Hari-hari setelah kepergian Dinda, membuat Afif enggan melakukan apapun. Ia tak lagi semangat hidup, kedua wanita yang di cintainya sama-sama pergi meninggalkan dirinya. Sungguh takdir begitu jahat mempermainkan perasaannya, sehingga membuat Afif benar benar merasa jatuh ke jurang yang paling dalam.Baby Gina tumbuh dalam asuhan bi Yuni dan kedua orang tua Afif. Afif tak begitu memperdulikan putri kecilnya itu, ia bahkan enggan melihat wajah putrinya yang selama ini di harapkan nya. Setiap kali Afif melihat bayi mungil itu, saat itu juga fikirannya melayang kepada setiap perbuatannya kepada Arumi. Dan Afif menyalahkan bayi itu karena telah hadir dan merusak hidupnya dengan Arumi.Tak ada lagi yang ada di fikiran Afif kecuali kerja, kerja dan kerja. Setiap orang yang kenal dengannya tak lupa untuk menasehati Afif agar tak larut dalam masa lalu dan tak mengabaikan baby Gina, tapi nasehat hanyalah tinggal nasehat yang tak pernah merasuk kedalam hati Afif dan hanya menjadi angin lalu bag
""Don't touch my wife!"Arumi yang mendengar jawaban dari suaminya tersebut hanya menatap Afif dengan pandangan yang, entahlah."Please, untuk yang terakhir!""Satu detik!"Mendapat persetujuan dari Darryl, Afif segera memeluk Arumi. Air mata yang sedari di tahannya kini tumpah sudah, tak peduli akan tatapan orang-orang yang memandangnya, Sedangkan Arumi hanya diam tak membalas pelukan Afif."Aku masih sangat mencintaimu, Ar. Aku pernah berharap untuk kembali lagi bersamamu, tapi kenyataan hari ini begitu menamparku."Arumi tak bergeming mendengar pernyataan dari Afif, memori-memori saat bersama Afif kini muncul kembali membuat luka itu seakan masih sangat terasa.Arumi mendorong tubuh Afif agar melepaskan pelukannya, setelah pelukan mereka terlepas, Arumi mengalihkan pandangannya enggan menatap Afif."Aku pamit, terimakasih untuk pelukan terakhirnya."Afif berlalu dari hadapan Arumi, tanpa menyentuh hidangan yang tersaji, Afif memutuskan untuk pilang terlebih dahulu. Ia tak sanggup m
Tiga tahun sudah Arumi tinggal di Singapura ikut dengan suaminya. Tak mudah bertahan hidup dalam waktu tiga tahun ini. Arumi harus melakukan perawatan kesana-kemari untuk menyembuhkan penyakit kankernya. Tak hanya pada pengobatan medis, pengobatan non medis pun seperti menggunakan obat-obatan herbal dan alami di lakukan Arumi agar bisa sembuh dari penyakitnya. Usaha tak akan mengkhianati hasil, sebuah keajaiban pada tahun ketiga ini, lebih tepatnya lima bulan yang lalu, Arumi di nyatakan sembuh total. Bahkan dokter pun menyatakan bahwa kanker tersebut sudah tidak ada sama sekali.Rasa bahagia menyusup di hati Arumi, Darryl beserta keluarga Darryl, termasuk juga Andra dan keluarga tak kalah bahagia mendengan kesembuhan Arumi. Tentu saja mereka sangat bersyukur atas kesembuhan Arumi, mengingat bagaimana saat Arumi masih berada di Indonesia, wanita itu berjuang melawan kanker serta sakit hatinya. Kondisi yang tak kunjung membaik akibat beban pikiran yang di emban, membuat Arumi kehilanga
"Honey, pelan-pelan jalannya, jangan lari-lari! Kasian Dede nya kalau di bawa lari.""Aku nggak lari, cuma jalan cepet. Lihat tuh! Bagus banget tempat tidur bayinya, aku mau yang itu,""Iya, pelan-pelan, sayang. Gak akan di ambil orang!"Arumi tak menghiraukan perkataan Darryl, Arumi terus saja berlari kecil ingin segera sampai pada box bayi yang tadi ditunjuknya. Perutnya yang sudah membuncit membuat ia sedikit kesulitan membawa bobot tubuhnya.Kini kandungan Arumi sudah memasuki bulan ke delapan, yang artinya sebentar lagi bayi mungil yang belum di ketahui jenis kelaminnya tersebut akan segera hadir ke dunia. Tak mudah bagi Darryl menghadapi mood Arumi yang sering berubah-ubah akibat hormon kehamilannya. Namun Darryl tak keberatan sama sekali akan hal itu, justru ia senang, ia bisa menjadi suami yang siaga untuk sang istri. Sering kali Arumi meminta makan di tengah malam, dan dengan senang hati Darryl menemani istri tercintanya. Namun, ketika Darryl mendapatkan sift malam, maka Darr
"Sudah ku bilang jangan terlalu dekat dengannya!" Teriakan seorang perempuan dari dalam sebuah kamar terdengar begitu menggema sampai ke luar, membuat seorang wanita yang hendak mengetuk pintu mengurungkan niatnya. Ia memilih diam untuk mencuri dengar apa yang tengah sepasang manusia di dalam tersebut perdebatkan."Jangan egois, Fika!" teriakan si lelaki pun tak kalah nyaringnya dari perempuan yang di panggilnya Fika itu."Pokoknya aku gak mau kamu dekat dengan wanita itu, Arfan!""Untuk apa kau memintaku menikah dengannya, jika kau melarang aku dekat dengan dia?""Aku memang memintamu menikah dengan dia, tapi bukan berarti aku mau melihat kamu bermesraan dengan wanita itu, Arfan. Mengertilah, aku sakit melihat kalian begitu dekat!" Kata wanita yang bernama Fika itu dengan lirih sambil terduduk lesu di pinggir tempat tidur dengan air mata yang mengalir dengan derasnya"Maumu apa, Fika? Kamu mau aku gimana? Aku pusing hampir setiap saat bertengkar dan semua berhubungan dengan Hilmi!" A
"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon."Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti."Aku minta tolong boleh?""Boleh, Mas,""Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana."Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?""Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Diam, adalah caranya menyikapi semuanya. Hilmi selalu mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa dia harus sadar posisinya saat ini."Baik, Mas,""Bawa dua porsi, ya. Kita makan siang bersama," pinta arfan"I-iya, Mas." ada ras
"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon."Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti."Aku minta tolong boleh?""Boleh, Mas,""Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana."Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?""Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu
Langkahnya ia bawa menuju lift untuk karyawan, menekan tombol lantai satu bersama para karyawan lainnya yang hendak turun untuk makan siang. Semua yang ada di dalam lift sedikit menepi melihat istri bos mereka memasuki lift. Hilmi menebar senyum memberitahu bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi yang melihat kejadian barusan mereka tahu bahwa senyum itu hanya sebagai penutup luka lara yang ada di hatinya."Hati-hati, Bu," ucap salah seorang karyawan perempuan yang ada di samping Hilmi saat Hilmi sudah mulai melangkah keluar dari lift tersebut."Iya, terimakasih, saya permisi dulu." Jawab Hilmi sambil memberikan senyum singkat."Maaf, Bu, bapak meminta saya untuk mengantar ibu," pak Kasim, supir perusahaan menghampiri Hilmi yang sudah berdiri di pintu lobi perusahaan."Nggak usah, saya sudah pesan taksi," jawab Hilmi menolak."Tapi, Bu, ini perintah bapak!""Maa