Sejak tadi, Ina terus merajuk pada Amir. Bisa-bisanya, pedagang yang menjual permen kapas mengira dirinya adalah anak Amir. Dengan percaya dirinya, si penjual berkata. "Ini, Pak. Anaknya cantik ya."
What The Hell!Ina yang merajuk, Amir yang terus menggoda wanita itu. "Udah dong ai, jangan marah-marah terus," kata Amir mengusap kepala Ina."Lah gimana nggak kesel, orang yang nggak tau selalu ngira aku anak kamu! Mending tuh kalo nggak tau diem aja, jangan sok tau gitu ah, jatohnya norak sekaligus ngeselin!"Amir terkekeh, memeluk istrinya dengan tangan kanannya. "Yaudah, mau ke mana lagi kita?" tanyanya. Berusaha membujuk istri kecilnya itu yang masih saja merajuk."Pulang aja ah, udah nggak mood!""Jangan dong, masa sebentar aja kita di sini. Mau ke rumah hantu?" tanya Amir menawarkan sekalian uji nyali.Amir juga tidak mengelak, jika dirinya dan Ina memang lebih cocok seperti seorang bapak dan anak. Ina memiliki postuAmir terus membelai rambut Ina, sesekali ia tersenyum geli melihat tingkah istrinya itu yang manja. Sejak tadi, Ina terus merajuk karena masih kesal beberapa orang terus mengira jika Ina adalah putrinya. Apalagi, Amir juga mengejek membuat sekarang Ina merajuk. Istrinya itu diam dan enggan membuka mulut apalagi berbicara dengannya. "Udah dong, ai! Jangan diem, aku nggak bisa diginiin," kata Amir menggoyang-goyangkan tubuh Ina.Ina diam, menyentakkan tangan Amir dari lengannya. "Apaan sih!" gerutunya.Amir tau, Ina pasti sangat kesal. Tapi, bagaimana? Ia memang paling tidak bisa diam untuk berhenti menggoda istrinya itu. Amir suka jika Ina sedang merajuk. Lucu saja di matanya. "Aiii, kamu nih. Mau aku gigit ya?" katanya lagi membuka suara.Amir menghela napasnya, lalu beralih tempat menjadi di depan Ina di mana istrinya itu menghadap. "Hai!" sapanya begitu ia sudah berhadapan dengan istrinya. Ina memejamkan mata, enggan menatap Amir atau ia akan
Sesekali Ina melirik jam di dinding, malam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan sepertinya belum ada tanda kedatangan suaminya itu akan pulang. Ina menghela napasnya pelan, meskipun Amir berkata untuk tidak perlu menunggu tapi rasanya Ina tidak bisa, karena ini juga menjadi salah satu hal rutin yang selalu dilakukannya semenjak menikah. Menunggu suaminya pulang dari bekerja itu adalah hal wajib baginya. Dan Ina sangat menyukainya. Rasanya ketika menunggu suami pulang dari bekerja itu ada rasa kebahagiaan tersendiri. Sejak tadi, yang dilakukan Ina adalah duduk diam di sofa sembari mengganti-ganti saluran tv hingga membuatnya bosan. Bermain sosmed, melanjutkan sketsa yang sempat tertunda, hingga mengemil tiga jenis makanan ringan sudah ia lakukan. Bahkan lima kaleng soda dan satu botol air mineral sudah ia habiskan. Ah, Ina merasa seperti seorang gadis abg yang baru saja merasakan putus cinta. "Ih lama banget sih, ya kali sekalian nongkrong sampe lupa waktu," gumam Ina menyanda
Setelah aktivitas panas di atas ranjang pagi menjelang siang ini, mereka memutuskan untuk pergi berjalan-jalan ke mall. Menghabiskan waktu berdua selagi mereka memiliki waktu seharian penuh untuk bersama. Mereka sudah siap dengan style masing-masing, seperti biasa selalu saja ada yang kembar dari keduanya. Entah itu style pakaian yang sama atau barang lainnya seperti sepatu, dan jam tangan. Selama mengelilingi mall, Amir tidak pernah sedetik pun melepaskan tangan Ina. Kedua tangan mereka terus tertaut sejak turun dari mobil. "Ai, coba deh ke sana!" seru Ina mengajak Amir pergi ke toko bayi.Amir menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa ke sana, ai?""Nggak papa, pengen aja."Amir mengangguk, mereka berjalan beriringan menuju toko yang menjual perlengkapan bayi. Di sana, begitu banyak perlengkapan bayi yang lucu-lucu, membuat mata Ina berbinar melihatnya. Ina melepaskan genggamannya dari tangan Amir, lalu beralih memegang sebuah topi bayi berbentuk sapi yang lucu
Sejak tadi, Ina terus saja bersembunyi di balik ketiak Amir. Saat ini, bukan drama romantis yang penuh dengan kemanisan dan keuwuan yang mereka tonton, melainkan sebuah drama korea bergenre horor juga thriller yang berjudul The Guest. Ina tidak takut sebenarnya, ia hanya terkejut dengan suaranya yang tiba-tiba mengejutkan dirinya saja. Amir terkekeh, sejak tadi ia tidak berhenti tertawa melihat tingkah istrinya yang lucu. Bersembunyi di balik ketiaknya dengan sebuah alibi, backsound suara yang mengejutkan secara tiba-tiba. "Ih, kok kamu dari tadi ketawa terus sih. Nyebelin!" seru Ina yang masih pada posisinya, matanya sedikit mengintip untuk kembali menonton dramanya."Udahlah, kalo kamu takut ganti aja. Mana tumben banget kamu nonton drama horor, biasanya aja kalo diajak nonton film horor selalu nolak. Nggak mau.""Aku kepo ai, katanya bagus itu dramanya. Aku lihat di salah satu akun di instagram yang rekomendasiin drakor gitu, dan ini katanya drakor hor
Drama rumah tangga sudah berakhir, Ina sudah terlelap di tempat tidurnya dengan nyenyak. Dan sekarang, Amir sudah bebas untuk merencanakan sesuatu. Beberapa hari lagi, istrinya itu akan berulang tahun. Amir berencana akan memberikan kejutan kecil. Dinner yang romantis dengan dua tiket honeymoon ke Maldives sebagai hadiahnya. Ah, bukankah itu sangat manis? Tentu saja Ina akan sangat menyukainya. Membayangkan senyum bahagia istrinya saja, membuat dada Amir menghangat.Lalu, Amir mencari referensi restoran yang bagus. Matanya menangkap salah satu gambar sebuah restoran di daerah puncak. Di sana terlihat lampu yang berkelap-kelip ketika malam hari. Seketika menampilkan pemandangan yang begitu indah dan sangat cantik. Amir segera menyimpan nomor telepon yang tertera dan ia akan menghubungi besok pagi. Menyiapkan semuanya dalam satu hari, untung saja bosnya itu sangat baik pada Amir. Menjadikan Amir sebagai anak kesayangannya di kantor. Kadang, ia merasa bersyukur. Karena dengan
Semua sudah Amir siapkan, mulai dari restoran untuk dinner, dua tiket ke Maldives, dan buket bunga yang cantik. Hari ini, Amir berencana untuk menjemput Ina di butik. Ya, istrinya itu memutuskan untuk pergi ke butik karena merasa kakinya sudah baik-baik saja. Akhirnya pun juga setelah beberapa pertimbangan, Amir mengijinkannya. Karena ia juga merasa kasihan jika melihat Ina yang hanya diam di rumah tanpa mengerjakan apa pun.Hari ini, dirinya memang tidak masuk bekerja. Berangkat pun hanya alibi, dan yang sebenarnya terjadi ia tidak benar-benar pergi ke kantor karena seharian ini ia menyiapkan semuanya. Ia pun juga sudah rapi dengan pakaiannya dengan sneakers menjadi alas kaki. Tadi, sebelum memutuskan pergi ke butik ia sudah memesan buketnya terlebih dahulu. Mawar merah dan tulip merah menjadi pilihannya kali ini. Kedua bunga itu sudah disusun secara rapi. Ukurannya tidak terlalu besar ataupun kecil tapi mampu untuk istrinya peluk dengan erat, dan buketnya sudah berada di
Ina tak henti-hentinya terkejut dengan mulut yang menganga. Berulang kali, ia berdecak kagum dengan kejutan yang telah diberikan Amir untuknya. Begitu Amir melepaskan kain yang menutup matanya, Ina disuguhkan dengan sebuah meja dengan dua kursi, lengkap dengan makanan yang tersaji di atas meja, dan satu mini cake berbentuk menara Eiffel. Lalu di hadapannya hamparan lampu kota yang berkelap-kelip memanjakan mata. Begitu indah, sangat-sangat indah. Kenapa sangat romantis sekali suaminya ini. Batin Ina dengan hati yang berbunga-bunga.Dan tiba-tiba saja, semua menjadi gelap. Tubuh Ina bergeser, meringkuk pada Amir, “Ai. Kok gelap?” tanyanya bingung.Amir diam tidak berniat menjawab pertanyaan istrinya itu, di dalam kegelapan ia tersenyum penuh arti. Di dalam hati, ia menghitung mundur. Tepat di hitungan satu, lampu kembali menyala tapi berbeda dan sekali lagi mampu membuat Ina menganga terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya di depan. “Aiii,” gumamnya penuh keterk
Hari yang ditunggu-tunggu Ina akhirnya tiba juga, di mana ia dan Amir akan berangkat berlibur sekalian untuk bulan madu lagi setelah sekian lama. Untung saja, Amir membelikan obat berupa salep yang begitu mujarab untuk kakinya. Karena sekarang, luka di kaki Ina sudah sembuh dan benar-benar kering. “Udah lengkap semuanya, ai?” tanya Amir pada Ina. Wanita itu menganggukkan kepalanya, lalu mengacungkan jempol. “Semua sudah beres, bos!”Amir terkekeh. “Sip, berangkattt!” serunya sembari menarik dua koper yang berada di tangan kanan dan kirinya. Sedangkan Ina, wanita itu mengekor di belakang Amir sembari menenteng tas warna peach bermereknya. Mereka masuk ke dalam mobil, dan Amir mulai menginjak pedal gasnya, membelah jalanan Bogor di pagi hari untuk menuju bandara Soekarno Hatta. “Ai, berangkatnya jam berapa?” tanya Ina menoleh ke arah Amir.“Jam sebelas,” balasnya tanpa menoleh ke arah istrinya karena fokus pada kemudi.Ina menganggukkan k