menutup bukunya, dan menatap gadis itu.
“Tata sudah meninggal sejak aku masih kecil, sayang.” Samudera menatap Agni lekat.Agni terkejut dengan penuturan Samudera, “T-tapi... Aku Tata, Sam. A-aku ingat momen pas kita ngambil foto itu, sama bunda Peri.” Agni mencoba menjelaskan.Bagaimana mungkin dia bisa meninggal? Dia tidak mungkin salah. Agni memang tidak tahu, kenapa ia bisa lupa kenangan masa kecilnya, tapi kalau dibilang meninggal, sangat keterlaluan.Samudera mengernyit heran. ‘Tidak mungkin!’ batinnya.“Kamu percaya aku kan, Sam? A-aku beneran Tata....” Mata Agni sampai berkaca-kaca melihat Samudera yang terlihat tidak mempercayainya.Samudera mengumpat dalam hati saat melihat istrinya akan menangis. “Hei, hei... Tenang oke, aku percaya sama kamu,” Samudera mengusap kedua pipi Agni penuh sayang, merasa bersalah karena sempat meragukan wanitanya. “Aku percaya kamu itu Tata. Tata-nya Aku. Jangan menangis.” Samud
Hari sudah malam, ketika Agni perlahan membuka matanya. Ia mendapati Samudera tengah duduk di samping ranjang, sembari menatapnya dengan wajah khawatir.“Sam...,” Lirih Agni.Suara lirih Agni, berhasil menyadarkan Samudera dari lamunannya.“Kamu sudah, bangun? Ada yang sakit?” Samudera memindai keadaan Agni. Ia lalu mengusap pipi istrinya itu, kemudian mengecek suhu badan Agni, memastikan apakah istrinya sudah baik-baik saja atau belum.Agni tersenyum tipis, kemudian menggeleng. “Aku baik... Em, air....” Agni terbatuk kecil, tenggorokannya terasa sangat kering.“Oh... Sebentar.” Samudera mengambil air yang ada di nakas, lalu membantu Agni minum.Setelah itu, ia kembali memperhatikan istrinya. Jujur saja, Samudera masih khawatir dengan keadaan Agni. Ia takut, kalau-kalau munculnya memori itu, bisa mempengaruhi mental wanitanya.Setelah cukup tenang, Agni baru mengedarkan pandangannya ke s
Dengan terkekeh kecil, Bima menatap Samudera. “Jadi kamu sudah tahu? Baguslah.”Mereka semua terkejut mendengar tanggapan Bima. Terlebih Samudera, pria itu terlihat marah mendengar nada santai dan sedikit mengejek dari sang kakek.Suara gemeletuk gigi terdengar, membuat suasana semakin mencekam. Tangan Samudera terkepal kuat dan rahangnya terlihat mengeras, tetapi sang sumber masalah justru terlihat sangat santai. Seperti tidak terjadi apa-apa.Melihat ketegangan yang diakibatkan oleh dua gunung Es keluarga Aditama itu, tidak ada yang berani angkat bicara. Bahkan Ratna yang biasanya cerewet pun, memilih untuk tutup mulut. Jika itu adalah Lautan, mungkin Ratna akan memarahi putranya itu. Akan tetapi, karena yang berdiri dihadapannya saat ini adalah cucu tersayangnya, Orang yang ia dan Bima besarkan sendiri... Ratna lebih memilih cosplay menjadi arca saja.Lebih baik cari aman.“Duduklah.” Setelah lama terdiam Bimasakti akhirn
“Sudah kuduga kalau itu, Kakek.”“Sayang..!” Samudera berseru dengan keras. Terkejut mendengar tanggapan santai dari sang istri.Bukan hanya Samudera, Lautan, Mayang dan Ratna juga terkejut mendengarnya. Hanya Bimasakti sajalah, yang terlihat tenang. Seolah ia sudah tahu Agni akan menanggapi seperti ini.“Kakek juga sudah menduga, kalau tanggapan kamu akan seperti ini.” Bima terkekeh kecil. “Ya, setidaknya kamu lebih bisa menyikapi suatu masalah dengan kepala dingin. Tidak seperti seseorang,” ucap Bima, sembari menatap Samudera. Ejekan sangat nampak dari tatapan Bima, membuat Samudera salah tingkah.“Jelaskan, Kek!” ucap Samudera setelah mendapatkan kembali ketenangannya.“Apa yang perlu dijelaskan? Bukankah semua sudah cukup jelas?” Bima mengangkat sebelah alisnya.“Kakek....”“Jadi Kakek orangnya?” suara Agni membuat semua orang mengalihk
Samudera hanya bisa mengucapkan maaf. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia juga tidak bisa membela diri, setelah semua perbuatannya dulu diketahui oleh Agni.Agni masih menatap Samudera lekat. Jujur saja ia terkejut. Agni boleh saja terlihat tenang di permukaan, tetapi tanpa disadari oleh yang lain, ia tengah dalam pergolakan batin.Keheningan yang mencekam itu, pecah oleh dering telepon genggam milik Agni.Seketika itu juga, fokus semua orang beralih pada Agni. Begitu juga Samudera. Ditengah tatapan semua orang, Agni justru mengernyit saat melihat nama Marni sebagai identitas penelepon.Agni bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat wanita paruh baya itu meneleponnya... Bukankah saat ini Marni tengah menemani Aska?Tidak ingin larut dalam prasangka, Agni segera menggeser ikon hijau pada gawainya, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Iya halo, Bu....”Agni mengerutkan keningnya, saat mendengar kepanikan dari suara
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha