"Entahlah. Tapi, ada dua kemungkinan. Satu memang tidak ingat tentang perjanjian di hadapan notaris itu. Dan ini masih bisa dimaklumi lah ya. Kedua, bisa jadi dia ingat, tapi tidak peduli dengan perjanjian itu. Ini yang berbahaya Bun. Dia bisa nekat melakukan apa pun demi keinginannya." Entah mengapa aku bisa berasumsi demikian?"Nggak habis pikir Aku dengan lelaki yang bernama Radit itu. Bagaimana bisa dia meminta jatah harta bersama, sementara itu hasil kerja keras Alina?" Mbak puji yang duduk di belakangku pun bersuara."Lelaki yang tak punya harga diri. Maunya enaknya saja tanpa mau bekerja keras. Padahal, harga diri seorang suami itu terletak pada tanggung jawab menghidupi keluarganya. Bukan dilihat dari penampilan dan tampangnya." Bang Sukri menyahut ucapan istrinya."Nah, bener itu … Lin, kalau sudah siap membuka hati lagi kabarin kami ya." Bang Zaki tergelak sendiri padahal, tidak lucu."Apa-apaan sih kalian. Aku tidak tahu apakah masih mau menikah lagi atau tidak. Tapi, yang
Ya Allah … lindungi hamba. Di dalam hati aku terus memohon. Tiba-tiba mataku tertuju pada jempol kaki. Cantengan itu sering ia alami. Dan saat ini jempol itu pun tampak tak sehat. Sejurus kemudian aku tersenyum menyeringai. Rasakan ini Radit! kuinjak jempol kaki yang sedang bernanah itu dengan kekuatan penuh. Pria brengsek itu mengaduh. Spontan dia melepaskan cengkraman tangannya. Dengan gerakan cepat aku berlari menjauh darinya menuju taman belakang, tempat berkumpulnya keluargaku. Namun, gagal. Aku terjatuh sebab kaki ini terbelit dengan gamis bagian bawah. "Mau lari ke mana kamu, Alina!" Belum sempat aku bangkit lelaki itu sudah berada di sampingku. Dia jongkok. Tangan kekar itu menyentuh pipi ini. Aku jijik! Sekuat tenaga aku menepis lengan Radit, gagal. Tanganku kembali berada dalam cengkeramannya lagi.Dari tempat jatuh aku bisa melihat Radit yang tersenyum menyeringai. Aku yakin kaki itu masih sakit tapi dia tahan demi bisa mengejarku!Aku benar-benar tidak menyangka Radit b
Aku peringatkan kepadamu! Berani kamu sentuh anakku penjara tempatmu menatimu!" Bapak melepaskan kerahnya Radit,kemudian mendorong pria itu ke belakang."Zaki! Jaga dia! Jangan sampai kabur!" Lelaki yang baru datang dari belakang itu mengangguk."Ayo, kalian ikut Bapak!" Bapak mengajakku dan Bang Sukri masuk ke ruang tengah. Kami berunding di sana, membahas langkah apa yang akan kami ambil. "Kamu hampir saja menodai adikku. Dulu memang itu menjadi hakmu. Wajib bagi Alina untuk melayanimu. Tapi, sekarang kalian bukan lagi suami istri. Kasus ini termasuk pelecehan. Ada pasalnya. Masalah ini bisa kami bawa ke kantor polisi, Dit. Dan bisa dipastikan kamu akan mendekam di sana. Minimal beberapa hari. Tapi, kami sengaja tidak melakukan itu karena Alina masih memikirkan Ibumu. Kamu dipenjara pasti dia terlantar di sana. Kamu yakin Desti mau mengurus ibumu dengan baik? Belum tentu! Kamu lihat saja perbedaan antara Alina dengan Desti dalam mengurus ibumu!" ucap Bang Sukri setelah kami kemb
Semoga kali deal. Aku ingin segera pindah rumah. Memulai hidup baru berdua dengan Wildan tanpa adanya bayangan masa lalu. Mataku membelalak sempurna saat tahu siapa yang keluar dari pintu mobil. Diakah yang akan membeli rumah ini? mpat yang sedang terlibat obrolan ringan di ruang tamu. "Siapa tamunya, De?" Mbak Mela bertanya saat aku melewati mereka di ruang tengah. Aku hendak membuatkan minuman untuk mereka yang berada di ruang tamu. "Bang Randu, Mbak." Aku mendengar Mbak Mela berdecak, tanda tak suka dengan jawaban yang diberikan."Kenapa, sih, Bang Sukri itu apa-apa menghubungi Randu?" Pertanyaan serupa protes itu keluar dari bibir Mbak Mela. Aku hanya bisa mengangkat bahu sebelum kembali berjalan menuju dapur."Memangnya kenapa kalau Randu yang datang, Mel?" tanya Mbak Puji saat aku sudah menjauh dari mereka. Aku berjalan ke arah depan dengan membawa nampan berisi teh manis dan kudapan. "Ini rencananya mau ditempati siapa, Nak?" tanya Bapak yang aku dengar dari ruang tengah
"Ibu kenapa, Mbak?" Aku sudah takut duluan. Takut ada apa-apa dengan ibu mertua. Biar bagaimanapun kami pernah begitu dekat."Bi Wiwin masuk rumah sakit setelah terjatuh dari ranjang katanya. Dari masuk rumah sakit sampai saat ini beliau belum membuka mata. Mbak takut, Lin. Bi Wiwin adalah orang tua yang Mbak punya saat ini." Mbak Niswa sesenggukan di seberang sana. Ya, Ibu adalah satu-satunya orang tua yang Mbak Niswa miliki. Orang tuanya telah lama meninggal. Bahkan menurut penuturannya, Ibulah yang mantu Mbak Niswa. "Innalillahi … bagaimana bisa jatuh dari ranjang, Mbak?" Rasa penasaran tak dapat aku sembunyikan."Mbak juga kurang tahu, Lin. Tapi, ini perkiraan Mbak ya, kayaknya penyebab Bi Wiwin itu bukan semata-mata jatuh melainkan, soal tanah yang dijual atau digadaikan oleh Radit." Tanah? Radit menggadaikan atau menjual tanah ibunya? Iya, Ibu memiliki tanah peninggalan almarhum suaminya di sini, di kecamatan sebelah. Sayangnya, tanahnya berbentuk rawa yang kurang produktif. S
Aku menunggu Mbak Nanik yang berjalan ke arah kami. Dari seberang jalan dia berjalan ke arah sini. Sesekali ia menoleh kiri dan kanan jalan. Mungkin takut tiba-tiba ada kendaraan yang melintas dengan kencang."Dia yang kakak tirinya Radit itu, De?" tanya istrinya Bang Sukri. Aku mengangguk. Mbak Puji baru bertemu dua kali ini dengannya, jadi wajar kalau ia belum begitu paham."Bukankah rumahnya jauh dari sini, ya? Kok ada di sini?" Bang Sukri pun tampak heran. Aku hanya bisa mengedikkan bahu. Sama-sama nggak tahu kenapa bisa bertemu dengan kakak ipar tiri di sini."Kok ada di daerah sini, Mbak?" tanyaku saat Mbak Nanik sudah mendekati kami. Kami menyambutnya hangat meskipun dalam hati penuh tanda tanya. Aku dan Mbak Puji pun menjabat tangan Mbak Nanik, tak lupa cium pipi kiri dan kanan. Aku pikir di sini tidak akan bertemu dengan orang-orang yang dikenal. Nyatanya perkiraanku salah. Buktinya, kami harus bertatap muka padahal daerah sini berjarak lumayan jauh dari kecamatan tempat ti
"Mbak sudah tahu bahwa kalian sudah berpisah secara agama. Mbak tahu kamu sakit hati karena sudah dimadu oleh Radit sehingga nekat datang ke sana dan menyerahkan ibu pada mereka. Mbak paham posisimu, Lin. Tapi, ada yang Mbak sesalkan kenapa kamu tidak bicara dulu sama Mbak?" Ucapannya lembut tapi menusuk. Aku mengangkat salah satu sudut bibir. Ingin langsung menjawab tapi pemilik kedai sudah mengantarkan pesanan kami. Aku diam sejenak, mengatur napas agar bisa bicara dengan tenang. Tangan ini pun sibuk mengaduk jus dalam gelas. "Gara-gara kamu antarkan ke sana saat ini ibu kembali drop. Lebih parah dari biasanya. Mbak benar-benar menyesalkan perbuatan gegabah mu, Lin. Padahal, kalau kamu mau berunding sama Mbak, pasti Mbak bersedia merawat Ibu." Mbak Nanik berbicara dengan penuh emosi. Menyalahkan tindakanku. Seolah selama ini dia orang yang paling open dengan ibu. Ada apa ini? Pasti ada apa-apa yang melatar belakangi perubahan sikapnya yang mendadak baik begini. Ah, aku tahu itu.
POV Bu WiwinKini aku tahu mengapa akhir-akhir ini hatiku sedih. Sepertinya Tuhan telah memberikan firasat padaku. Sebuah pertanda bahwa inilah hari-hari terakhirku bersama Alina. Menantu yang sangat sayang padaku. Aku yang telah membuat dia berubah seperti ini. Hatiku hancur saat ini. Ada penyesalan yang tak terbantah di dalam sini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin bubur dijadikan makanan lainnya. Satu-satunya caranya hanya tinggal dinikmati. Toh, disesali juga tidak ada gunanya. Begitu pun dengan nasibku kini.Dadaku sesak saat diam-diam aku mendengar talak yang dijatuhkan Radit pada Alina. Ya, aku tahu itu pun permintaan menantuku. Mungkin, dia sudah sangat sakit hati oleh pengkhianatan kami. Aku pun ikut serta dalam mengkhianatinya. Setelah itu hari-hariku selalu murung. Alina yang dulu sibuk menghibur diri ini di saat sedih, kini tak lagi. Perempuan itu banyak diamnya. Tak lagi hangat seperti dulu walaupun masih mengurus segala keperluan dan juga melayaniku dengan b