“Lain kali jangan makan sembarangan. Saya akan resepkan obat, nanti bisa ditebus di apotik terdekat.” Dokter keluarga yang Mellia hubungi bangkit, “kamu jarang sakit setelah dewasa, kenapa sekalinya sakit nyampe separah ini Vero?!” kali ini giliran Vero mendapatkan perhatiannya. “Kecelakaan kecil Om,” jawab Vero. Istri saya amankan Om?!” tanyanya karena pria yang ia kenal sejak kecil tersebut tak mengatakan apapun terkait diare yang Stefany alami. “Hal biasa, nggak perlu khawatir. Mommy kamu cuman terlalu panik. As always.” Ujarnya menenangkan Vero. “Saya keluar dulu. Daddy kamu juga mau periksa tadi katanya. Darah tingginya kumat.” Stefany pasrah. Kini tak hanya Vero pasien pesakitan di kamar baru yang mereka tinggali, tapi ia juga. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Bersembunyi dibalik kain untuk meredam rasa malunya atas kejadian memalukan yang ia alami. “Ayang..” “Shut up your mouth, Ver! Lo tahu nggak gue pengen ke Antartika sekarang juga!” “Mau ngapain, Ayang?!
"Pegangan leher Daddy!" Pinta Ray. Laki-laki itu menyematkan tangannya dipinggang sang putra, "Daddy hitung ya. Kamu tarik sama buang nafas abis itu Daddy angkat." Pada angka ketiga, Ray menggendong tubuh Vero. Ia bergerak perlahan, berhati-hati agar tak menyakiti anak kesayangannya. Tidak sia-sia Ray menyempatkan berolahraga di gym pribadinya. Setiap malam ia juga beraktivitas yang membuat keringatnya mengucur bersama sang istri. Staminanya masih sekuat dulu. Ray sama sekali tak terlihat kewalahan meski bobot Vero dapat dikatakan tak ringan. Putranya sudah sangat dewasa, tapi bagi Ray Vero masih si kecil yang ia temui kali pertama di supermarket dulu. "Dad.. Telepon ambulans aja." Ujar Mellia, menyarankan agar ambulans datang membawa serta brankar Vero. Mellia tak tega melihat anaknya tersiksa menahan sakit. Belum lagi suaminya yang tak lagi muda. "Vero perlu gerak juga Mel." Sahut Ray, tak setuju. "Waktu itu bisa duduk kan, masakin Stefany?!" dan Vero mengangguk, membenarkan pe
Ray memutar roda kemudi ketika mendengar suara kepanikan Mellia dari speaker mobil yang terhubung dengan panggilan diponselnya. “Mell tetap disana. Temani Stefany. Tinggalkan Suster itu biar jadi urusan pihak keamanan!” peringat Ray. Daddy Vero itu sangat mengenal perangai istrinya. Terakhir Mellia hampir membunuh seseorang karena kekesalannya. Tenaganya seolah tak habis untuk melampiaskan kemarahannya pada sosok yang dianggap merusak hubungan harmonis mereka. “Aku sama Vero on the way rumah sakit. Kamu tunggu kami!” Sepuluh meter lagi mereka akan mencapai gerbang rumah dan Ray mencari tikungan untuk kembali menuju tempat yang beberapa jam lalu mereka tinggalkan. “Daddy istri Vero.” Perkara kursi roda tak lagi membuat Vero hampir meregang nyawa. Ada kabar lebih mendebarkan alih-alih sebuah alat penghantar kerusakan yang pernah menimpanya. “Kenapa Stef harus operasi Daddy?!” terakhir mereka berjumpa, Vero yakin Stefany masih baik-baik saja. Wanita itu bahkan mengomel karena d
Kepulan asap mengudara dari sebuah cangkir yang beberapa menit lalu diletakan oleh pramusaji. Vero menatapnya intens, sedang pria yang membawanya, terlihat begitu menikmati sajian sederhana yang mereka pesan. Mari saksikan seberapa besar nilai kepekaan sahabat laknatnya. Vero memiliki firasat, namun setiap manusia tentu memiliki sifat yang tidak tertebak. Justine melirik Vero dengan bola mata sedikit terangkat. ‘Tin-Tin gue yakin banget lo pasti mau suapin kopi ke mulut gue,’ batin Vero. Hatinya meledak, meyakini jika Justine terlahir sebagai kepompong sejatinya. Mereka adalah ulat bulu yang siap bertransformasi menjadi kupu-kupu cantik bersama-sama. Definisi persahabatan sesimple itu bukan?! Come on Just. Gue nunggu Lo ngemeng. “Ver..” ‘Yash! Dia udah naroh cangkirnya lagi.’ “Minum, Anjir! Udah gue beliin jugak! Wah nggak menghargai jerih payah gue lo! Hutang bini ini duitnya!” Ekspektasi yang terlalu tinggi. Harusnya Vero tak berangan dan langsung saja memberi perintah. “
“Daddy, Abang mau pipis.” Ray di karpet menghentikan jari-jarinya dari atas keyboard laptop. “Lima menit bisa nunggu, Bang?! Daddy tanggung.” Balas Ray yang langsung mendapat pelototan maut dari Mellia. Ray mau tak mau, mengalah. Ia harus meminimalisir adanya pembakaran gedung. “Daddy yang bener aja dong! Abang bisa ngompol.” Vallery di sofa bersuara. Gadis yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya tersebut ikut terseret pada arus pertikaian receh keluarganya. Malam ini ia tak dapat menikmati empuknya ranjang di kamarnya. “Biar aku aja yang anter Ver.” “Ayang!” cegah Vero, “kamu kan lagi sakit. Ribet banget kalau bawa-bawa tiang infus ke kamar mandi. Guna mereka memang ini, Ayang.” Ucapnya memperjelas fungsi kedua orang tuanya. Vero menepuk-nepuk pelan punggung tangan Stefany. “Tenang-tenang. Jangan banyak pikiran ya, Ayang. Kepalanya nanti pusing lagi.” Peringat Vero sok dewasa. Ia lantas memerintahkan Daddynya agar segera membantunya masuk ke dalam kamar mandi. “Perlu Daddy amb
Kabar mengenai perilaku menyimpang salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darmawan menyebar cepat. Beritanya dimuat di beberapa surat kabar. Entah berhembus dari mana, wajah pelaku dan lemahnya keamanan pihak rumah sakit diperbincangkan netizen Indonesia. Manajemen dinilai lalai, terlebih motif serangan belum diungkap media manapun. “Saya Prakarsa Darmawan.” “Saya tahu, Om,” cibir Vero. Ia jelas mengenal kakek Justine dari pihak ayahnya itu. Kebesaran namanya sebagai pengusaha cukup mengharumkan dan menambah pundi-pundi aset keluarga Darmawan. Pria tersebut kabarnya hanya menggeluti bagian pemasaran dan manajemen rumah sakit. Gelar dokternya telah lama digantung. Setidaknya hanya sedikit informasi yang dapat Vero ulik. Mereka berbeda generasi. Arsa membenarkan posisi duduknya. Seharusnya ia tak menemui sahabat keponakannya. Tapi di ruang perawatan, ia tak menemukan manusia selain pasien, Vero dan satu asisten rumah tangga pria itu. “Mengenai cuita media. Apakah saya boleh m
Mellia menghilang. Satu hari penuh wanita yang melahirkan Vero itu tak tampak di rumah sakit. Hal ini membuat Vero curiga akan hubungan kedua orang tuanya. Meski suka memancing keributan mereka, Vero tentu tak ingin Ray dan Mellia melalui masa yang buruk dalam pernikahan mereka. Terlebih ia sendiri kini telah memiliki istri. Vero tahu betapa menyiksanya memiliki keretakan. Anehnya, Daddy-nya bertingkah sangat santai. Pria itu datang, menemani ia dan Stefany tanpa merasa cemas pada sang ibu. “Daddy, Mommy dimana?!” bukan Vero, anak itu terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak melakukan aksi. “Pergi Stef.” “Kemana Dad?!” tanya Stefany penasaran. Sebelum konferensi pers yang digelar pihak rumah sakit, Stefany masih melihat ibu mertuanya. "Daddy sama Mommy masih berantem ya soal Tante itu?!" Ray menggelengkan kepala. Sejak mengamuknya sang istri, ia telah mengambil tindakan penting sesuai instruksi Papinya. "Udah baikan kok." jawab Ray sembari membaca beberapa email masuk diponsel
Laras tertawa terbahak-bahak. Mama Stefany itu menyukai respon yang Vero tampakkan. Rasa frustasi Vero membuatnya yakin jika sang menantu sangat mencintai putrinya. Laras tak setega itu memisahkan pasangan yang baru saja membina biduk rumah tangga. Masalah dan badai baginya merupakan hal wajar dalam setiap hubungan. Tergantung bagaimana mereka menyikapi kemelut yang datang menghampiri. Laras percaya, dasar membahagiakan Stefany telah dimiliki Vero seutuhnya. Awalnya Laras memang tak menyetujui pernikahan putrinya. Orang tua mana yang akan memberikan restu jika tiba-tiba mereka digeruduk, layaknya penggerebekan wisata malam yang penuh ani-ani. Mereka tak diberi waktu banyak. Vero bertandang tanpa pemberitahuan. Membawa kabar burung jika mereka terciduk wanita yang saat ini menjadi besannya. ‘Mama..’ ‘Saya bukan Mama kamu ya.. Ini ada apa Pak, nyuruh kami bersiap.’ ‘Gawat Tante.. Daddy biar vero aja yang ngasih tahu.’ Vero menghentikan Ray. Daddynya tak boleh menjadi juru bicara. ‘