KETIKA MAS GAGAH TIBA 32 POV Andini "Gak apa-apa tidur tanpa ranjang?" Aku bertanya. Kami berdua berbaring di atas kasur. Menatap plafon. Ada-ada saja kejadian malam ini. Ranjang lapuk itu malah hancur. Duh, bisa-bisanya aku gak kepikiran beli ranjang baru. "Enggak masalah. Jangankan tidur tanpa ranjang. Tanpa kasur saja mas sering." "Masa?" "Ya. Dulu pernah ikut sisir pantai. Tidur di pinggir laut, di atas batu dan pasir. Pas bangun badan udah basah karena air pasang. Sering juga sengaja direndem tengah malam di kolam saat pelatihan. Apa lagi kalau sudah kecapean, kadang baring di mana saja yang penting bisa tidur." "Pasti berat ya latihan jadi atlet gitu?" Aku mengubah posisi tidur jadi miring. Melihat dia yang terlentang dengan tangan terlipat di belakang kepala. Masya Allah ya indahnya punya suami. Sampai malam selarut ini ada teman bicara. Nata mulai bercerita bagaimana unik perjalanan hidupnya. Mulai dari sebatas latihan di kali sampai melanglang buana ke luar negeri. Na
KETIKA MAS GAGAH TIBA 33Esoknya, suamiku memberikan uang sesuai yang dia janjikan. Sungguh aku sangat menyayangkan tindakannya itu. Pasalnya, uang itu buat Wulan, dan aku tak yakin akan dibayar.“Belum tentu dibayar uangnya nanti, Mas,” kataku saat kami menuju rumah Nata.“Gak apa-apa lah, sedikit ini.”“Banyak gitu bilang sedikit?”“Mas ada. Enggak enak saja sama bapak, kasihan.”Aku cemberut. Katanya kecewa karena nikahan aku dipersulit sementara Wulan diperlakukan sebaliknya. Tapi tetap saja ngasih pinjam. Menurut dia uang segitu sedikit, pagahal kan gede.“Sudah tak perlu cemberut. Memang tak kasihan sama bapak, posisinya mungkin serba salah.”“Akan terus serba salah kalau tetap hidup sama Bu Sum.”“Sudah jadi pilihannya. Mau dikata apa.”“Dosa gak sih kalau aku jodohin bapak sama wanita lain?”“Hus, ada-ada saja.”Kami sampai di rumah Nata. Aku dan dia memang masih sering bolak-balik. Rumah dia mau pun rumahku bukan untuk tempat menetap. Kami akan tinggal di kota kalau cuti suda
KETIKA MAS GAGAH TIBA 34Malam selepas Isya, Nata mengajak kami makan di sebuah restoran. Lokasinya cukup jauh dari rumah ditambah jalanan macet, tiba di lokasi perut sudah berontak. Suamiku ini memilih restoran yang sangat cantik. Ada indor dan outdor. Outdor-nya merupakan saung-saung yang ada di tepian danau. Ada juga yang memang sengaja dibuat terapung. Ikan bakar merupakan menu unggulannya.Kami mengisi salah satu saung. Lampu kuning bertebaran di mana-mana. Langit hitam bertabur bintang juga kerlip cahaya lampu terpantul indah di air danau yang beriak. Di kejauhan, gedung tinggi menjulang.Lilin minyak dalam sebuah gelas beling di atas meja bergoyang-goyang tertiup angin malam. Aneka hidangan mengelilinginya. Nata memesan banyak makanan.“Nah sekarang kita makan di sini dulu, tidak perlu pikirin masak-masak,” katanya. Peralatan dapur Nata memang belum lengkap, bisa dibilang belum ada malah. Jadi untuk sekarang, beli saja dulu.Kami mulai menyantap hidangan. Mengisi perut keroncon
KETIKA MAS GAGAH TIBA 35Merasa diabaikan, aku mengejar dia ke depan. Mas Nata tampak menahan senyum sambil menyalakan TV."Aku cemburu, dengar tidak?""Terus Mas harus gimana?""Klarifikasi lah. Dia siapa? Kenapa masuk rumah orang tanpa etika. Pake baju seksi pula. Mana bilang kecewa karena kita menikah."Suamiku menghempaskan bokong di sofa. Dua tangannya merentang, lalu melambaikan jari. Kemudian menepuk sofa di sampingnya, menyuruh duduk.Dengan malas aku patuh. Duduk tepat di sampingnya."Oke. Mas klarifikasi." Mas Nata mengubah posisi duduk jadi menyamping. Kepalanya ditopang telapak kiri yang bertumpu pada sandaran sofa. Menatapku lekat bersama seulas senyuman yang tak pudar."Namanya Nona. Dia masih kelas dua SMA. Anak tetangga, kebetulan Mas dekat dengan ayahnya.""Kamu juga akrab dengan anaknya?"Dia berpikir sejenak. "Tidak," serunya seraya menggeleng. "Selayaknya tetangga.""Kenapa dia pake kecewa pas tahu kita nikah?""Katanya dia dan kakaknya suka sama Mas. Memang anakny
KETIKA MAS GAGAH TIBA 36Beranjak dari kehidupan Andini Larasati yang sedang membangun fondasi rumah tangganya. Jauh di sana, di sebuah perkampungan, Pak Galuh memijat pangkal hidung. Dahi mengernyit tegang. Raut kacau. Sejalan dengan beban pikiran yang bertumpuk.Semakin hari, semakin aneh-aneh saja keinginan istri dan anak tirinya. Dituruti satu minta yang lain. Yang lain diikuti minta lagi yang lebih. Sebagai seorang kepala keluarga, dia berusaha memenuhi semua harapan, sayangnya harapan itu semakin berat saja bergantung di pundaknya. Bertolak belakang dengan kekuatan tubuh yang terus menua.“Dekornya harus yang bagus, Pak.”“MUA-nya harus yang sama dengan Andini.”“Pokoknya prasmanannya harus daging, jangan ayam. Malu-maluin.”“Pilih hiburan juga jangan artis kampung.”Sumarni terus saja menuntut ini dan itu. Padahal kondisi anaknya sudah tidak layak untuk dibuat pesta besar-besaran. Mau tidak dituruti, tapi minta ampun bawelnya Bu Sumarni. Dari pada telinga panas, mata sepet piki
KETIKA MAS GAGAH TIBA 37Pulang dengan heli. Setiap kali membayangkannya, Andini tersenyum geli. Terbayang saja jika iya, baling-balingnya yang berputar akan memorak-porandakan acara nikahan Wulan. Tentu itu hanya sebatas candaan, mana mungkin Nata melakukannya, meski begitu, cara suaminya sangat menghibur. Sedikitnya dapat menghalau rasa kecewa.Pada akhir pekan, pasangan yang masih diliputi suasana hangatnya pengantin baru itu kembali ke kampung. Mengendarai mobil Nata—sebuah kendaraan merah yang harganya jelas tak murah.Sungguh putri mana yang tidak kecewa diperlakukan berbeda dengan anak lainnya. Satu kandung saja jelas tidak akan terima, apa lagi orang lain. Kendatipun demikian, kehadiran Nata berhasil mengobati duka lara. Tak sempat Andini meneteskan air mata. Suami selalu hadir dengan pesonanya.Dalam perjalanan itu, Nata menggenggam tangan Andini, sesekali mengecupnya. Sementara mobil terus melaju cepat.“Jadi mau ambil jurusan apa?” Pria yang tidak bisa banyak bergombal itu
KETIKA MAS GAGAH TIBA 38Banyak pekerjaan di acara resepsinya Wulandari. Rumah itu ramai dari luar sampai ke dalam. Mayoritas yang datang keluarga dari Bu Sumarni sementara keluarga Pak Galuh hanya beberapa saja. Pasalnya banyak yang tak suka pada ketimpangan itu, jarak pernikahan Andini dan Wulan tidak jauh berbeda, tapi perlakuannya sangat berbeda.“Andini! Kau bantu lah sambut tamu di dalam, bukannya malah duduk-duduk di sini.” Bu Sum yang merasa kerepotan meminta bantuan. Bicara tepat di depan Andini dan Nata seraya sedikit mengangkat rok karena ribet. Nata segera memegang tangan Andini, menahan wanitanya agar tidak beranjak.“Kami tidak bisa berlama-lama. Minta yang lain saja, Bu Sum,” seru Nata.Bu Sumarni melotot. Dia ingin memaki hanya saja waktunya kurang tepat. Wanita berkebaya itu mengumpat lantas buru-buru pergi, meminta tolong pada keluarga yang lain.Hanya beberapa saat setelah ijab kabul dan makan-makan, Nata dan keluarga Pak Gumilar pulang.“Gak apa-apa kalau aku gak a
KETIKA MAS GAGAH TIBA 39“Maaf, Andin. Bapak belum bisa bayar hutang.” Pak Galuh menghela lemas di hadapan Andini, hari itu dia sengaja tidak pulang ke rumah, malah mampir ke kediaman Andini. Kondisi di rumah semakin membuatnya tidak nyaman. Apa lagi setelah kehadiran Burhan, Sumarni selalu saja mengomel hal-hal sepele. Tentang Burhan yang bau; sering menyimpan pakaian di mana saja; bangun siang dan kerjaannya tidak jelas. Kepala Pak Galuh berasap gara-gara curhatan tak pernah berujung itu.“Tapi tetap harus dibayar loh, Pak. Malu aku sama Mas Nata, bukan uang sedikit pula.”“Iya, Nduk. Bapak pasti bayar.”Kasihan juga Andini melihat kondisi Pak Galuh saat ini. Jika ingat bagaimana dia menghabiskan tahun-tahun yang telah berlalu dengan kondisi bapaknya yang bagai tuli dan buta hingga kehidupan Andini serupa neraka, ingin dia berpuas hati saja. Namun, nuraninya tidak sejahat itu. Tetap tidak tega melihat kondisi orang tua yang semakin nelangsa.“Apa sih, Pak, yang bapak pertahankan dar