"Ai, kita berhenti cari makan dulu, gimana?" tanya Amir mulai menepikan mobilnya.
Ina menoleh, menatap Amir. "Boleh deh, aku laper, ai."Saat ini mereka sedang berada di alun-alun Jogja untuk beristirahat terlebih dulu. Di sana, begitu banyak warung yang menjual berbagai makanan, dan gudeg menjadi pilihan mereka untuk makan malam. "Bu, gudegnya dua es teh satu es jeruk satu," kata Amir pada si penjual.Sambil menunggu pesanannya datang, Amir memilih mengajak Ina duduk lesehan. Bahkan sejak turun dari mobil hingga mereka duduk berdua lesehan, tangan mereka saling tertaut dan tidak terlepas. Sesekali Amir mengusap tangan Ina, menepuk-nepuknya. "Ai," panggil Ina pada Amir.Amir menoleh, menatap istrinya yang entah kenapa terlihat sangat cantik. "Hm?"Ina menghela napasnya, mendesah ringan. "Nggak papa, kangen aja sama kamu," gumamnya lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Amir.Amir terkekeh, tangannya beralih mengusap bahu Ina. "Bohong banget kamu, pasti ada sesuatu yang mau disampein ya?" tebaknya."Nggak kok, beneran. Aku emang lagi kangen aja sama kamu," elaknya meyakinkan Amir. Entahlah, Ina hanya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya entah itu apa.Baru saja Amir akan membuka mulutnya, menjawab kalimat Ina, makanan mereka datang dan sudah tersaji di atas karpet. "Silakan Pak, Bu.""Terima kasih, Bu," balas Amir mengangguk.Mereka mulai menikmati makanan khas Jogja itu ditemani suasana alun-alun di malam hari. Tidak ada yang membuka percapakan, keduanya sibuk menikmati makanannya hingga tandas tak tersisa."Alhamdulillah," kata Amir setelah pria itu bersendawa pelan."Habis ini mau langsung perjalanan pulang atau gimana, ai?" tanya Ina membuka percakapan setelah lama diam.Amir melirik arlojinya, menimbang-nimbang karena sekarang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. "Kita cari penginapan dulu aja deh, yang dekat-dekat sini," katanya memutuskan, Ina mengangguk mengerti memilih mengikuti suaminya itu.Butuh waktu lima belas menit untuk mereka akhirnya menemukan penginapan. Setelah check in, mereka menuju kamar sesuai dengan nomor yang tertera, 69.Begitu pintu terbuka, Ina langsung saja menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Pandangan matanya menatap langit-langit kamar. "Ai, nggak mandi dulu, kamu?" tanya Amir membuka kaosnya hingga memperlihatkan pahatan-pahatan di tubuhnya yang begitu sempurna. Ya, Amir memang selalu ber-olah raga dan sangat menjaga tubuhnya.Padahal sudah tujuh tahun menikah, Ina masih saja merasakan debaran di dadanya, hanya karena melihat Amir yang tidak memakai bajunya. Ina tergugup. "Eh. Eng ... kamu aja dulu," balasnya pada akhirnya.Amir terkekeh, melihat tingkah Ina yang seperti abg baru saja merasakan jatuh cinta. Lihat saja pipi chubbynya yang memerah. Amir menatap Ina menggoda, membuat wanita itu mendelik tajam. "Apa kamu ketawa-tawa!" serunya dengan galak.Amir berjalan menghampiri istrinya itu, mendekatkan tubuh mereka dan mengikis jarak membuat Ina sontak memundurkan tubuhnya, pria itu tersenyum miring lalu membisikkan sesuatu tepat di telinga Ina sebelum beranjak pergi untuk membersihkan diri. "Ai, kamu cantik tahu nggak kalo lagi merah gitu," goda Amir terkekeh sedangkan Ina terdiam dengan perasaan campur aduk.*****Sinar matahari mulai menerobos melalui celah-celah tirai, membuat sang empu yang sedang nyenyak dari tidurnya terganggu. Ina mengucek matanya, perlahan mata wanita itu terbuka menyesuaikan sinar matahari yang mengenai wajahnya. Ina mengerang, merenggangkan ototnya. Baru saja ia akan beranjak dari tidurnya hendak membersihkan diri, sebuah tangan yang melingkar di perutnya membuat Ina tersadar, apalagi hembusan napas yang begitu hangat mengenai bahunya. Ina berbalik, di sana suaminya tidur dengan begitu damai. Ah, ia terkekeh dalam hati menyadari jika semalam dirinya dan Amir telah meleburkan diri menjadi satu ditemani keheningan malam dan tamaramnya kamar.Ina membasahi bibirnya, hendak pergi untuk segera membersihkan diri tapi mata Amir yang terbuka dengan senyuman menghiasi wajahnya dan pelukan yang semakin mengerat membuat Ina terkejut. "Ai, lepasin. Aku mau mandi," gumam Ina pada Amir pelan.Amir menggeleng, mengikis jarak di antara mereka. "Morning kiss dulu, ai.""Mulutku masih bau, kamu juga. Jorok tau!" seru Ina segera menjauhkan tubuhnya tapi lagi-lagi, Amir lebih kuat darinya membuat Ina pasrah.Amir terkekeh, "Nggak masalah tuh. Lagian kan kita juga udah sah, ngapain harus jijik satu sama lain.""Ih bukan jijik! Tapi lebih ke jorok, ai. Kamu ini," balas Ina."Tapi, ai–" baru saja Amir akan membantah Ina sudah membekap mulut Amir dengan tangannya untuk tidak terus berbicara."Kamu ya, cerewetnya ngalahin perempuan tau nggak!""Dosa loh kamu, ai. Bekap-bekap mulut suami!" seru Amir melepaskan tangan Ina dari mulutnya. "Daripada dibekap kan, mending kasih aku morning kiss.""Udah ah, aku mau mandi, lepas nggak!" kata Ina menatap tajam Amir.Amir menatap Ina dengan lempeng. "Males banget aku," balasnya.Ina memukul-mukul keras bahu Amir tapi nyatanya Amir juga tak kunjung melepaskan pelukannya. "Oh, nggak kamu lepas awas aja. Aku punya hadian spesial buat kamu.""Waw, apa tuh hadiahnya?""Beneran ya, nganggep remeh aku," kata Ina kesal. "Nggak aku kasih ja–" belum Ina menyelesaikan kalimatnya, Amir sudah melepaskan."Ih kok dilepas, kan aku belum kasih tahu apa hadiahnya," kesal Ina memajukan bibirnya."Nggak, nggak. Aku tahu apa yang mau kamu omongin," seru Amir kesal."Lah, emang aku mau ngomong apa?" tanya Ina."Dah sana mandi, satu jam lagi kita berangkat," kata Amir mengalihkan. Pria itu lebih memilih mengambil ponsel yang di atas nakas, dan semua pergerakannya tidak lepas dari penglihatan Ina. Wanita itu terkekeh dalam hati, suaminya itu memang menggemaskan jika sedang merajuk.Tanpa membalas kalimat Amir, Ina memilih untuk segera masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri. Tubuhnya sudah terasa begitu lengket membuat Ina risih dan ingin menyentuh air.*****Selama perjalanan pulang, mereka terus saja diam dan tidak membuka suara. Tidak, lebih tepatnya Amir yang tidak menanggapi celotehan Ina hingga membuat wanita itu kesal.Alasannya klasik, Amir masih kesal padanya karena insiden morning kiss. Ugh, benar-benar menggemaskan sekaligus menyebalkan. Entah cara apa lagi untuk membuat suaminya itu membuka suara, Ina tidak tahu. Hingga ide nakal terlintas di otaknya. Ina menoleh ke arah Amir, menatap pria itu yang fokus terhadap kemudinya. Ina tersenyum miring. Lalu dengan cepat, Ina menggigit pipi Amir membuat pria itu terkejut hingga membuatnya mengerem mendadak. "Aduh," seru Ina memegang dahinya yang terpentok stir kemudi.Amir menatap Ina khawatir, menangkup wajah istrinya. "Kamu nggak papa, ai? Ada yang sakit selain dahi?" tanya Amir membuat Ina tersenyum dalam hati.Ina menggeleng, tersenyum manja. "Aku nggak papa kok ai, nah gitu dong ngomong, ah."Amir berdecak, menyadari jika Ina melakukan ini karena untuk mengalihkan perhatiannya. Bukannya marah, Amir malah khawatir pada istrinya. "Ai, nggak boleh diulang ya. Untung jalannya enggak rame loh.""Ya makannya jangan cuekin aku ih!" kesal Ina, "Nyebelin tau nggak."Gerutuan Ina membuat Amir terkekeh, lalu mengusap lembut kepala wanita itu. "Maaf, maaf."Seperti biasa, Ina akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sang suami tercinta. Banyak yang berubah dari Ina, dulu wanita itu tidak bisa memasak, tidak terbiasa dengan kegiatan yang berhubungan dengan rumah. Tapi, semenjak mengenal Amir dan menikah dengan pria itu, perlahan ia mulai belajar memasak, bahkan sekarang memasak menjadi hobinya. Lalu pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel, Ina yang membersihkan ketika ia pulang dari butiknya. Ia juga tidak mengandalkan asisten rumah tangga sejak mereka menikah hingga sekarang, padahal Ina cukup sibuk dan pasti sangat melelahkan baginya selama seharian penuh mengurus butik hingg sore lalu ketika pulang masih menyempatkan untuk menyiapkan makan malam dan membereskan rumah. Berulang kali Amir sudah mengusulkan untuk mempekerjakan aisten rumah tangga, tapi selalu ditolak olehnya. Katanya, akan ribet, dan percuma jika mempekerjakan aisten rumah tangga yang masih muda Ina tidak suka, jika yang sudah paruh baya Ina kasihan. Lebih bai
Ditemani secangkir teh hangat, dengan cuaca di siang hari yang mendung, matahari terlihat tidak menampakkan cahayanya karena awan hitam mulai menghiasi langit. Ina menatap buku sketsa yang berada di atas meja dengan seksama, hari ini ia sedang mendesain sebuah gaun yang akan ditampilkan bulan depan pada acara fashion show. Ina menatap takjub pada hasil desainnya, sangat memuaskan. Di sana, sebuah gaun bermodelkan pada bagian dada rendah yang jatuh menjutai ke bawah tanpa ada motif dengan lengan transparan berbentuk terompet. Karena Ina memiliki bayangan jika ini akan menjadi gaun terbaiknya yang akan ia tampilkan. Sebuah gaun pernikahan yang nantinya Ina ingin terlihat memiliki warna yang menyala ketika lampu dimatikan. Dan rencananya, gaun ini akan ia tampilkan pada puncak acaranya. Ina mendesah lega, ketika ia hampir menyelesaikan desain gaunnya. Lalu, suara pintu yang terketuk membuat ia mendongak. "Ya, masuk," serunya dari dalam. Pintu terbuka, di ambang pintu Dini berdiri. "Mbak
Sore ini, Ina sangat cantik dengan dress selututnya. Rencananya, ia dan kekasihnya akan bertemu. Ina ingin memberitahukan jika dirinya akan menerima beasiswa ke Paris,mengatakan pada kekasihnya itu jika mereka harus long distance relationship dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Sekali lagi, ia melihat penampilannya dari kaca sebelum melangkah pergi. Di taman, Ina duduk di salah satu kursi memanjang yang sudah disiapkan dengan tenang. Kekasihnya belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal mereka berjanji akan bertemu pukul lima sore. Hingga hari semakin gelap, matahari tidak lagi menampakkan sinarnya dan digantikan oleh sinar rembulan. Ina mendesah, melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul tujuh yang artinya ia sudah berada di sini menunggu kekasihnya itu selama dua jam. Menelpon atau mengirim pesankan pun percuma karena juga tak kunjung dibaca.Hingga suara seseorang, seketika membuatnya mendongak. "Maaf buat kamu nunggu lama," katanya. Dia kekasih Ina.Ina mengangguk, ter
Amir terkekeh mendengar balasan Ina, lalu beberapa detik kemudian kembali bersuara. "Ai, jalan yuk. Katanya ada pasar malam," kata Amir pada Ina."Sekarang?" tanya Ina menaikkan sebelah alisnya.Amir mengangguk. "Iyalah sekarang masa tahun depan. Mumpung malam minggu.""Mampir makan sekalian aja gimana? Terus baru ke pasar malam?" tanya Ina mengusulkan."Boleh juga tuh, ai!" balas Amir mengangguk setuju, "yaudah sana siap-siap," lanjut Amir pada Ina."Kamu enggak siap-siap emangnya?" tanya Ina menatap Amir.Amir menggeleng singkat. "Nggak, mau ginian aja."Ina berdecak, sedikit tidak suka dengan gaya berpakaian Amir kali ini karena ia sangat tahu dan mengerti style suaminya itu adalah style khas kaum adam yang disukai oleh para barisan kaum hawa. Itu akan menyebalkan bagi Ina. Amir hanya memakai kaos hitam yang pas hingga memperlihatkan dengan jelas bentuk tubuh suaminya itu, lalu celana jeans selutut menjadi
Sejak tadi, Ina terus merajuk pada Amir. Bisa-bisanya, pedagang yang menjual permen kapas mengira dirinya adalah anak Amir. Dengan percaya dirinya, si penjual berkata. "Ini, Pak. Anaknya cantik ya."What The Hell!Ina yang merajuk, Amir yang terus menggoda wanita itu. "Udah dong ai, jangan marah-marah terus," kata Amir mengusap kepala Ina."Lah gimana nggak kesel, orang yang nggak tau selalu ngira aku anak kamu! Mending tuh kalo nggak tau diem aja, jangan sok tau gitu ah, jatohnya norak sekaligus ngeselin!" Amir terkekeh, memeluk istrinya dengan tangan kanannya. "Yaudah, mau ke mana lagi kita?" tanyanya. Berusaha membujuk istri kecilnya itu yang masih saja merajuk."Pulang aja ah, udah nggak mood!""Jangan dong, masa sebentar aja kita di sini. Mau ke rumah hantu?" tanya Amir menawarkan sekalian uji nyali.Amir juga tidak mengelak, jika dirinya dan Ina memang lebih cocok seperti seorang bapak dan anak. Ina memiliki postu
Amir terus membelai rambut Ina, sesekali ia tersenyum geli melihat tingkah istrinya itu yang manja. Sejak tadi, Ina terus merajuk karena masih kesal beberapa orang terus mengira jika Ina adalah putrinya. Apalagi, Amir juga mengejek membuat sekarang Ina merajuk. Istrinya itu diam dan enggan membuka mulut apalagi berbicara dengannya. "Udah dong, ai! Jangan diem, aku nggak bisa diginiin," kata Amir menggoyang-goyangkan tubuh Ina.Ina diam, menyentakkan tangan Amir dari lengannya. "Apaan sih!" gerutunya.Amir tau, Ina pasti sangat kesal. Tapi, bagaimana? Ia memang paling tidak bisa diam untuk berhenti menggoda istrinya itu. Amir suka jika Ina sedang merajuk. Lucu saja di matanya. "Aiii, kamu nih. Mau aku gigit ya?" katanya lagi membuka suara.Amir menghela napasnya, lalu beralih tempat menjadi di depan Ina di mana istrinya itu menghadap. "Hai!" sapanya begitu ia sudah berhadapan dengan istrinya. Ina memejamkan mata, enggan menatap Amir atau ia akan
Sesekali Ina melirik jam di dinding, malam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan sepertinya belum ada tanda kedatangan suaminya itu akan pulang. Ina menghela napasnya pelan, meskipun Amir berkata untuk tidak perlu menunggu tapi rasanya Ina tidak bisa, karena ini juga menjadi salah satu hal rutin yang selalu dilakukannya semenjak menikah. Menunggu suaminya pulang dari bekerja itu adalah hal wajib baginya. Dan Ina sangat menyukainya. Rasanya ketika menunggu suami pulang dari bekerja itu ada rasa kebahagiaan tersendiri. Sejak tadi, yang dilakukan Ina adalah duduk diam di sofa sembari mengganti-ganti saluran tv hingga membuatnya bosan. Bermain sosmed, melanjutkan sketsa yang sempat tertunda, hingga mengemil tiga jenis makanan ringan sudah ia lakukan. Bahkan lima kaleng soda dan satu botol air mineral sudah ia habiskan. Ah, Ina merasa seperti seorang gadis abg yang baru saja merasakan putus cinta. "Ih lama banget sih, ya kali sekalian nongkrong sampe lupa waktu," gumam Ina menyanda
Setelah aktivitas panas di atas ranjang pagi menjelang siang ini, mereka memutuskan untuk pergi berjalan-jalan ke mall. Menghabiskan waktu berdua selagi mereka memiliki waktu seharian penuh untuk bersama. Mereka sudah siap dengan style masing-masing, seperti biasa selalu saja ada yang kembar dari keduanya. Entah itu style pakaian yang sama atau barang lainnya seperti sepatu, dan jam tangan. Selama mengelilingi mall, Amir tidak pernah sedetik pun melepaskan tangan Ina. Kedua tangan mereka terus tertaut sejak turun dari mobil. "Ai, coba deh ke sana!" seru Ina mengajak Amir pergi ke toko bayi.Amir menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa ke sana, ai?""Nggak papa, pengen aja."Amir mengangguk, mereka berjalan beriringan menuju toko yang menjual perlengkapan bayi. Di sana, begitu banyak perlengkapan bayi yang lucu-lucu, membuat mata Ina berbinar melihatnya. Ina melepaskan genggamannya dari tangan Amir, lalu beralih memegang sebuah topi bayi berbentuk sapi yang lucu