Terpaan sinar matahari di atas sana rasanya benar-benar membakar siapa saja yang berada di bawahnya. Dengan bibir mengerucut sebal dan tangan mungil yang terkepal erat di sisi tubuh gadis itu sudah menggambarkan bagaimana kesal si empunya sekarang.
Berulang kali Eva menciptakan ruang panggilan dengan Arta di ponselnya. Namun selalu saja suara operator yang terdengar membuat Eva benar-benar diliputi dendam terhadap cowok itu. Demi apapun Eva merasa telah dipermainkan!
Berakhir ia berdiri dengan tatapan kesal pada gerbang sialan yang menjadi penghalangnya untuk masuk ke dalam. Kaki Eva terasa sangat pegal sekarang karena berdiri lumayan lama di sini. Benar-benar Arta sialan! Ingin rasanya Eva pulang, tapi takut cowok itu marah nantinya.
Eva mengerang tertahan. Tak dapat menahan sabar leb
"NOOO!! NEVEERR!!"Pekikan histeris gadis ber-canda itu membuat orang-orang yang berada di sekitaran mereka menoleh padanya sebagai sumber suara.Karenanya perlahan genggaman erat Arta pada pergelangan tangan Eva mengendur. Cowok itu tak dapat menutupi raut keheranannya melihat kepanikan gadis itu padahal Arta hanya ingin mengajaknya pergi menggunakan mobil karena langit sedang mendung.Napas Eva memburu cepat dengan tatapan nanar pada manik Arta. Gadis itu menarik napas dalam untuk mengontrol dirinya sendiri. "Sumpah demi apapun gue lebih baik kehujanan pakai motor ketimbang naik mobil!" katanya penuh penekanan. "Gue mau mati rasanya kalo naik mobil."Arta sampai melongo dan mengerjabkan matanya berulang kali karena kebingungan se
Hampir semua kalangan ada di sini. Mulai dari balita, anak-anak, remaja seumuran mereka, bahkan para orang tua pun tampak berhabagia menghabiskan waktu bersama keluarga maupun pasangan mereka. Berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam, putri kecil yang digendong riang oleh ayahnya, mereka penuh kegembiraan dengan wajah berseri-seri.Tadi itu Eva melewati wahana negeri dongeng. Sangat cantik sekali. Banyak kerajaan megah terbangun indah di sana. Seperti capadocia, impian semua orang. Tanpa sadar senyuman Eva terukir manis seolah tertular kebahagiaan semua orang."Apa yang lo liat?"Eva dibuat tersentak oleh teguran Arta untuknya. Padahal Eva memperhatikan orang sambil berjalan mengikuti kemana pun Arta pergi. Lalu apa masalahnya? "Emang salah??" respon Eva judes.
Langkah kaki Eva yang mungil menghantarkannya pada sepasang remaja yang sedang hang out bareng dan mereka terlihat sangat bahagia sekali. Tanpa sadar bola mata Eva berbinar menunjukkan betapa ekspretifnya ia, tak menyangka akan bertemu Uma di sini. Ternyata Jaksel kecil ya?"Lo ngapain ke sini, Ma?" ujar Eva bertanya saat sudah sampai di depan sahabatnya. Bibir atasnya memindai bibir bawah. Rotasi bola matanya juga tak tentu arah bergilir ke arah Rehan maupun Uma sendiri.Melihat kelakuan gadis itu membuat Arta menghela napas dan mau tak mau menyusulnya. Nanti kalau hilang Arta juga yang repot 'kann."Beli kacamata, Va," sahut Uma seadanya.Eva mengangguk mengerti. Iya, nggak salah sih. Pertanyaan Eva saja yang terlalu bas
Betapa keren kesenian yang dimiliki oleh tangan-tangan sang perakit moge ini. Warna hitam dengan varian abu-abu pada body serta ujung tempat duduk bagian belakang yang desainnya meruncing terkesan begitu berkelas hingga rasanya siapapun laki-laki yang mengendarai moge ini akan terlihat bekali-kali lipat lebih mempesona di mata kaum hawa.Setelah melalui jalanan kota Jakarta yang begitu padat nan panjang, akhirnya sampai juga kuda besi tersebut di depan gerbang markas geng motor Kompeni.Dua insan yang sedari tadi menunggangi benda tersebut saling diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka saling berperang dalam batin hingga menciptakan suasana yang tak mengenakan.Arta sang pemilik moge memberhentikan kendaraannya, sementara kedua kakinya ia turunkan hingga menapak ke tan
Siulan menggoda berbunyi sedari tadi ketika sepasang couple goals Taruna Bangsa memasuki kawasan parkir. Pelontarnya tentu anak Kompeni. Saat ini mereka tengah bernongkrong ria di parkiran khusus kendaraan Kompeni terparkir sebelum masuk ke dalam."Cincin tunangan nggak tuh!" seru Yoyon dengan hebohnya.Nyatanya postingan yang Aurel unggah di sosial medianya dengan mention Edo Nugraha setelah mereka pulang dari Bandung begitu menghebohkan siswa dan siswi Taruna Bangsa. Tak terkecuali sahabat mereka sendiri di Kompeni."Sudah terikat Gaes!" imbuh Reza dengan tawa berderai.Arta pun geleng-geleng kepala menyaksikan sahabatnya yang bucin parah sampai menjalin hubungan ke jenjang yang seserius ini. Dirinya saja tidak
Tarikan napas panjang terdengar berulang kali. Eva menumpukan kedua tangannya pada meja yang ada di ruangan OSIS. Ia mengibaskan tangan seraya menepuknya cepat kemudian menggulung lengan hodi kedodoran yang ia kenakan.Ya ampun! Susah sekali membawa nampan berisi gelas dengan teh turki panas di dalamnya jika pakaian yang dikenakan terlalu besar seperti ini. Sudah digulung tinggi hingga siku, tetap saja melorot jatuh!Namun karena tidak ada pilihan lain dan tak pula ada sesiapa yang bisa dimintai tolong, sadar bahwa hanya ada ia seorang di ruangan OSIS, maka mau tak mau Eva menghela napas menyerah. Meyakinkan alam bawah sadarnya bahwa jarak antara ruangan OSIS dan ruangan kepsek tidaklah sejauh itu. Meyakinkan diri pula bahwa ia bisa melakukan ini tanpa kesulitan saat berjalan! Hm, sedikit ... mungkin?
Seorang laki-laki berseragam OSIS dilapisi jas lab lengan pendek pada bagian luarnya tengah memasukkan air ke dalam sebuah wadah. Selanjutnya ia mencampurkan sabun ke dalam air itu, lantas mengobok-oboknya hingga tercipta busa. Usai dari itu ia mengambil sebuah tabung berisi gas metana di dalamnya lalu mulai menekan secara terbalik hingga menciptakan gelembung busa. Kemudian ia mengambil busa tersebut di genggaman dua tangannya diikuti oleh ke-dua rekannya yang lain.Sementara di samping itu, tepatnya di pojok kanan panggung terdapat seorang siswi yang juga merupakan anggota OSIS. Tugasnya memandu pertunjukan dan menjelaskan tiap langkah yang digunakan kepada para penonton.Sedangkan siswa lain yang sedari tadi hanya menyimak pertunjukan mulai maju dengan sebuah korek di tangannya. Ia memantik korek dan membakar tangan rekannya sendiri.
"Maaf," pintah Eva pelan. Begini 'kan yang mereka inginkan? Eva meminta maaf karena keterlambatannya. Tidak tahu lagi ini yang ke berapa kalinya Eva merasa bahwa harga dirinya tak berarti apa-apa di hadapan mereka semua sang penguasa sekolah. Khususnya Arta sang pewaris tahta tertinggi, direktur Taruna Bangsa di masa depan. Arta mendongak. Jakunnya bergerak naik turun seiring dengan air yang mengalir di kerongkongan. Sementara satu tangannya yang memegang gelas mengudara. Sudut hati Arta terasa berdenyut. Ada perasaan tidak terima ketika Eva merendahkan harga dirinya dengan meminta maaf atas sesuatu yang tidak sepenuhnya salah dia juga. "Letoy kek siput!" ejek Reza sinis. Lancang sekali anak beasiswa ini membuat Arta menunggu lama. Tidak sadar diri bahwa dirinya itu hanya menumpang di sekolah ini. Iya, tak berkontribusi