Terjadi keributan antara ke tiga saudara itu, Hilman dan Marwan kekeh dengan pendiriannya yang tidak mau memberi hasil pada Anita dengan alasan Anita itu menantu. Sedangkan Sella dengan kekeh ingin memberikan Anita hasil itu, karena Anita lah yang selama ini merawat ibunya.
"Kalian semua egois! Coba kalian pikirkan bagaimana nasib Ibu selama enam tahun ini, jika tak ada Anita yang merawatnya? teriak Sella dengan murka.Anita meraih tangan Sella, berusaha menenangkan kakak iparnya itu."Mbak sudah, Mbak, aku tidak apa-apa." ujar Anita menenangkan Sella."Kamu dengar sendiri kan, Mbak. Jika Anita saja tidak masalah, kenapa Mbak yang ribet sih? Lagi pula sudah kewajiban Anita mengurus Ibu, karena dia itu istriku." ucap Marwan, memojokkan Sella."Hanya karena dia istrimu? Kamu bisa berbuat semena-mena pada, Anita begitu? Coba sekarang kita tukar posisi, bagaimana jika, Mbak Hanum, istrimu, Mas Hilman yang merawat Ibu. Mau apa tidak?" tunjuk Sella pada istrinya Hilman."Aku?" ucap Hanum menunjuk dirinya sendiri."Iya kamu Mbak. Kamu mau tidak merawat Ibunya Mas Hilman, kan kamu juga posisinya sama dengan Anita menantu." ujar Sella menggebu-gebu."Kenapa mesti aku? Kalau kamu sendiri sebagai anak tak mau mengurus ibumu sendiri." ucap Hanum pada Sella, yang membuat Sella menggeleng-gelengkan kepalanya."Sudah Sella, kamu tidak usah bawa-bawa istriku dalam masalah ini! Ini urusan kita sebagai anak, bukan menantu." jawab Hilman yang tak mau dipojokan."Kenapa, Mas? Kenapa kalian bilang, Anita berkewajiban mengurus Ibu? Sedangkan, Mbak Hanum tidak usah dijadikan perumpamaan, kenapa?" teriak Yuni."Dan kamu!" tunjuk Sella lagi, pada Yuni,"Siapa kamu? Kenapa kamu ada disini? Kamu bukan bagian keluarga ini!" teriak Sella pada menunjuk-nunjuk Yuni."Mbak stop! Mbak tidak bisa sembarangan begitu menunjuk-nunjuk istri aku!" Marwan menepis tangan Sella."Istri!" gumam Sella melemas, dirinya langsung mencari sandaran soffa untuk duduk kembali."Kegilaan apa lagi yang sudah kalian lakukan, hah?" tanya Sella lemah."Jangan bilang sama, Mbak, jika kamu sudah menikah lagi, Marwan!" tanya Sella dengan napas yang memburu, menahan gejolak amarah yang sedang memuncak."Hai, Mbak Sella. Perkenalkan aku Yuni, ISTRINYA Mas MARWAN!" Yuni menekankan ucapannya, ia menyodorkan tangannya pada Sella, namun ditepis oleh Sella."Jangan berani menyentuhku, wanita murahan!" sinis Sella pada Yuni."Mbak kau tidak ada hak untuk menyebut Yuni murahan. Dia wanita baik-baik, dia bukan wanita murahan seperti yang kamu tuduhkan!" teriak Marwan tak terima istrinya dihina."Jika dia bukan wanita murahan? Lantas wanita apa, Marwan? Hanya wanita murahan lah yang mau pada suami orang!""Wah, wah. Sepertinya disini bukan aku ya, Mbak yang murahan. Justru adik kamu sendiri yang murahan, buktinya dia sendiri yang datang padaku saat aku masih memiliki suami, dan dengan rayuannya dia, aku sampai memiliki seorang anak, hasil dengan adik, Mbak. Bukan dengan suami aku." ucap Yuni tak tahu malu, membongkar aib masa lalunya sendiri."Dasar gila! Kalian semua sudah gila! Ayo, Dek kita pergi dari sini. Takut ketularan gila juga!" ujar Sella langsung bangkit menarik tangan Anita, untuk pergi dari rumah itu.Sedangkan Hilman, ia masih syok setelah mendengarkan pernyataan Yuni barusan. Hilman memang tahu jika adiknya sudah menikah lagi, sejak dua tahun yang lalu. Namun ia tidak menyangka jika Marwan sudah berbuat sejauh ini."Jadi bagaimana sekarang, Mas? Apa kita jadi menjual rumah itu?" tanya Marwan membuyarkan lamunan Hilman.Mendengar kata jual menjual, mata Hilman langsung berbinar."Tentu jadi dong, lagi pula kita ini anak laki-laki. Yang lebih berhak untuk harta Ibu, bukannya si Sella." ucap Hilman dengan semangat."Untuk Mbak Sella, diberikan bagian berapa, Mas?" tanya Marwan lagi."Enggak usah lah, lagi pula, Mas buru-buru harus segera kembali ke kota. Tidak mungkin menunggu sampe acara tujuh harian, Ibu.""Nah betul itu, kita juga harus segera kembali ke kota, Mas. Anak-anak sudah nanyain kamu terus." ucap Yuni tiba-tiba.Mendengar kata 'anak-anak,' Marwan langsung ingat lagi pada ke dua anak Yuni."Baiklah, lebih cepat lebih baik, Mas. Kita urus sekarang saja penjualan rumah Ibu itu." Marwan memberikan usulan."Nah bagus itu, ayo sekarang juga kita berangkat ke rumah juragan Emul untuk mengurus penjualnya." timpal Hilman dengan semangat empat lima."Tapi, Mas. Kita ber dua janji ya, kalau kita sepakat membagi dua hasil rumah itu.""Kamu tenang saja, lagi pula si Sella itu hanya anak perempuan yang tak memiliki kekuasaan apa pun. Jadi hasil penjualan itu, utuh untuk kita ber dua.""Kalau begitu aku sangat setuju, ayo sekarang juga kita berangkat." ucap Marwan semakin semangat."Tunggu dulu, kita harus membuat surat pernyataan lebih dulu, agar prosesnya semakin lancar. Kita palsukan saja tanda tangan si Sella, bagaimana, Dek?" tanya Hilman pada Marwan."Harus seperti itu ya?" tanya Marwan yang tak tahu apa-apa."Ya harus, Dek. Karena yang kita jual ini rumah milik, Ibu.""Kalau begitu, aku mengikuti saran, Mas. Saja."Setelah acara pembuatan surat pernyataan, dan tanda tangan palsu. Sebagai pernyataan jika Sella, juga menyetujui penjualan rumah itu. Ke empat orang tersebut segera pergi menuju rumah juragan Emul, lebih tepatnya juragan tanah di kampung itu.Proses penjualan yang tidak ribet sama sekali, karena sejak lama juragan mengincar rumah itu. Lahannya yang strategis, untuk di jadikan usaha.Sudah beberapa kali juragan Emul, menawar lahan itu pada bu Ida, semasa hidupnya.Apakah rumah dan lahan itu mau di jual, jawabannya tetap tidak. Katanya ini semua yang ia miliki untuk warisan cucunya kelak."Silahkan dihitung kembali jumlah uangnya," ucap juragan Emul, pada ke dua saudara itu.Dengan semangat, Marwan juga Hilman menghitung uang di hadapannya itu."Aku hitung tiga ratus lima puluh juta, kamu berapa, Mas?" tanya Marwan yang lebih dulu selesai menghitung."Aku empat ratus juta, pas. Jadi totalnya pas ya, Juragan. Tujuh ratus lima puluh juta." ujar Hilman."Iya sesuai dengan kesepakatan kita." jawab juragan, dengan nada arogan."Rumahmu kalau mau dijual, jangan di kemana-manain ya, Wan, " ucap juragan pada Marwan.Yuni yang mendengar itu, seketika ide gilanya muncul kembali. Ia tak sabar ingin segera menjadi kaya raya tanpa bekerja.Karena semua aset rumah dan tanah milik Marwan ada pada Yuni, dan Yuni pastikan jika semua itu tidak di jual oleh Marwan. Dirinya sendiri yang akan menjual semua aset itu tanpa sepengetahuan Marwan.Yuni terus memberikan Marwan masukan dan saran yang membuat Marwan percaya, jika dengan menjual rumah itu. Kehidupannya akan lebih baik lagi.Pov Anita. Mbak Sella menarik tanganku pergi dari rumahku sendiri, menuju ke rumah Ibu. "Kita harus segera mencari sertifikat rumah itu, Dek. Mbak enggak rela jika sertifikat itu jatuh ke tangan mereka." ucap mbak Sella buru-buru menuntun langkahku menuju kamar Ibu. "Kamu cari di lemari ini, Mbak di lemari sana ya." ucap mbak Sella lagi, sedangkan aku masih bingung dengan semua ini, hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Kami berdua sibuk mencari sertifikat itu, semua barang-barang Ibu sudah kami keluarkan namun sama sekali tidak membuahkan hasil. "Bagaimana ini, Dek?" panik mhak Sella. "Aku juga bingung, Mbak!" jawabku lemas karena aku sama sekali belum sarapan. Ditambah lagi aku merasakan sakit di area produk asiku, mungkin anakku tengah kelaparan ingin meminum asi. "Kamu belum makan bukan? Mukamu pucat sekali?" tanya mbak Sella meraba pipiku. "Mbak!" teriakku karena mengingat sesuatu, yang beberapa bulan yang lalu aku titipkan pada Ibu, dan Ibu menyimpannya di lemari ya
Pada saat diperjalanan menuju rumah lagi, tiba-tiba Yuni memberikan saran untuk menjual semua aset yang aku miliki termasuk rumah dan tanah. "Jual saja, Mas. Nanti uangnya bisa kita pakai untuk buka usaha di kota, kan. Memangnya kamu mau selamanya jadi buruh terus?" ucap Yuni padaku sambil berjalan. Tidak ada yang mendengarkan percakapan kita, karena aku dan Yuni sengaja berjalan pelan. Sedangkan Mas Hilman sudah lebih dulu. "Aku masih bingung, Sayang." jawabku pada Yuni. Aku berpikir jika semua aset disini aku jual, nanti aku kemana pulang. "Kok bingung sih, Mas? Memangnya kamu masih mencintai istri kamu itu ya?" tuduh Yuni padaku, "Tidak, bukan gitu, Sayang!" kilahku langsung, aku tak ingin Yuni merajuk, tak bisa aku bayangkan jika aku harus kehilangan dia untuk ke dua kalinya. "Terus apa yang membuat kamu bingung, Mas? Atau kamu mau semua harta kamu dikuasai istri kamu itu? Kamu lupa bagaimana cara kamu mendapatkan semua aset kamu dari dia, Mas? Ingat juga perjanjian yang kal
Pagi harinya seperti biasa Anita akan menjemur, baby Shakira, Setelah dimandikan. "Selamat pagi, Anita." sapa juragan Emul menghampiri Anita, dengan ke dua bodyguardnya. "Pagi, kembali, juragan. Tumben sekali pagi-pagi sudah berkeliling." ucap Anita basa-basi. "Seharusnya saya yang bertanya sama kamu. Kenapa kamu masih ada di sini?" tanya juragan Emul, yang membuat Anita mengernyitkan kening. "Memangnya kenapa, saya harus pergi dari rumah saya sendiri?" tanya Anita heran. Bukannya menjawab pertanyaan Anita, juragan Emul malah menyentak Anita. "Sekarang juga tinggalkan rumah ini, karena saya akan segera membangun tempat ini!""Tapi maksudnya juragan apa?" tanya Anita semakin tak paham dengan kedatangan juragan Emul juga anak buahnya, lalu mengusir Anita dari rumahnya sendiri. "Apa kamu tidak tahu, jika rumah dan tanah di belakang rumahmu itu sudah di jual sama saya." seru juragan Emul dengan sombong. "Tapi siapa yang menjualnya?" "Kamu beneran belum tahu? Jika suami kamu sudah
"Anita, apa yang terjadi, Nduk? Kenapa kamu diam saja?" tanya bu Eros semakin heran, Meski pun Anita tidak berbicara apa pun, namun tergambar jelas kesedihan dalam matanya. "Anita tidak apa-apa, Bu. Apa boleh Anita menitip sebentar Shakira, Bu? Anita ingin menelpon dulu, Mbak Sella." "Tentu boleh lah, toh anakmu juga tidur nyenyak banget." jawab bu Eros dengan tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu. Kalau begitu Anita permisi ke belakang dulu." pamit Anita, segera bangkit dari duduknya mencari tempat aman untuk menelpon kembali Sella. "Hallo, Dek. Kamu dimana sekarang?" cecar Anita begitu panggilan terhubung. "Assalamu'alaikum, Mbak!" ucap Anita merasa terhibur dengan kepanikan Sella. "Ya ampun, sampai lupa, habis kamu bikin Mbak kaget. Sekarang ceritakan sama Mbak, kamu dimana sekarang?" "Aku sudah keluar dari rumah itu, Mbak. Dan sekarang aku bingung harus pergi kemana, sekarang aku sedang istirahat sebentar di rumah, Bu Eros sambil memikirkan harus kemana," jawab Anita lemas. "
Tepat sebelum magrib Marvel sudah tiba di kampung untuk menjemput Anita, ia memberi kabar pada Sella jika dirinya sudah sampai di depan rumah bu Eros. "Assalamu'alaikum, Anita. Abang sudah di depan rumah bu Eros, coba kamu keluar samperin, Abang." ucap Sella diujung telpon. "Waalaikumsalam, Mbak. Baik sebentar Anita keluar dulu." jawab Anita, ia segera berlari ke laur rumah untuk memastikan jika suami kakak iparnya sudah sampai. "Hallo, Mbak. Abang sudah sampai, aku mau samperin dulu sebentar ya." ucap Anita kembali pada Sella yang belum mematikan sambung telponnya, "Iya, Dek." jawab Sella. "Kamu langsung saja berangkat ya, Mbak mau pulang dulu.""Iya Mbak. Mbak hati-hati ya.""Kamu juga ya." Sella menutup panggilan itu. Anita bergegas menghampiri mobil Marvel, Anita mengetuk kaca itu, dan seketika Marvel menurunkan kacanya. "Assalamu'alaikum, Abang." sapa Anita pada Marvel, namun Marvel tidak menjawab salam Anita, ia seperti kehilangan fokusnya. "Assalamu'alaikum, Abang!" ucap
Keberuntungan yang terus menerus menghampiri kehidupan Marwan, meski pun dirinya kehilangan sosok cinta pertamanya. Namun kehadiran Yuni, mampu menghilangkan semua rasa sedihnya. Ditambah lagi sekarang, ia memiliki banyak uang hasil Penjualan rumah ibunya yang hanya di bagi dia. Ditambah lagi hasil penjualan rumah, tanah serta perabotan yang ia miliki yang semuanya utuh menjadi haknya tanpa membagi pada Anita. "Papa, Mama mau beli perhiasan, tas, ponsel boba, juga baju dan sepatu berlogo C." ujar Yuni pada Marwan, mereka baru saja hendak pulang lagi ke kota dimana mereka tinggal sekarang. "Tentu boleh dong, Ma. Apa sih yang enggak buat kamu, Sayang." jawab Marwan tersenyum bahagia karena merasa berhasil membuat Yuni semakin mencintainya. "Pokoknya ya, Pa. Mama ingin rumah yang kemarin itu jadi kita beli, dan rumahnya harus atas nama anak kita Alvaro."Alvaro adalah anak Yuni yang ke dua, yang katanya itu adalah anak Marwan. "Tentu, Sayang. Al kan anak lelakiku yang berhak atas sem
Setelah sarapan pasangan suami istri itu pergi dari rumahnya dengan tujuan yang berbeda. [Sayang aku sudah sampai di lobby hotel.] pesan Yuni terkirim pada selingkuhannya. [Masuk saja lebih dulu, ke kamar kita. Lima belas menit lagi aku sampai.] balas lelaki itu. Semua karyawan disana sudah tahu siapa Yuni, karena itu mereka tidak pernah mempertanyakan apa pun pada Yuni. Dia terus berjalan ke kamarnya, tak perlu lagi meminta kunci, karena Yuni selalu membawa kunci duplikat kamar hotel itu. "Aku sangat rindu tempat ini!" ujar Yuni menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuk di depannya. Yuni membuka lemari pakaian miliknya disana, ia memilih lingger sangat seksi untuk menyambut kekasihnya. Dalam lemari itu dipenuhi semua barang-barang milik Yuni, dari mulai baju, tas, sepatu bahkan puluhan koleksi lingger. Akan ada seseorang yang ditugaskan khusus untuk membersihkan semua pakaian Yuni. "Aku sudah tak sabar, ingin segera menghabiskan waktu bersamamu!" gumam Yuni menatap pantulan dirinya
'Ahhh! Kenapa begitu sulit untuk aku memilikimu seutuhnya, Damian?' teriak Yuni setelah kepergian Damian. 'Aku pastikan suatu hari nanti, aku bisa memilikimu. Kamu milikku.' gumam Yuni kembali. Meski Yuni sering mendengar penolakan dan kekecewaan, namun hal itu tidak membuat dirinya pergi dari kehidupan Damian. Semakin Damian membandingkan dirinya dengan istrinya, saat itu juga jiwa egois ingin memiliki semakin membuncah Yuni rasakan. Yuni masih dalam mode malasnya, ia mencoba membuka ponselnya dan ternyata sudah banyak sekali panggilan tak terjawab dari Marwan. Tak lama ponsel itu kembali berdering, dan Marwan lah yang menghubungi Yuni, "Hallo, Ma. Kamu sedang dimana?" tanya Marwan begitu panggilan terhubung, "Aku lagi treatment, Pa." degan perasaan malas, Yuni menjawab. "Aku baru saja selesai bertransaksi ruko itu, aku nyusul kamu kesana ya. Dari tadi perasaan Papa gelisah terus, takut terjadi hal buruk sama Mama." Mendengar ucapan Marwan, Yuni segera membenarkan posisinya m