Share

Ketika Suami Banyak Mau
Ketika Suami Banyak Mau
Penulis: Heni Heni

1. Menikah

“Ajeng, berhentilah bekerja. Aku ingin kamu berada di rumah sebagai ibu rumah tangga saja yang nantinya mampu mengurusku dan anak-anak kita kelak,” pinta Aji penuh harap agar istrinya berhenti bekerja dari sebuah bank swasta ternama.

Baru satu minggu mereka menikah, sebuah keputusan besar yang Aji buat, menjadikan Ajeng berpikir sangat panjang. Bagaimana mungkin sang suami meminta padanya untuk berhenti bekerja. Padahal untuk bisa di posisi pekerjaan Ajeng yang sekarang, membutuhkan waktu juga perjuangan yang panjang. Belum lagi karir yang telah dirintis Ajeng kali ini, merupakan salah satu dari perwujudan mimpi yang ingin Ajeng raih.

Bahkan ini belum sepenuhnya Ajeng gapai. Apa yang ingin dia wujudkan, tapi Aji telah mendoktrinnya demikian.

“Tapi, Mas.” Ajeng ingin membantah, tapi tidak sanggup karena Aji kembali menyela. “Kenapa? Kamu tidak mau? Ingat, Ajeng! Perempuan yang telah menikah dan memiliki seorang suami, harus menurut dengan apa kata suami. Tidak boleh membantah. Lagipula untuk apa juga kamu harus capek-capek bekerja? Bukankah aku sudah memenuhi semua kebutuhanmu. Setiap bulan akan aku berikan jatah yang sesuai dengan gajimu selama bekerja. Bagaimana?”

Bisakah Ajeng menolaknya? Membantah juga tak berani ia lakukan karena apa yang Aji katakan benar. Suaminya itu memang bertanggung jawab dalam hal materi sampai sejauh ini. Hanya saja Ajeng masih dilema. Sangat enggan melepaskan pekerjaan yang sudah dua tahun ini dia geluti.

“Baiklah, Mas. Aku akan resign.” Jawaban yang Ajeng beri sembari menghela napas berat. Jujur ini bukan keputusan yang mudah baginya. Apalagi harus membantah suami.

“Bagus. Memang sebaiknya seperti itu. Kamu fokus saja pada rumah tangga kita.” Aji menampakkan raut wajah penuh kemenangan.

Dan hari ini dengan langkah ragu Ajeng menghadap pada bagian personalia tempat di mana ia bekerja. Karena hari ini Ajeng akan memberikan surat berhenti bekerja. Meski berat tapi Ajeng tetap harus melakukannya. Mendapatkan pertanyaan dari sang atasan, kenapa dia mendadak ingin berhenti bekerja. Dan jawaban Ajeng tak lagi bisa dijadikan alasan bagi sang atasan untuk tetap menahan Ajeng.

“Karena suami saya ingin menjadikan saya ratu rumah tangga.” Begitulah kira-kira jawaban yang Ajeng berikan, terselip doa semoga saja Aji benar-benar menjadikan dia ratu dalam rumah tangga mereka.

Pada awal bergelar seorang pengangguran, semua terasa berat Ajeng lakukan. Dia yang terbiasa dengan banyak pekerjaan, bertemu dengan banyak nasabah, sekarang begitu dia bertahan untuk berdiam diri di rumah, maka rasa bosanlah yang melanda. Ajeng hanya membersihkan rumah yang lumayan menguras tenaga. Lalu memasak untuk sang suami yang setiap hari selalu pulang di malam hari. Sehingga Ajeng mulai merasa kesepian seorang diri di rumah. Jika ia ingin pergi keluar, meski sekedar makan siang dengan temannya, atau dia ingin pergi berbelanja, Aji selalu melarang. Dan mengatakan pada Ajeng, jika harus menunggunya pulang. Ke mana pun Ajeng pergi harus bersama Aji. Dan hal seperti itu sungguh membatasi ruang geraknya. Ajeng yang terbiasa mandiri selama ini, dengan terpaksa menahan diri karena ia sadar jika suaminya adalah tipe lelaki yang suka direpoti. Mungkin Aji akan lebih merasa dibutuhkan jika setiap keinginannya selalu meminta agar suaminya lah yang membantunya. Hal yang sebenarnya akan sangat menyenangkan jika Aji tak pernah mengeluh. Namun, kenyatannya tidak semua yang Ajeng mau bisa Aji kabulkan.

Hingga satu bulan berlalu, kondisi yang terjadi masih tetap sama, justru semakin parah saja. Kesepian dan kesendirian membuat Ajeng mulai hilang kewarasan. Sampai dia bingung mencari apa yang bisa ia kerjakan. Bermain sosial media seharusnya bisa menjadi pengusir sepi. Namun, rupanya Aji tak menyukai itu semua. Ya, Aji melarang Ajeng bermain sosial media sehingga dunia Ajeng hanya itu-itu saja. Jika lelah mengurus rumah, maka Ajeng hanya akan menonton televisi saja. Hanya itulah yang menjadi hiburan Ajeng.

Dering ponsel miliknya yang ia simpan di atas meja makan, mengangetkan Ajeng yang sedang melamun dengan bertumpu pada dua lengan. Duduk menyendiri di kursi makan setelah ia lelah mencuci juga menyetrika. Kepalanya melongok dan mendapati nama Mas Aji di layar benda pipih miliknya itu.

“Halo, Mas!” sapa ramah Ajeng ketika menerima panggilan telepon tersebut.

“Kamu di mana?”

“Di rumah, Mas.”

“Masak yang banyak karena malam ini Papa dan Mama akan datang berkunjung.”

“Oh, ya. Kenapa mendadak, Mas?”

“Sebenarnya sejak kemarin mama memberitahuku. Tapi aku yang lupa membicarakan hal ini padamu. Untung saja mama mengingatkanku lagi. Jadi ... masaklah yang enak-enak.”

Ajeng bingung akan masak apa, karena waktunya mepet sekali. Bahkan sekarang sudah jam dua siang. Selama ini Ajeng hanya memasak menu sederhana yang disuka oleh sang suami. Berbekal dari internet Ajeng mulai beajar memasak. Namun, setiap harinya dia akan memasak sesuai kebutuhan saja, karena mereka hanya berdua saja di rumah ini. Tidak ingin mubazir juga membuang-buang makanan jika masak tidak sesuai kebutuhan.

“Baiklah, Mas. Apa yang harus aku masak untuk Papa dan Mama? Tapi sepertinya aku tidak bisa masak banyak-banyak. Karena waktunya sudah mepet. Ini sudah jam dua, Mas.”

Dengusan keras terdengar di telinga Ajeng, karena rupanya Aji tidak menyukai jawaban sang istri. “Belum mencoba jangan mengatakan tidak bisa. Nanti aku kirim via chat menu apa saja yang harus kamu siapkan. Itu semua menua kesukaan papa dan mama.”

“Baiklah, Mas. Semoga bahan-bahan yang aku butuhkan ada semua.”

“Jika tidak ada, kamu bisa pergi ke swalayan dan membelinya.”

“Sendiri, Mas?” tanya Ajeng memastikan karena dia tidak mau disalahkan nantinya.

“Iyalah. Dalam kondisi darurat seperti ini kamu harus mencoba mandiri.”

“Baiklah.”

Panggilan telepon terputus. Tak lama berselang pesan masuk dari Aji diterima oleh Ajeng. Betapa mata perempuan itu membulat sempurna mendapati list makanan yang suaminya minta.

“Menu sebanyak ini Mas Aji ingin aku memasaknya semua? Yang benar saja. Ini tidak bisa.” Ucapan Ajeng pada dirinya sendiri. Sedikit berpikir kenapa dia tidak membelinya saja.

Baiklah, tak ada salahnya jika Ajeng meminta ijin pada suaminya untuk membeli saja list makanan yang baru saja dikirimkan.

Ajeng mulai mengetikkan pesan, lalu dia kirim balasan pada chat Aji sebelumnya. Satu menit berlalu ketika ponsel Ajeng kembali bergetar. Bahunya luruh mendapati isi dari pesan tersebut. “Untuk apa kamu harus membelinya? Toh, kamu juga hanya di rumah saja dan tidak ada pekerjaan lainnya. Lagipula sekalian kamu belajar memasak aneka jenis makanan, agar kemampuanmu di dapur semakin baik dan tidak perlu diragukan.”

Entahlah, Ajeng tidak tahu. Ini Aji berniat menyiksanya atau mengujinya. Yang jelas saat ini Ajeng harus segera beranjak untuk mengecek isi kulkasnya. Menyiapkan semua bahan-bahan yang akan ia gunakan. Semoga dia tidak perlu membelinya karena waktunya sangat mepet untuk dapat melakukan semua ini.

Sungguh, mengenaskan sekali sebagai istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status