Share

Part 13

“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”

Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.

“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”

“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”

“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”

“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu. Terus aku sering minta pindah dari sini ‘kan sama kamu. Tapi kamu nggak mau. Ya udah, ibu emang begitu kok. Apa mau pindah sekarang? Ayo, aku masih mau kok. Hehe.”

“Nggak mungkinlah, Dek. Kita nggak mungkin pindah dari sini.”

“Ya udah, kalau tau gitu ya jangan marah dong. Nggak malu apa sama aku?”

“Sini cium ….”

Jari telunjuknya, ia letakan di pipi.

“Dasar manja emang.”

“Biarin ….”

Kukecup pipinya sesuai permintaannya. Mungkin dengan begitu dia merasa lega.

“Lutfan … antar Ibu sama Eliza yuk.”

“Tuh ‘kan Dek, ibu mau bikin ulah lagi. Apa coba maunya sekarang.”

“Udah sana, samperin.”

Dengan langkah yang berat akhirnya mas Lutfan memenuhi panggilan pemilik surganya.

“Kemana, Bu?” tanya mas Lutfan.

Mereka berada di ruang tengah tak jauh dari kamarku.

“Mau ke rumah bu Susi. Ayo, buruan.”

“Ngapain?”

“Mau ngambil barangnya Liza, ketinggalan di sana. Dulu ‘kan sebelum kerja di sini Eliza memang tinggal di rumahnya bu Susi. Eliza itu perantauan, jadi tinggal sama bu Susi di sini. Dia masih saudaraan ‘kan. Kebetulan, bu Susi itu teman Ibu. Ayo!”

“Salwa ikut ya, Bu?”

“Ngapain? Cuma bentar kok. Udah gitu aja, nggak usah ganti baju. Keburu sore.”

“Iya … nggak ganti baju. Aku mau pamitan dulu sama Salwa, Bu. Takutnya dia nyariin.”

“Ck! Anak ini. Nanti juga pulang, pamitan segala.”

“Apa salahnya, pamitan sama istri.”

Mas Lutfan sepertinya menghampiriku. Langkahnya mulai terdengar mendekati kamar.

“Dek … aku disuruh anterin ibu sama Eliza. Nggak apa-apa ‘kan?”

“Kemana?” tanyaku, pura-pura tak tau. Padahal sih dengar semuanya.

“Ke rumah bu Susi, katanya ada barang Eliza yang tertinggal di sana. Nggak apa-apa ‘kan?”

Mas Lutfan masih saja meminta izin kepadaku.

“Ya udah nggak apa-apa, Mas. Kan ada ibu, nggak Cuma berdua sama Liza.”

“Nggak apa-apa beneran?”

“Iya Sayang, nggak apa-apa. Sana Mas.  Pasti pada nungguin.”

“Ya udah, aku pergi dulu ya, Dek. Sini cium.”

Ya, demi mematuhi perintahnya. Aku yang sedang duduk santai harus bangkit dan berjalan kepadanya. Dia pasti akan mengecup keningku. Meski sangat manja, tapi aku suka. Tak lupa, aku pun mencium punggung tangannya. Padahal hanya akan pergi sebentar saja, tapi dramanya seperti akan pergi dalam waktu lama.

“Ayo antar aku keluar, Dek,” pintanya.

Padahal aku mau rebahan lagi di kasur.

“Iya udah, ayo ….”

Aku mengikuti langkahnya, mengantarnya pergi hanya untuk sesaat.

“Kamu ini, emang manja banget ya, Mas,” ucapku seraya berjalan mendampinginya.

“Hanya kepadamu, Sayangku.”

“Ya ampun … gombal terus kamu sih, Mas. Tapi aku suka, hehehe.”

“Lama banget sih, Fan! Salwa ikut?”

Baru satu kaki yang terlihat di garasi, namun ibu mertua sudah mulai mengomel. Tentu saja langsung protes saat melihatku bersama mas Lutfan. Dikiranya aku mau ikut. Padahal mah ogah. Nurutin suami saja, jadinya aku ada di sini.

“Kata siapa? Salwa nggak ikut kok. Tapi kalau boleh ikut, aku malahan senang.”

Siapa lagi kalau bukan mas Lutfan yang berbicara seperti itu. Ke dua sifat mereka hampir sama. Atau bahkan memang sama, tak heran, memang mereka ibu dan anak ‘kan?

“Nggak usahlah … lha wong Cuma bentar kok. Ayo, cepat Fan.”

“Ya ya ya … berangkat dulu ya, Dek.”

“Iya, Mas ….”

“Eliza, kamu di depan sana.”

Lagi-lagi ibu menyuruh hal aneh kepada Eliza.

“Nggak, Bu! Aku nggak mau antar kalau Eliza duduk di depan,” ancam mas Lutfan.

“Maksud ibu apa sih?” gerutuku. Aku masih menyaksikan drama yang masih saja terjadi.

“Kenapa sih, Fan?”

“Aku udah punya istri, Bu! Ibu ini aneh.”

“Apa salahnya sih? Cuma duduk di sebelahmu kok.”

Ibu masih tetap keras kepala mempertahankan pendapatnya.

“Ya udah kalau mau duduk di depan. Aku nggak mau nganter, Bu. Sana naik ojek aja.”

Kini mas Lutfan benar-benar keluar dari mobil.

“Ya udah, Ibu yang di depan. Susah kamu diatur sekarang, Fan.”

Akhirnya ada yang mengalah juga. Jika tidak, entah kapan mereka berangkatnya.

“Ibu juga aneh kok! Nyuruh kok gitu.”

Setelah drama yang lumayan lama, akhirnya mereka pergi juga. Aku melambaikan tangan, karena mas Lutfan melambaikan tangannya duluan kepadaku.

“Akhirnya … selesai juga drama hari ini. Mumpung mereka pergi dan hanya ada aku sama bapak di rumah ini, coba deh aku cari tau sesuatu. Siapa tau dapat sesuatu.”

Tiba-tiba aku kembali terpikir untuk menyelidiki. Ada apa sebenarnya yang terjadi antara ibu dan Eliza. Kenapa mereka bisa sekompak itu?

“Gimana caranya ya? Agar aku bisa masuk ke kamar ibu dan Eliza. Ntar kalau ada bapak terus tanya, aku jawab apa dong?”

Aku duduk di ruang tengah sembari memikirkan rencana.

“Salwa ….”

Bapak mertua tiba-tiba memanggilku dari belakang.

“Iya Pak, ada apa?” Segera aku menghampiri beliau.

“Ibu kemana?” tanya beliau saat aku ada di hadapannya.

“Katanya pergi ke rumah teman, Pak.”

“Oh ….”

Sepertinya beliau sedang kebingungan. Apa salahnya aku bertanya. Siapa tahu bisa membantu.

“Emang kenapa, Pak? Bapak butuh apa?”

“Ini, Bapak juga mau pergi, Wa. Tapi Bapak tidak tau ibu menyimpan pecinya dimana. Bapak ‘kan ada acara pengajian. Baiknya pakai peci ‘kan? Di cari sampai ke tempat jemuran sama aja nggak ketemu.”

Biasalah, kalau suami dimanja istri. Ya begini jadinya. Segala macam kepunyaannya tak tahu dimana disimpannya. Padahal pasti ada di dalam lemari, tapi tetap saja tak bisa menemukannya.

“Mau Salwa bantuin, Pak?”

Nah … kesempatan bagus untuku. Bisa melihat ke dalam lemari milik ibu tanpa harus takut dikira macam-macam. Tapi ‘kan bapak juga akan pergi, bisalah setelahnya aku cari lagi.

“Boleh banget, Wa.” Bapak menyambutnya dengan bahagia.

“Paling juga di lemari kamar, Pak.”

“Coba cari lagi, Wa. Tadi Bapak sampai pusing, nyari nggak ketemu-ketemu. Hehe.”

“Mungkin terselip, coba aku cari lagi ya, Pak?”

“Iya Wa ….”

Aku mulai menggeledah lemari yang ada di dalam kamar ibu. Sangat berharap jika menemukan sesuatu yang bisa sedikit menjelasakan tentang hubungan ibu dan Eliza.

“Ketemu, Wa?” tanya beliau setelah beberapa saat aku mencarinya. “Cepat ya Wa, waktunya mepet. Nanti Bapak ketinggalan rombongan.”

Sebenarnya aku memang memperlambat pencarian peci itu. Aku belum menemukan apa-apa tentang hal yang kucari.

“Iya Pak. Coba ke laci sebelah sana ya, Pak.”

‘Semoga ada sesuatu di dalam sini,’ batinku sangat berharap.

Tanganku mencari-cari peci yang hanya alasanku saja, sebenarnya bukan itu yang kucari. Entah apa, aku pun tak mengerti.

‘Eh ini apa?’ Tanganku memegang kertas seperti yang kutemukan di dalam tasku waktu itu.

“Ketemu Wa?”

“Eh belum, Pak. Ini apa, Pak?” Aku tunjukkan kertas itu kepada beliau.

“Eh apa itu? Bapak tidak tau, Wa. Mungkin punya ibu. Ayo cari lagi, di situ tidak ada ‘kan?”

‘Sebenarnya kertas apa ini?’

Di dalam pikiranku ada tanda tanya besar yang muncul tentang apa maksud dari kertas itu. Kenapa ibu menyimpannya?

‘Setelah Bapak pergi aku akan menggeledah semuanya.’

Kini kulanjutkan mencari peci milik bapak mertua. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status