Ketika Istri Mati Rasa.Kutinggalkan ruang guru dengan langkah gontai. Sesekali kutengok ke arah kelas Ralia. Namun, sepertinya anak itu sudah anteng di kelasnya. Ingin rasanya aku bertanya pada anak itu sekarang. Tapi, bagaimana kalau dia masih membungkam mulutnya?Aku berjalan seperti tidak menapak ke bumi. Di kepala ini rasanya banyak kunang-kunang yang bertebaran. Aku tidak bisa mengendarai motor dengan keadaan seperti ini. Sebaiknya, aku ke kembali warung nasi uduk tadi. Semoga teh manis bisa memberikan kekuatan pada tubuh ini. Badanku lemas seperti ini mungkin karena belum makan sejak tadi."Bu, nasi uduk sama teh manisnya satu, ya." Kupesan nasi putih yang dibumbui santan itu pada perempuan bertubuh tambun. Pemilik warungnya."Ya, Bu. Pake sambal?" tanya Ibu itu dengan ramah. Aku hanya bisa mengangguk. Tak lama kemudian dia sudah menyerahkan piring yang berisi nasi uduk lengkap dengan pelengkapnya serta tak lupa sesendok sambalnya. Meskipun bertubuh tambun, perempuan itu terma
Motor ku belokkan ke arah rumah Mbak Ratmi. Aku tidak bisa memendam masalah ini sendiri. Segera kuparkirkan kendaraan roda dua ini di depan rumah kakak perempuanku. Semoga dia bisa menerima aku sebagai adiknya. Kutekan egoku dalam-dalam sebelum mengetuk pintu rumah bercat cream tersebut. Sebagai seorang adik yang tidak dikehendaki kehadirannya, aku harus bisa merendahkan hati serendah-rendahnya di hadapan Mbak Ratmi."Assalamualaikum." Salam ketiga pintu rumah ini baru terbuka."Waalaikummussallam. Tumbenan datang ke sini? Mau apa?" Wanita bertubuh berisi itu membuka pintu depan wajah kaget. Pertanyaannya pun cukup ketus. Tidak sepantasnya seorang kakak bertanya demikian ketika adiknya datang. Namun, kali ini aku tidak boleh tersinggung seperti sebelum-sebelumnya. "Ada perlu, Mbak." Kuikuti langkah Mbak Ratmi yang berjalan ke arah sofa. Aku harus lebih ramah."Mau pinjem duit? Aku tidak memiliki banyak uang seperti kamu. Apa kurang kiriman Radit untuk Ralia?" Pertanyaan yang serupa
Ketika Istri Mati RasaSeason 2POV Author"Gimana kabarnya Ralia, Tante? Sudah lama Saka nggak ketemu si mungil." Saka menatap buliknya dengan lekat. Mungil julukan yang disematkan untuk Ralia dari anggota keluarga Ratmi.Desti terdiam. Wanita yang hatinya sedang tidak baik-baik saja itu tidak tahu harus menjawab apa? Tubuh Desti ada di rumah Ratmi, tapi tidak dengan pikirannya. Desti terlihat menghembuskan napas berat. Tatapannya menerawang. Banyak hal yang ia pikirkan.Saka menatap ibunya sembari mengangkat dagu ke arah Desti. Sorot mata pemuda itu seolah berbicara, 'lihat Tante, Bu!' Paham dengan tatapan anaknya, Ratmi segera menepuk pundak adik perempuannya tersebut."Desti, kenapa melamun? Ada apa? Ralia tidak kenapa-kenapa, kan?" Tepukan Ratmi di pundaknya membuat Desti terjingkat kaget. "Hah … kenapa, Mbak?" Desti tergagap. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang ditanyakan kakaknya."Kamu kenapa? Ada masalah apa?" Ratmi kembali memberi pertanyaan pada adiknya.Desti kem
Tubuh yang semakin hari semakin kurus itu melorot ke lantai seiring dengan luruhnya air mata yang deras seperti aliran anak sungai. Mengingat foto kiriman dari Radit, penyesalan Desti kian menjadi. Dadanya yang dipenuhi rasa bersalah itu terasa semakin sesak saat menyadari dirinya penyebab semua ini."Seandainya aku tidak berbuat serong, maka semua ini tidak akan pernah terjadi." Salah satu ungkapan penyesalan terbesar dari seorang Desti.Rasa bersalah bergulung-gulung di dalam dada wanita yang telah melahirkan Ralia. Puluhan kata seandainya bermunculan di dalam benaknya sebagai ungkapan penyesalan yang tak ada ujungnya."Maafkan Ibu, Nak! Ini semua terjadi karena kebodohan ibumu ini, Ralia!" Beberapa kali Desti melayangkan pukulan di kepalanya sendiri. Semua itu dia lakukan untuk menghukum isi kepalanya.Menurut Desti, isi di balik tempurung kepalanya wajib diberi pelajaran sebab dari sana ide main gila itu bermula. "Innalillahi … Desti! Apa yang kamu lakukan?" Ratmi yang muncul d
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu