Bab : 50Reaksi Andira tentang keluarga sang suami.***"Mbak Winda … Ya Allah, seneng banget rasanya melihat Mbak Winda ke sini." Andira memeluk Kakaknya yang baru sampai ke rumah. Begitu pun Winda, ia nampak senang melihat adiknya yang kini terlihat semakin cantik. Sudah banyak perkembangan rupanya."Ayo masuk dulu, Mbak," ajak Andira sumringah."Hei, Kakak ganteng. Makin ganteng aja sih ini keponakan Tante. Mau main sama dedek, nggak?" tanya Andira yang kini beralih menyapa Gilang."Mau banget, Tante," sambil berjingkrak, Gilang mengutarakan keinginannya. Senang sekali sepertinya."Mbak, tolong antarkan Gilang sama anak-anak ya!" titah Andira pada pengasuh anaknya. Lalu mengajak sang Kakak yang masih berdiri di depannya."Ayo, Mbak, aku kangen banget sama Mbak Win!" ujarnya, sambil menggandeng tangan Winda. Andira yang begitu senang lantas mengajak Winda masuk ke kamarnya. Diikuti oleh Winda yang juga senang melihat Andira begitu bersemangat.Mata Winda membelalak saat menyusuri ke
BAB : 51Kabar demi kabar yang didengar oleh Andira. Ada Alan?***Sungguh, kali ini Andira pun sangat terkejut dengan kabar yang didapat dari Winda. Nampak mulutnya ditutup dengan sebelah tangannya, karena reflek terkejut. "Minum dulu, An!" Winda yang melihat nafas Andira mulai memburu, mengambil gelas yang berada diatas nakas, lalu memberikan pada Andira.Dengan tangan sedikit gemetar, Andira menerima gelas dari Winda. Dan tak butuh waktu lama, gelas tersebut kosong karena di tenggak habis oleh Andira. Kini, nafasnya kembali tenang. Walaupun masih nampak seperti habis lari maraton, dan terlihat menghembuskan nafas berkali-kali, Andira kembali tenang seperti sedia kala. Hati dan pikirannya masih bisa dikendalikan dengan baik, sehingga Andira pun kini kembali seperti semula."Sumpah, Mbak. Aku sangat terkejut dengan kabar yang Mbak katakan padaku tadi!" Lirih, Andira berucap. Andira benar-benar tak menyangka bahwa mertua dan suaminya sendiri lebih memilih percaya pada seorang penj
Bab : 52Rasa kecewa diselimuti amarah di tengah kesibukan yang melanda.***Ruangan yang mewah dan nyaman rupanya tak membuat Alan terlena begitu saja. Saat ini ia sedang disibukkan oleh rencana meeting yang dijadwalkan siang ini. Dibantu oleh sekretarisnya, Alan begitu sibuk mempersiapkan bahan untuk presentasi bersama klien. Tok tok!Suara ketukan pintu membuyarkan Alan pada kesibukannya. Ia pun menghentikan aktivitasnya sejenak, untuk mengetahui siapa yang datang menemuinya."Masuk!"Lalu tak lama, nampak seorang wanita yang juga tengah sibuk itu menghampiri Alan."Maaf, Pak, untuk laporan yang akan digunakan sebagai bahan promosi, mengalami banyak kendala," Dengan rasa tak enak hati, perempuan yang sepertinya sekretaris Alan itu berucap.Alan menghembuskan nafas pelan. Mulai terlihat frustasi di wajahnya. "Kenapa?""Pak Rangga hari ini tidak masuk kantor, Pak!" Alan mendesah pelan. Bayangannya kembali memutar mengingat kejadian tadi pagi di rumah keluarga Rangga. Alan melihat j
BAB : 53Rasa khawatir mulai merambah ketika mendengar kabar tentang Andira.***Nampak jam tersebut menunjukkan angka 09:50 pagi. Itu artinya, ia harus ngebut menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk sebelum bel istirahat nanti. "Aku harus bergerak cepat!" gumamnya, lalu mengambil telepon untuk menghubungi karyawan lain yang bisa membantunya."Iya, Pak, ada yang bisa dibantu?" tanya karyawan yang sengaja Alan panggil untuk menemuinya."Kamu pelajari data yang saya kasih. Lalu kerjakan laporan yang berantakan. Waktumu tak lama, tolong manfaatkan sebaik mungkin. Jika selesai sebelum jam istirahat, kamu ikut saya meeting hari ini!""Baik Pak, akan saya kerjakan dengan sebaik mungkin!" ucap Karyawan tersebut, lalu meninggalkan ruangan Alan dengan muka berbinar.Alan pun tak asal memanggil pengganti untuk menyelesaikan tugas Rangga. Sudah tentu itu adalah karyawan pilihan yang Alan percaya. 'Padahal posisinya sangat bagus saat ini. Namun sayang, Rangga tak melaksanakan tanggung jawabn
Bab : 54Rasa yang mulai mengusik hati.***"Andira … kamu tidak boleh pergi!" gumam Alan pelan, sambil mengemudikan mobilnya dengan kencang. "Semoga aku masih bisa menemuinya di rumah!" gumamnya lagi. Alan sangat takut bahwa tadi pagi adalah pertemuan terakhir antara dirinya dan Andira.Rumah tampak sepi ketika Alan menginjakkan kakinya di depan pintu. Sang Bibi pun beberapa kali menguap ketika membuka pintu untuk tuannya yang baru pulang tersebut. Memang sudah larut malam, wajar saja jika penghuni rumahnya sudah tidur di kamar masing-masing."Bi, Andira ada kan?" Alan yang dilanda cemas pun bertanya pada Bibi."Ada di kamarnya, Pak," Alan yang mendengarnya pun bernafas lega. Ia nampak menarik nafas dalam, lalu menghembuskan kasar. Seakan menghilangkan beban yang mengganjal. Sang Bibi yang melihat tingkah majikannya menyipitkan mata. "Aneh banget si Bapak, emang kenapa gitu?" gumamnya. Lalu meninggalkan sang majikan setelah kembali mengunci pintu rumahnya.Alan pun bergegas menuju k
BAB : 55Ini tentang rasa, dan semua seakan terasa nyata.***"Mungkin Bunda sedang mandi, sayang. Kita tunggu sebentar ya!" ujar Alan, namun Riana masih merengut karena tak puas dengan jawaban sang Ayah."Perasaan Mama juga gak enak, Lan. Coba kamu temui Andira sebentar. Nggak mungkin Andira mandi jam segini, kamu tahu bahkan biasanya jam segini Andira sudah aktif membantu Bibi dengan keadaan sudah rapi!"Ucapan sang Mama membuat jantung Alan berdetak tak karuan. Ia pun tak dapat menahan rasa khawatirnya. "Maaf saya baru turun, Bu, Mas," Sontak saja semua menoleh mendengar suara tersebut. Dan ternyata memang Andira yang baru gabung dengan mereka. "Maaf, Sayang, Bunda baru turun. Sini, peluk Bunda dulu!" Andira merentangkan tangan pada Riana, lantas Riana pun langsung menghambur ke pelukan Andira.Alan memandang Andira tanpa mengedipkan mata. Sungguh, ia merasa benar-benar melihat Renata dalam diri Andira kali ini. Andira yang nampak semakin cantik, cukup mengusik hati Alan. "Mas,
Bab : 56Dilema dengan keadaan dan perasaan.POV ANDIRA***"Bu Andira sakit?" tanya Bibi yang sedang mempersiapkan sarapan di dapur. "Ah, tidak, Bi, saya nggak kenapa-napa," ujarku tersenyum, sambil mengiris bahan-bahan yang akan dimasak pagi ini. Namun sepertinya Bibi tak percaya, beliau mendekatiku lalu mengamati wajahku. "Tapi Bu Andira mukanya pucat lo," ujar Bibi yang masih di depanku.Aku tersenyum, "Nggak, Bi, beneran saya gapapa!" ujarku kekeh, dengan masih mengiris bahan yang akan dimasak. Kali ini biar saja Bibi yang memasak, aku hanya bisa membantunya saja. Badan pun rasanya sangat lemas. Namun lemas bukan karena sakit, tapi hati yang memang sedang tak karuan mengingat kondisi Bapak yang sakitnya semakin parah. Jantung Bapak semakin melemah, untuk itu Bapak juga harus istirahat total dirumah. Untuk sementara, Ibu yang mengurus beberapa usaha Bapak.Semalam aku menceritakan semua masalahku dengan Ibu. Tentu saja tanpa diketahui oleh Bapak. Seperti yang sudah kuduga sebelu
BAB 57.Tingkah Aneh Mas Alan.***Bagaimana kabarmu hari ini, Andira?" tanya Bu Lestari ketika kami sedang berada di ruang tengah. "Seperti yang Ibu lihat, saya baik-baik saja. Oh ya, kapan Ibu ada jadwal terapi lagi?" tanyaku. Karena sekarang beliau sudah mulai melakukan terapi agar bisa berjalan seperti semula. "Besok sore, Andira, makasih atas dukungannya selama ini. Jujur, saya senang ada kamu dirumah ini. Selain Riana, Alan pun sepertinya juga sangat senang dengan keberadaanmu disini,"Aku menghela nafas panjang mendengar ucapan Bu Lestari. Benarkah seperti itu? "Andira, terima kasih atas dukungannya selama ini. Saya tidak tahu, jika tidak ada kamu mungkin akan selamanya berada di kursi roda ini." ujar Bu Lestari. Menyesal yang berlebihan membuat Bu Lestari kehilangan semangatnya. Dan alhamdulillah, akhirnya beliau mau menjalankan terapi untuk kesembuhan kakinya."Jangan berbicara seperti itu, Bu. Seharusnya saya yang berterima kasih karena telah dirawat sedemikian rupa disin