Rasa kantuk Damar yang kembali muncul, bercampur dengan letih yang ia rasakan akibat menyetir tengah malam, membuat emosinya seketika tersulut. Ia mendekati Liana dan membentak Liana hingga Liana memucat. "Kamu jangan ngomong macem-macem! Ibumu tidak mungkin sehina itu!" Damar lalu masuk dan meninggalkan Liana yang langsung menangis. Hati Liana mendadak perih. Ia tidak menyangka jika Damar sampai membentaknya seperti tadi. Bahkan, kedua orang tuanya pun tidak pernah melakukannya. Dengan kemampuannya sebagai pengacara, Liana bisa saja membalas Damar dengan suara lebih keras, tapi ia tidak mau kurang ajar pada Damar. Rianalah yang mengajarkan kalau kita sebagai istri tidak boleh berkata dengan nada lebih tinggi daripada suami. Di tengah dadanya yang seperti terbakar, Liana mencoba menarik napas dalam untuk memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-parunya. "Aku baru tahu kalau kamu kasar, Mas. Bahkan, sama istrimu sendiri. Di dalam kamar, Damar yang masih dibakar emosi karena ditu
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl