"Apa yang ingin kamu katakan sampai-sampai berani untuk pergi ke sini?"
Terbalik dengan pertanyaan yang terkesan menyindir, justru Raden memberikan senyuman kecil yang nyaris tak terlihat. Tentu saja Anna melewatkan itu karena sudah jatuh dalam bayang-bayangnya sendiri.
Seakan kalimat yang sudah ia rencanakan sebaik mungkin sebelum ke sini tidak pernah ada, wanita itu kelimpungan sendiri. "Aku ... aku ... ingin minta maaf. Setelah aku bercermin seharian, aku sangat menyadari betapa besar kesalahan yang kulakukan kemarin lusa. Maafkan aku, dengan tulus aku berkata."
Fyuh, untunglah dia tetap berhasil mengatakannya.
Sayang sekali, perkataannya tidak berhasil mengundang respon Raden. Justru pria itu lebih sibuk mengamati tingkah sang istri daripada mendengar ucapannya. Anna menyalahpahami maksud dari tatapan mata Raden, cepat-cepat ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi aku sudah terlanjur tahu. Jadi mau bagaimana lagi?"
Alis kanan Raden terangkat bing
Menjadi orang yang ditunjuk mendadak sebagai direktur sebuah perusahaan adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi siapapun. Apalagi untuk Raden yang saat itu baru berumur tujuh belas tahun. Ini bukan cerita fiksi ala dongeng di mana seseorang bisa meraih kesuksesan di umur yang terlalu muda. Namun, Adit terus berkata, "Tidak apa-apa, Paman akan ada di sisimu. Selain itu, kamu juga tidak langsung menjadi direktur utama. Kamu harus masuk kuliah, kampus terbaik, ke luar negeri, menduduki jabatan sederhana sebelum sungguhan menjadi pemimpin perusahaan itu." Karena Adit merupakan teman akrab Ayahnya yang sangat perhatian, Raden pun percaya. Dia melakukan yang terbaik karena ada beban dari tanggung jawab besar yang kelak diletakkan di punggungnya. Selangkah demi selangkah, tangga demi tangga, hari-hari terus bergulir menjadi baru dalam, matahari terus menerus terbit dan tenggelam. Tiba hari di mana Adit kembali memanggilnya."Ini sudah waktunya. Usiamu saat
Sejak hari meminta maaf, semua terasa lebih melegakan dan menyenangkan. Mungkin hanya Anna yang bisa merasakan hal itu. Biasanya dia tidak hobi menyalakan televisi untuk benar-benar ditonton, tapi karenamood-nya cukup baik, remot yang dipegang sudah menyalakan televisi berukuran 120 inch. Kebetulan saat dia buka, program yang tengah ditayangkan adalah segmen untuk membicarakan para artis. Anna hanya sekedar mengetahui siapa nama artis tersebut dan menilai apakah mereka cukup cantik atau tidak tanpa fokus mendengarkan isi beritanya. Hingga tibalah di salah satu foto artis. Kebetulan, berita mengenai artis itu lebih panjang dibanding artis lain. "Wah, cantik banget! Siapa namanya?" "Melalui penampilan menariknya dalam film berjudul 'Anak Darah', Cathleen Arania berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia. Artis berdarah campuran...." "Oh, pantes aja cantik. Ternyata blasteran," celetuk Anna. Padahal sedaritadi dia tidak memperhatikan
"Sepertinya saya harus segera kembali karena harus mengikuti rapat. Tidak apa-apa jika saya membiarkan anda di sini, kan?" tanya Raden dengan sopan sesudah memeriksa jam tangannya. Tangan Cathleen menyalakan layar ponsel dengan cepat untuk melakukan hal yang sama. Ternyata laki-laki itu sungguhan hanya punya waktu 45 menit saja. Sedangkan sekarang empat puluh menit sudah berlalu sangat cepat dan dia sudah hendak pamit pulang. "Tidak apa-apa," jawab wanita tersebut dengan garis senyuman yang lebar. Saat Raden sudah akan berjalan satu langkah lebih jauh, Cathleen buru-buru menahan tangannya. Raden melihat ke tangan artis dengan tatapan curiga, dengan begitu sang artis langsung menarik tangannya. "Maafkan ketidaksopanan saya." Pria tersebut tidak mengatakan apapun selain membuat garis senyum dan menganggukkan kepala. "Apakah masih ada yang ingin Anda bicarakan?" "Kira-kira ... eum, apa kita bisa bertemu seperti ini lagi?" Anggukan kepala dari pria itu setelah pe
Sebenarnya Raden sudah yakin bahwa dia akan terlalu sibuk untuk bertemu dengan Cathleen lagi. Namun entah kenapa, seperti ada sesuatu yang membuat mereka terus bertemu. Bahkan setelah sebulan berlalu sejak penandatanganan kontrak kerja sama, Raden cenderung lebih sering bertemu dengan Cathleen dibanding istrinya sendiri. Di luar kantor, mereka bisa bertemu secara kebetulan di restoran yang sama. Biasanya Cathleen yang akan menyapa duluan. Jika Raden sedang tidak bertemu siapapun di restoran tersebut, pasti wanita itu menawarkan diri untuk menemani makan. Raden yang sendirian pun akan merasa sedikit tidak enak hati untuk menolak hal tersebut. Mungkin Raden akan merasa kebetulan ini sesuatu yang wajar jika mereka hanya bertemu di luar kantor secara informal. Tapi, ketidakwajaran mulai dirasakan saat Cathleen datang ketika seseorang baru saja membatalkan janji temu dengannya. Setiap kali ditanya kenapa dia ke kantor, ada saja bahasan-bahasan yang menarik mengena
Langkah kaki Anna terhenti ketika dia melewati dua orang dengan tanda pengenal menyebutkan nama yang sangat familiar di telinganya. "Semenjak kita bekerja sama dengan Mbak Cathleen, sepertinya Pak Raden sering makan di luar, ya?" Tentu saja ia menjadi tertarik sekaligus penasaran. Omong-omong Raden masih pemimpin perusahaan ini, kan? Memangnya boleh untuk bawahan membicarakan pemimpin mereka? Atau tidak apa-apa asalkan tidak diketahui orang yang dibicarakan? Ah, entah mana yang benar, Anna sudah terlebih dahulu menarik diri untuk menguping pembicaraan mereka secara diam-diam. Apalagi kali ini nama Cathleen disebutkan kedua kalinya. Orang yang menjadi partner bicaranya setuju dengan gagasan tersebut "Iya. Kata Handi, dia sempat lihat Pak Raden makan dengan Mbak Cathleen. Apa jangan-jangan mereka punya hubungan, ya?" Huh? Berita aneh macam apa itu? “Mungkin aja. Apalagi Pak Raden masih single. Si artis juga masih single. Mereka
Raden sendiri mengakui bahwa melalui bekal yang dibuat Anna, dia tahu kemampuan memasak sang istri tidak seberapa, tetapi dia tetap memberi apresiasi atas itu. Setidaknya dia masih bisa memakan hingga habis. Sebagai ucapan yang tidak bisa diungkapkan secara langsung, Raden menekan kontak Anna untuk mengirimkan pesan. Raden:Terima kasih untuk bekal hari ini:) Masakanmu enak juga. Notifikasi pesan tersebut muncul di layar ponsel Anna, tapi dalam satu detik kemudian sudah ia hilangkan. Alih-alih membalas, Anna lebih sibuk mencari tahu lebih mengenai Cathleen. Sejak sebulan lalu ia menelusuri internet untuk sekedar mencari info biasa, Anna tidak lagi mengikuti aktris tersebut. Namun, karena ada bisik-bisik gosip yang mengusik hati, sekarang dia hendak mencari tahu semua hal mengenai Cathleen. Dari semua kehidupan personal Cathleen, Anna mengetik 'Pasangan Cathleen' di laman pencarian. Satu detik kemudian, sudah ada beberapa
Sesuai janji dan tempat yang diberitahu Raden, mereka tiba tepat waktu di sana. Untuk mempercepat waktu, Raden sudah sengaja memesan tempat serta menu sehingga mereka hanya perlu menunggu makanan tersebut siap tanpa menghabiskan waktu memilih makanan lagi. "Tenang saja, aku sudah memesankan makanan yang akan pas di lidahmu." "Oke," sahut Anna dengan cuek. Raden yang masih belum memahami situasinya melemparkan senyum tidak begitu lebar, tapi juga keluar tanpa paksaan. Dia hanya senang--entah kenapa dia merasa seperti ini--melihat Anna duduk di hadapannya lagi. Sudah lama mereka tidak bertemu sejak sebulan lalu. Wanita itu sendiri memutuskan untuk menyibukkan diri dengan melihatb pemandangan luar. Mata cokelat gelapnya yang terkadang terlihat jernih dan cerah akibat pantulan matahari membuat Raden diam-diam betah memperhatikannya. Setidaknya sampai Anna menyadari dan mengomeli tindakan pria tersebut. "Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apa ada yang salah denganku?"
Tidak perlu ada kecemburuan kedua, Raden sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Jangan sering bertemu dengan Cathleen lagi. Sebenarnya cara Anna menampilkan kecemburuannya masih tidak seburuk mantan pacarnya. Sebagai lelaki normal, Raden sudah berpacaran tiga kali--terhitung sedikit karena rata-rata hubungannya berjalan dalam waktu lama. Pertama kali dia berpacaran di akhir tahun SMA. Karena saat itu mereka baru remaja, tentu kecemburuan bisa berakibat parah. Raden masih ingat bagaimana ketika sang pacar melihat dia bersama gadis lain, entah untuk sekolah atau sekedar mengobrol ringan, mendadak sang pacar akan susah untuk ditemui dan diajak ngobrol. Sampai mereka menginjak dunia kuliah pun, Raden tidak bebas untuk bersosialisasi--padahal itu penting. Beruntung di awal semester lima, pacarnya mengubah status menjadi mantan secara resmi. Raden menerima begitu saja sebab tidak ada lagi perasaan cinta yang berkobar-kobar seperti saat SMA. Toh dia harus segera fok