Share

Bab 5. Pesan Teror

Tring!

Suara ponselku tanda ada pesan masuk.

[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]

Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.

Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.

Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.

Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan. 

Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cuma bisa bertahan tida tahun.

Aku dan Mas Faiz berpacaran ketika kami sama-sama kuliah di perguruan tinggi yang sama, tetapi berbeda fakultas. Aku Fakultas Pertanian dan Mas Faiz Fakultas Tehnik, Jurusan Mesin. 

Jaman kuliah dulu melihat anak tehnik terlihat bagaimana, gitu. Apalagi Mas Faiz saat itu menjadi pengurus senat. 

Uuh ... terasa silau!

Awalnya, kami bertemu karena Mas Faiz mencari temannya yang satu kost denganku.  Pertama dia titip salam, selanjutnya ingin bertemu, ngobrol dan jadian.

Seneng rasanya saat itu. Terasa mendapatkan keberuntungan. Dia lebih tua dua tahun di atasku dan sikap dewasanya membuatku semakin meleleh. 

"Suwit! Suwit ...! Yang punya pacar anak tehnik mesin .... Jaketnya anget ya, Mbak. Seperti dipeluk," goda temen kostku ketika aku memakai jaket Mas Faiz karena kedinginan. 

Jaket warna biru tua, dibagian punggung dilipit dan warna merah tersembul dari dalam lipitannya. Tanpa tulisan fakultas tekhik mesin pun, semua orang tahu itu jaket anak mana.

Apalagi, warna birunya mulai pudar. Tertanda empunya sudah senior. 

Uuh, my lovely pacar.

Rasanya seneng banget. 

Akhirnya punya pacar yang sesuai kriteria, keren, dewasa, pengurus senat dan anak tehnik pula.

Perpaduan yang kontras, anak pertanian dan anak tehnik. Aku yang anak rumahan, jan sama Mas Faiz yang rada begajulan. Aku seperti menemukan dunia baru.

Sesekali kami jalan ke luar kota, mencari pemandangan alam. Sekedar makan jagung bakar, ngopi terus pulang. 

Itu sudah pengalaman yang indah, luar biasa. 

Hubungan kami lancar-lancar saja. Kami berpacaran sehat, tidak aneh-aneh. 

Hobiku memasak adalah salah satu yang membuat dia tambah mencintaiku. Katanya aku adalah calon istri idaman. Hati mana yang tidak terbang ketika dibisikin kata seperti itu.

Sesekali aku ke kostnya untuk mengantar kue atau masakan spesial buatanku. Itu yang membuat aku mendapat dukungan dari teman kostnya yang lain. Ya, bagaimana tidak, mereka juga kebagian jatah makanan. 

Tahu, kan. 

Anak kost rakus akan makanan, apalagi gratis.

Tersenyum aku, mengingat masa-masa indah itu dan sekaligus hatiku teriris karena itu tinggal kenangan.

Tring!

[Sudah makan? Jangan senyum-senyum sendiri. Kalau kangen aku, bilang saja. Aku pasti langsung datang]

Pesan lagi dari nomor tujuh dua itu lagi.

Huuf! 

Orang iseng ini, niat banget, ya. Pagi, siang, sore bahkan tengah malam pun, dia kirim pesan. Selamat malam, dimimpi kita ketemuan ya, dan banyak lagi.

Seperti diteror, rasanya.

Aku cuekin saja, orang iseng kalau di tanggepin bisa bahaya.

"Dari siapa Tika? Dari tadi setiap baca pesan, kok kelihatan kesel," tanya ibu.

"Tidak tahu, Bu. Orang iseng!" jawabku sambil meletakkan ponsel ke dalam saku.

Kami berdua sedang memasukkan saus ke botol-botol yang sudah disteril. Setelah dimasukkan dan di tutup rapat, botol yang sudah terisi kemudian disterilkan lagi. Karena itulah, aku memilih botol kaca, selain itu kemasan terlihat ekslusive.

Baru setelah itu ditempel label dan ditulis tanggal produksi hari ini.

Aku hanya di bantu ibu saja untuk pembuatan saus ini. Masih belum kepikiran untuk memperbesar produksi. 

Fokusku masih menyembuhkan sakit hati ini. Ingin menyenangkan hati terlebih dahulu. Toh, penghasilanku sekarang sudah terbilang lebih dari cukup.

***

Uuh, lumayan capek!

Aku regangkan tubuhku untuk menghilangkan pegal. 

Hari ini lumayan banyak paket yang dikirim, dua puluh tiga paket, yang biasanya sepuluh atau paling banyak lima belas.

Jaman sekarang sangat dimudahkan. Jualan lewat online, pengiriman diambil kurir dan setelah sampai pembayaran otomatis masuk. 

Mudah, kan?

Tinggal kita fokus dengan produk yang akan dijual.

Setiap hari kurir pengiriman datang mengambil paket. Aku sudah siapkan sebelum waktu biasanya.

Tring!

[Kartika, pesanku kok tidak pernah dibalas?]

Satu pesan lagi menyusul. Siapa sih ini!

Gawat, dia tahu namaku. Berarti dia orang kampung sini atau kenal denganku. 

Iseng banget, sih!

Atau Mas Faiz?

Ah, tidak mungkin. Sejak aku menerima surat cerai darinya, aku ganti nomor ponsel. Aku tidak mau berhubungan dengannya lagi. Sudah aku tutup kisahku dengannya.

Tamat.

[Maaf dengan siapa? Tolong jangan ganggu!]

Bunyi pesanku, penasaran siapa sebenarnya orang yang iseng ini.

Satu menit, dua menit, belum ada balasan. Sampai satu jam kemudian juga belum ada balasan. Hanya notifikasi dari marketplace sana yang masuk. 

Sampai aku selesai menjawab chat di marketplace dan selesai merekap order untuk di kirim besuk, belum ada balasan darinya.

Kenapa aku harus nunggu balasannya?

Huuf, kesel aku! Terasa digantung.

Tring!

[Nungguin, ya?]

Astaga!

Balasannya cuma seperti ini. Bikin kesal saja!

[Mas! Kalau pengangguran cari kerja saja, daru pada gangguin orang!]

[Siapa juga yang nunggu kamu! GR!]

Balasku dengan cepat.

[Tuh, buktinya langsung balas. Wkwkwkwk]

Aduh! Mati aku!

Aku langsung block nomornya. Rasain!

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status