Aku mulai menggantikan bajunya pelan-pelan, meski dia sedikit terganggu aku terus memakaikan pakaiannya, dia tak boleh kedinginan seperti ini. Setelah selesai, aku beranjak pergi ke kamar untuk mengambilkan selimut. Kalau aku saja begitu kedinginan apa lagi Nisa. Tapi begitu aku ingin menyelimutinya ternyata Nisa malah terbangun.
“Tidurlah lagi, Sa.”
“Nanti aja.”
“Bagaimana udah enakkan?”
“Hm, makasih ya.” Kuusap pucuk kepalanya pelan-pelan.
“Sa, boleh Abang tanya sesuatu?”
“Tanyalah Bang.”
“Bagaimana hasil check up tadi? Sebenernya kamu ini kenapa, obat yang kemarin itu? Bukan obat yang diresepkan pas melahirkan Khalid, kan?”
“Sejak kapan Abang jadi peduli begini.”
“Abang kan suamimu.”
“Memangnya abang lupa, waktu melahirkan Khalid ada pendarahan di rahimku, maka dari itu proses penyembuhannya butuh waktu yang lebih lama.”
“Kenapa kamu enggak pernah bilang.”
“Gak pernah bilang?” Nisa mal
“Bagaimana Pak? kami memerlukan persetujuan Bapak untuk melakukan tindakan lebih lanjut?”“Apa risiko terburuknya setelah pengangkatan rahim dok?”“Istri Bapa tidak bisa mendapatkan keturunan lagi.”“Bukannya dokter bilang waktu istri saya melahirkan. Enggak perlu sampai melakukan operasi pengangkatan rahim, lalu kenapa sekarang malah melakukannya?”“Istri Bapak beruntung waktu melahirkan dulu, pendarahannya bisa kami tangani dengan baik. Ini karena pasien rutin memeriksakan kandungannya sejak dini, jadi tak sampai melakukan tindakan pengangkatan rahim. Sebagian pasien plasenta akreta bahkan banyak yang langsung diangkat rahimnya setelah melahirkan.”“Apa penyebabnya, kenapa bisa pendarahan lagi?”“Biasanya setelah melahirkan pasien tidak di sarankan melakukan aktivitas yang berat dan ....” Dokter itu malah menjeda ucapannya, dia malah menatap wajahku seperti
“Baiklah, saya akan tanda tangani dokumen persetujuannya.”“Terima kasih atas kerja samanya, untuk selanjutnya Bapa bisa mengurus biayanya ke bagian administrasi.”“Kapan operasinya dilakukan?”“Kami jadwalkan besok , sambil menunggu sampai kondisi pasien stabil.”“Oke, terima kasih Dok.” Kujabat
kuberanikan diri menengok ke belakang, tepat ke arah sumber suara. Benar dugaanku. Itu suara kaka iparku yang pertama. Irvan namanya seorang perwira TNI, dan di belakangnya di ikuti 3 orang adiknya yang lain, bersama istri-istri mereka. Hanya Irvan yang sendirian tanpa di temani anak istrinya. Dia tersenyum sinis padaku, membuat nyaliku menciut seketika yang benar saja satu lawan empat siapa yang bisa menang, aku bukan anak pemilik padepokan yang punya ilmu kanuragan, yang sekali wush langsung mental semuanya. “Jadi ini bini muda lo Wan? kenalin ke gue dong.” ledeknya, kulihat Santi terlihat bingung, tapi syukurlah dia tak banyak bicara memilih diam saja, setidaknya itu tak menambah masalah bagiku. “Siapa sih Bang dia, baru dateng kok gayanya songong banget,” celetuk Santi. Ya Tuhan mati sudahlah aku, tak sadarkah dengan apa yang telah dia ucapkan. Kutepuk pinggangnya, memberikan kode agar dia mau diam sebentar saja. “Jadi ini yang mau gantiin a
“Abang enggak apa-apa ‘kan?” suara Santi, tiba-tiba saja terdengar semakin dekat, dia menepuk pundakku bukannya langsung membantuku bangun, dia malah berdiri tegap. “Bantu saya berdiri!” Santi pun segera mengulurkan tangannya. “Ya ampun mereka kok tega banget sama Abang. Pasti Mbak Nisa deh yang nyuruh. Sudah ceraiin aja istri kayak gitu.” Santi dengan sigap membantu memapahku . “Diam kamu!” “Kok Abang marah sih, dibelain juga.” “Berisik!” “Ih.” Dia malah melepas genggamannya di pundakku, hampir saja terjatuh. Gadis ini kasar sekali. Tidak bisakah lembut sedikit saja. Aku sudah babak belur begini dia masih saja mengedepankan emosi dan cemburu, kalau aku tak kesakitan sudah kutinggalkan dia sendiri di sini. Biar saja di makan penghuni rumah kosong di pinggir lapangan itu. Sayangnya untuk berjalan saja aku kepayahan. Perutku rasanya mual sekali. Akh
“Ya sudah bangun! Nisa nyariin lu!”“Nisa udah sadar, Bang?”“Udah, operasinya lancar, sekarang dia udah ga punya rahim lagi. Semua gara-gara lu!”“Maaf Bang, saya memang salah.”“Kalau bukan karena Nisa. Ogah gue nyari sampai sini.”“Bagaimana keadaan Nisa sekarang, dia sudah baik-baik saja ‘kan?”“Mana ada yang baik-baik saja. Otak lu taro di mana? Orang abis operasi, lu pikir Nisa wonder woman?” Bang Raka lagi-lagi mengeraskan nada bicaranya. Aku segera bangkit dari tempatku, sayangnya baru berjala beberapa langkah. Rasanya sudah tak sanggup lagi.“Kenapa lu?” Bang Raka menghentikan jalannya karena mendengar aku yang terjatuh. Sial kenapa aku lemas sekali, bunyi perutku malah terdengar sampai ke luar.&ldq
Air mata Nisa mulai menetes.“Transfer saja ke rekening pribadiku, Bang.” Nisa melepaskan genggaman tanganku, kemudian membalikkan badan memunggungiku. Kudengar dia sedikit terisak, aku memang selalu begitu setiap kali dia meminta diantar check up atau anak-anakku sakit.“Pergi sendiri kan bisa, nanti bianyanya aaku transfer ke renkeningmu, aku sibuk!” kalimat itu yang selalu aku ucapkan.Sungguh aku benar-benar menyesal melakukannya, karena sikap cuekku aku kehilangan kesempatan untuk memiliki keturunan lagi, dan yang lebih buruk lagi, aku telah membuat wanita yang menemaniku mengarungi bahtera rumah tangga selama 15 tahun terakhir kehilangan hal yang paling berharga. Aku telah merusak rahimnya.“Ini semua salahku, jadi izinkan aku merawatmu sekali ini saja. Abang mohon.”“Pergi Bang, ada banyak orang di sini. Tenang saja kami s
“Jadi Abang mau belikan aku perhiasan?”“Enggak.”“Loh terus ngapain di sini?”“Cuma lihat-lihat.”“Abang bohong pasti mau ngasih aku kejutan ‘kan, aku ga suka kejutan biar aku pilih sendiri aja Bang.”“Siapa yang mau membelikanmu perhiasan?”“Ya Abang lah, ini Bang aku suka yang ini.”“Ini Pak, barangnya.” Penjaga toko malah menyerahkan paper bag padaku.“Itu apa, Bang?”“Ini hadiah buat sepupuku yang mau menikah.”“Boleh aku lihat?”“Enggak.” Aku menjauhkan paper bag itu dari jangkauan Santi, menyembunyikannya di balik badanku. Tapi Santi tak mau menyerah dia malah berusaha mengambilnya dariku.
“Saya Arga, salam kenal Mbak Nisa.” Lelaki muda itu tersenyum. Ramah pada istriku.“Ekhem-Ekhem.” Aku sengaja berdehem. Aku ini bukan lelaki bodoh yang tak peka, jelas sekali dia menyukai istriku. Caranya memandang Nisa. Tersenyum lalu gelagatnya sungguh mengundang curiga. Laki-laki itu terlihat sedikit gelagapan. Dia mulai mengulurkan tangannya padaku.“Saya Irwan, pemilik rumah ini.” Sengaja kurangkul pundak Nisa. Dia tak menolak, hanya menatap heran padaku, tapi kemudian tersenyum kecut sembari memalingkan wajahnya ke arah jalan raya.“Mbak Nisa, memang enggak kenal saya?” Nisa terlihat mengerutkan dahi, laki-laki ini kenapa gayanya sok akrab sekali dengan istriku.“Maaf saya lupa.”“Saya Agra adik kelas Mbak waktu di SMK, masih inget? Murid terlebay?” Nisa tiba-tiba saja tersenyum.&l