Hari itu Juwita memaksa Daffi untuk datang ke rumah Friska. Ia sengaja mengajak putra dan cucunya itu ke sana untuk menekan Daffi agar mau segera meresmikan hubungan putra suaminya itu dengan Friska. Indra dan Santi, kedua orang tua Friska bersikap sangat ramah pada Juwita karena memang mereka sudah saling mengenal cukup lama. Senyum di wajah Juwita tidak pernah pudar. Ia semakin yakin jika Friska memang wanita yang tepat untuk Daffi. Nampak pada sikap Santi dan Indra yang begitu menyayangi Liana seperti cucu mereka sendiri. "Jadi kapan rencana kamu mau melamar anak saya, Daf?" tanya Indra.Daffi yang ditanya mendadak salah tingkah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak menyangka bahwa kunjungannya ke sini akan langsung ditanya mengenai waktu lamarannya kepada Friska. "Semoga secepatnya ya, Om. Sekarang saya masih mengurus proses perceraian dengan Riana," jawab Daffi sekenanya. Dalam hatinya ia sebenarnya tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat itu. Beberapa hari kemarin ia
Liana yang sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi, awalnya bermaksud ingin mengejutkan Friska dan Santi saat melihat mereka sedang berada di ruang makan, tapi sebelum Liana mendekati mereka, dia tidak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan anak itu.Wajah Liana sudah terlihat pucat dan basah oleh air mata, dia berlari ke depan dan langsung menghambur ke pelukan Daffi. Liana pikir, selama ini Friska benar-benar sayang padanya, tapi ternyata dia salah. Friska baik hanya karena ingin segera menikah dengan papanya. Bahkan dia juga sudah berencana untuk mengirim Liana ke asrama, membuatnya tinggal terpisah dari Daffi. Liana juga tidak menyangka kalau saat itu Friska sedang hamil. "Liana, Liana kenapa sayang? Kok, tiba-tiba nangis begini? Perutnya masih sakit?" tanya Daffi lembut sambil mengucap pelan rambut anak perempuannya itu. Bukannya menjawab, Liana malah semakin membenamkan kepalanya ke pelukan Daffi hingga membuat lelaki itu bingung. "Liana kenapa, Sayang?" tanya Juwita yang ikut
Selamat membaca. Semoga suka. ***"Tolonglah aku, Sahid, aku ga tau lagi harus minta tolong kepada siapa selain sama kamu. Anakku hampir mati."Lelaki paruh baya itu terlihat begitu rapuh, wajahnya pias dan gurat halus di dahinya semakin terlihat jelas. Ia berjalan mondar-mandir hingga sol sepatunya yang beradu dengan lantai keramik membuat sebuah irama yang teratur. "Tenang lah, Asmoro. Aku akan melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menolongmu. Sekarang kita harus menemukan saksi utama yang Kahfi sebutkan tadi." Lelaki yang dipanggil Sahid itu berusaha menenangkan sosok pria di hadapan. Cerutu di tangan pengacara berusia 30 tahunan itu sudah hampir habis, tapi ia masih terus berusaha membuat bulatan asap dari mulut. "Iya tapi gimana? Tadi, kan, kau dengar sendiri Daffi bilang kalau temannya yang tau kenyataan sebenarnya itu sudah menghilang. Daffi udah ga ada harapan lagi, Hid!""Hei, kau itu kayak Tuhan saja bicara begitu. Harapan itu akan selalu ada selagi kita masih punya Tuh
"Riana, kenapa, lo? Kayak lagi mikir negara, lecek banget tu, muka." Rafif teman sekolahku, menghampiri saat aku sedang duduk sendiri di perpustakaan siang itu. "Lo ga ke kantin?"Aku menggeleng pelan. "Ga laper.""Ngantin, yuk, gue traktir.""Ga usah, Fif, makasi. Gue beneran ga laper.""Ya udah, gue juga ga laper, deh."Bukannya pergi, Rafif malah ikut duduk di sebelahku. "Kasian ni bocah, baru tujuh belas tahun udah kena vonis mati."Mataku langsung mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca ke arah surat kabar yang Rafif pegang. Lalu merebutnya dari tangan Rafif. Berita yang menampilkan sebuah foto tentang kasus narkoba seorang anak pengusaha ternama bernama Asmoro Wicaksana. Ini, kan, orang yang kemarin datang ke kantor Om Sahid. "Yeh, main rebut aja, belum juga beres baca.""Dia ini anak temennya Om Sahid. Kasian ya? Padahal dia masih seumuran kita.""Yoi, tapi yang gue denger, si, dia dijebak, Ri.""Kok, lo, tau?""Gue ini kan pergaulannya luas. Jadi ya wajarlah kalau
"Parah tuh, si, Dito, kebanyakan dia makenya ampe oleng gitu motornya," pekik salah satu pemuda berjaket hitam di tengah bisingnya suasana balapan. Hosh. Untung saja aku salah sangka. Dia ternyata mendekati ketiga temannya yang sudah berada di arena balap lebih dulumIa sedikit berteriak mungkin karena tidak mengira kalau ada orang lain di dekat mereka. "Ah, biarin aja. Noh, buktinya dia masih bisa unggul di depan. Yah, kalau lagi apes, palingan dia mati," jawab pemuda bersuara berat."Yoih, setidaknya dia mau beli punya gue, ga sok suci macam si Daffi itu. Sukurin tu anak, gue bikin m**pus!" Kalimat pemuda itu disambut tawa oleh pemuda lain yang berdiri di sekitar mereka. Daffi? Daffi siapa? Apa yang mereka maksud itu anak temannya Om Sahid? Dan barang yang mereka maksud tadi apakah itu narkoba? Aku terus menajamkan telinga sambil terus melihat ke arah balapan yang semakin malam semakin berlangsung ramai. "Malam ini, lo, bawa berapa? Gue minta secuil, ya, ntar." Suara berat itu t
"Kenapa ga gabung ke sana aja?" Ia adalah pemuda yang semalam juga ada di lokasi balapan. Suaranya mendadak mengagetkanku hingga membuat sebagian cokelat dalam mulut tersembur ke luar. Entah kapan dia tiba-tiba sudah ada di belakangku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berteriak. "Frans, ada yang mau gabung, ni," pekiknya sambil menunjukku. Pemuda yang bernama Frans mendadak bangkit dan berjalan ke arahku. Dia memindaiku dengan sorot mata dinginnya. "Cantik juga, lo nemu di mana?""Dia dari tadi ngeliatin ke arah lo mulu."Aku berusaha tersenyum seraya meredam degup jantung yang semakin bertalu. "Ha-hai," ucapku sambil melambaikan tangan ke arah Frans. Dia langsung duduk di depanku, masih sambil menatapku lekat. "Kayaknya gue pernah ngeliat lo, tapi di mana, ya?""Alah, Frans. Basi, tau! Setiap baru ketemu cewek kalimat lo begitu mulu."Frans tertawa. "Heh, kenapa jam segini lo baru dateng? Abis ngapain, lo?" tanya Frans pada temannya yang masih berdiri di belakangku. "Biasa lah
Setelah keluar dari rumah Mas Daffi hari itu, aku segera menemui Om Sahid di kantornya. Tentu saja sebelum menuju ke sana, aku memastikan lebih dulu kalau Om Sahid sedang berada di sana. Maklum, dia, kan orang sibuk. "Jadi, akhirnya kau menyerah juga, Ri?" tanya Om Sahid lalu menyesap pelan kopi hitam favoritnya. Aroma moccanya yang tajam seketika mampu menenangkan pikiranku yang saat itu sedang kalut."Riana sudah berusaha, Om. Maaf." Kepalaku tertunduk semakin dalam sambil berusaha menyembunyikan air mata yang kembali menyeruak ke luar. Ah, sangat menyebalkan sekali kalau sampai Om Sahid melihatku cengeng seperti ini.Om Sahid mendengkus kasar. "Keterlaluan memang si Daffi dan Juwita itu, apalagi sejak Asmoro sudah tidak ada. Kalau bukan karena Asmoro yang memohon-mohon pada Om dulu, tidak mungkin Om mengizinkan kau menikah dengan anaknya. Asmoro itu terlalu berharap kalau anaknya itu bisa berubah setelah menikahi kamu. Bukannya berubah, dia malah semakin parah. Kau juga sih, Ri, se
Nomor ini kan tidak ada yang tahu selain Om Sahid? Dan ternyata benar, tampak di layar nama Om Sahid. "Riana, Liana sakit, Run. Kondisinya memburuk. Tadi Om ke rumahnya dan ternyata mereka semua sedang ke rumah sakit mengantar Liana.""Ya Allah, rumah sakit mana, Om?" Mataku memanas lagi. "Medika Permata."Tanpa menutup panggilan dari Om Sahid, aku langsung bergegas ke rumah sakit malam itu juga. ***Transportasi online yang kunaiki melaju cepat membelah suasana malam jakarta. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang sepi. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di tempat Liana dirawat. Gedung berlantai tiga dengan dinding didominasi warna hijau tosca itu berdiri angkuh menyambut kedatanganku. Aroma cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Suasana yang sepi semakin menambah riak perasaanku semakin bergejolak. Kuhirup napas dalam beberapa kali lalu menghembuskanya perlahan. Tenanglah Riana. Liana pasti baik-baik saja. ***"Maaf, Sus. Boleh saya tanya mengena