“Daddy, Abang mau pipis.” Ray di karpet menghentikan jari-jarinya dari atas keyboard laptop. “Lima menit bisa nunggu, Bang?! Daddy tanggung.” Balas Ray yang langsung mendapat pelototan maut dari Mellia. Ray mau tak mau, mengalah. Ia harus meminimalisir adanya pembakaran gedung. “Daddy yang bener aja dong! Abang bisa ngompol.” Vallery di sofa bersuara. Gadis yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya tersebut ikut terseret pada arus pertikaian receh keluarganya. Malam ini ia tak dapat menikmati empuknya ranjang di kamarnya. “Biar aku aja yang anter Ver.” “Ayang!” cegah Vero, “kamu kan lagi sakit. Ribet banget kalau bawa-bawa tiang infus ke kamar mandi. Guna mereka memang ini, Ayang.” Ucapnya memperjelas fungsi kedua orang tuanya. Vero menepuk-nepuk pelan punggung tangan Stefany. “Tenang-tenang. Jangan banyak pikiran ya, Ayang. Kepalanya nanti pusing lagi.” Peringat Vero sok dewasa. Ia lantas memerintahkan Daddynya agar segera membantunya masuk ke dalam kamar mandi. “Perlu Daddy amb
Kabar mengenai perilaku menyimpang salah satu tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darmawan menyebar cepat. Beritanya dimuat di beberapa surat kabar. Entah berhembus dari mana, wajah pelaku dan lemahnya keamanan pihak rumah sakit diperbincangkan netizen Indonesia. Manajemen dinilai lalai, terlebih motif serangan belum diungkap media manapun. “Saya Prakarsa Darmawan.” “Saya tahu, Om,” cibir Vero. Ia jelas mengenal kakek Justine dari pihak ayahnya itu. Kebesaran namanya sebagai pengusaha cukup mengharumkan dan menambah pundi-pundi aset keluarga Darmawan. Pria tersebut kabarnya hanya menggeluti bagian pemasaran dan manajemen rumah sakit. Gelar dokternya telah lama digantung. Setidaknya hanya sedikit informasi yang dapat Vero ulik. Mereka berbeda generasi. Arsa membenarkan posisi duduknya. Seharusnya ia tak menemui sahabat keponakannya. Tapi di ruang perawatan, ia tak menemukan manusia selain pasien, Vero dan satu asisten rumah tangga pria itu. “Mengenai cuita media. Apakah saya boleh m
Mellia menghilang. Satu hari penuh wanita yang melahirkan Vero itu tak tampak di rumah sakit. Hal ini membuat Vero curiga akan hubungan kedua orang tuanya. Meski suka memancing keributan mereka, Vero tentu tak ingin Ray dan Mellia melalui masa yang buruk dalam pernikahan mereka. Terlebih ia sendiri kini telah memiliki istri. Vero tahu betapa menyiksanya memiliki keretakan. Anehnya, Daddy-nya bertingkah sangat santai. Pria itu datang, menemani ia dan Stefany tanpa merasa cemas pada sang ibu. “Daddy, Mommy dimana?!” bukan Vero, anak itu terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak melakukan aksi. “Pergi Stef.” “Kemana Dad?!” tanya Stefany penasaran. Sebelum konferensi pers yang digelar pihak rumah sakit, Stefany masih melihat ibu mertuanya. "Daddy sama Mommy masih berantem ya soal Tante itu?!" Ray menggelengkan kepala. Sejak mengamuknya sang istri, ia telah mengambil tindakan penting sesuai instruksi Papinya. "Udah baikan kok." jawab Ray sembari membaca beberapa email masuk diponsel
Laras tertawa terbahak-bahak. Mama Stefany itu menyukai respon yang Vero tampakkan. Rasa frustasi Vero membuatnya yakin jika sang menantu sangat mencintai putrinya. Laras tak setega itu memisahkan pasangan yang baru saja membina biduk rumah tangga. Masalah dan badai baginya merupakan hal wajar dalam setiap hubungan. Tergantung bagaimana mereka menyikapi kemelut yang datang menghampiri. Laras percaya, dasar membahagiakan Stefany telah dimiliki Vero seutuhnya. Awalnya Laras memang tak menyetujui pernikahan putrinya. Orang tua mana yang akan memberikan restu jika tiba-tiba mereka digeruduk, layaknya penggerebekan wisata malam yang penuh ani-ani. Mereka tak diberi waktu banyak. Vero bertandang tanpa pemberitahuan. Membawa kabar burung jika mereka terciduk wanita yang saat ini menjadi besannya. ‘Mama..’ ‘Saya bukan Mama kamu ya.. Ini ada apa Pak, nyuruh kami bersiap.’ ‘Gawat Tante.. Daddy biar vero aja yang ngasih tahu.’ Vero menghentikan Ray. Daddynya tak boleh menjadi juru bicara. ‘
“Ayang!”Tubuh wanita yang tengah memilih baju kerja untuk Vero itu berjengit. Ia kaget karena tak merasa mendengar langkah sandal rumahan yang Vero kenakan. “Udah selesai mandinya?!” lima bulan berlalu sejak terbuangnya Vero di depan pintu keluar rumah sakit Darmawan. Vero benar-benar menepati ucapannya- mengadu pada Opanya, Ferdinand Husodo.Alhasil, seluruh orang terkena amukan pria yang usianya telah melebihi setengah abad itu.“Kamu pengen aku pake baju apa Ayang, hari ini?!” tanya Vero sembari meletakan dagunya di pundak Stefany.Vero tak pernah merasa malu meski Stefany memilihkan warna merah muda. Ia selalu berjalan penuh rasa percaya diri. Menengadahkan wajahnya menyusuri kantor utama Husodo.General Manager— kedudukan itu Vero dapatkan berkat aliran darah yang ada di dalam tubuhnya. Privilege, orang-orang menyebutnya demikian. Vero tak akan mempermasalahkan gunjingan yang datang.
Dimana-mana ia menjadi idola. Vero tak bisa menyalahkan bintang yang jatuh di atas kepalanya. Ia sadari, andai tak ada nama Husodo dibelakang namanya mungkin ia hanya akan digandrungi karena mulut manis dan ketampanannya.Selain membuat keributan, Vero tak memiliki kelebihan lain. General manager hanya sebuah ukiran di papan berbahan dasar marmer yang berada di atas meja kerjanya. Semua pekerjaan terasi dengan baik- oleh Adrian tentu saja. Tugasnya hanya duduk manis menunggu jam pulang kantor tiba.Vero mengetuk-ngetukkan jari telunjuk. Ia harus apa?! Dunia kerja ternyata tak seindah bayangan mendapatkan bayaran puluhan juta atas jerih payah sendiri. Ia adalah pegawai bayangan dengan honor cuma-cuma. Anggap saja gaji buta.Membuka laptop, Vero menyalakan satu aplikasi yang ia pesan khusus pada IT perusahaan. Hari-harinya dihabiskan untuk mengintai wanita cantik dambaan hatinya. Delapan jam lamanya mereka terpisah jarak dan
“Mas Dimi jangan nyebarin hoaks dong.”Dimitri memutar bola mata. Kurang pergaulan boleh, tapi kalau sudah anti sosial sampai tidak tahu kabar yang berkembang di luaran, menurut Dimitri, Sisilia sungguh sangat keterlaluan. Dampak yang terjadi begitu besar hingga tak mengetahui sosok yang digoda ternyata pria beristri."Pesen makanan dulu aja deh. Ngobrolnya nanti. Udah jam segini nih." Sela Vero. Pembahasan mengenai anak-anaknya bisa dilanjutkan sembari makan.“Mbak!” panggil Vero, melambaikan tangannya pada pelayan yang berdiri di depan meja bar. “Saya menu biasanya ya. Tintin lo apa?!” tanya Vero. Mereka memang langganan bar and resto yang sedang dikunjungi.“Samain aja.” Ujar Justine. Pria itu tengah memainkan ponsel pintarnya. Menggulirkan layar untuk melihat-lihat foto-foto yang istrinya kirimkan.“Siap Mas. Untuk Mas dan Mbaknya?!” Sisilia memesan makanan ringan dengan alasa
Jalan-jalan menjadi agenda yang selanjutnya Vero pilih. Ia mengajak Stefany menyatroni pusat perbelanjaan. Rasa-rasanya ia ingin melihat Stefany berbelanja. Istrinya hampir tak pernah memuaskan hasrat kewanitaannya. Stefany tergolong wanita yang hemat dalam pengeluaran.Pernah Vero menawarkan katalog brand ternama, namun sosok yang hidup merantau bermodalkan uang bulanan sebesar lima juta rupiah itu, malah memintanya untuk memangkas pengeluaran yang tak perlu. Vero tak suka..Stefany dipilih untuk menjadi ratu. Hidupnya harus bergelimang harta dan kasih sayang. Urusan berapa nominal yang harus dikeluarkan kapasitasnya untuk berpikir. Hal tersebut merupakan tanggung jawab Vero seutuhnya. Jika tabungannya kurang, mereka bisa minta tambahan dana santunan dari Daddy-nya. “Ke Matahari ajalah yang murah, Ver.”for Goodness sake. Apa yang perlu dirisaukan dari sebuah label harga?! Membeli gedung dan seluruh gerainya saja, Vero yakin Daddy-nya mampu. Stefany sepertinya tidak pernah melakuka