Aku sangat senang mendapatkan ponsel bekas dari Bagas. Meski seken, tapi mereknya bukan kaleng-kaleng. Logo buah apel digigit menjadi tanda bahwa ponsel ini harganya cukup menguras kantong versi gue. "Mbok, kok tiba-tiba Mas Bagas kasih pinjam ponsel ini?""Nggak pinjam, itu dikasih tadi waktu pulang," ucap Mbok lagi tapi aku nggak begitu yakin."Yakin Mbok ini dikasih? Mbok tahu ini harganya berapa?""Ya nggak lah. Mbok mana tahu itu harga ponsel, kalau harga cabe sama beras Mbok tahu."Aku dan Simbok tertawa. Ternyata aku dan Simbok sama-sama kocak dan lugu, eh …"Ini tuh harganya 17 juta, Mbok.""Apa?! Ah, nggak usah bohong. Mana ada ponsel harganya segitu. Mbok tahunya ponselnya yang harganya 200 ribu," ucapnya santai lalu masuk kamar untuk menyibak ranjang bersiap tidur. "Ih, nggak bohong, Mbok. Hp apa yang harganya 200 ribu? Hape yang layarnya hitam putih kek hidup Dara gini ya?""Iya." Lagi-lagi kami tertawa. Kami merebahkan tubuh bersama. Meski ranjang berbunyi saat aku nai
Saat aku pulang ternyata simbok sudah pergi ke pasar. Aku mengambil air putih dan meminumnya, badan ini terasa mau copot setelah lelah berolahraga. Aku melihat ada secarik kertas diatas meja yang ditutupi gelas.Aku raih dan membacanya. 'Jamunya diminum 3× sehari, simbok pulang sore. Kamu hati-hati di rumah, jangan pergi jauh-jauh.' Aku tersenyum membacanya. Simbok benar-benar wanita yang baik, aku sampai lupa jika aku sudah memiliki Bunda sebagai ibu, hahahaAku minum jamu yang rasanya aneh ini. Pahit sedikit pedas dan baunya, euy … enggak banget. Kalau nggak demi kurus, ogah aku meminumnya.Setelah minum jamu, aku pergi ke sumur untuk mandi. Rumah pedesaan ini memang kerap masih menggunakan sumur sebagai media pengairan. Aku melihat air di baskom besar yang sudah terisi, sepertinya simbok sengaja mengisinya untukku mandi. Tanganku belum kering benar dan aku harus berhati-hati melakukan aktivitas apapun.Dinginnya air sumur ini, membuat badanku begitu segar. Setelah mandi aku duduk
Happy Reading"Pergi kemana, Mbok?" tanyaku sambil menahan nafas yang ngos-ngosan."Ya intinya pergi. Wes ndak usah angel-angel mikirnya, intinya saiki jomblo. Kalau mau gaet, ndak ada yang bakal marah," kelakar simbok. "Lah, Mbok. Ya nggak mungkin dia mau sama mantra, lihat modelan Dara kayak gini. Mirip ikan buntal, lihat aja ogah apalagi jadi pacarnya.""Hidup harus pede dan optimis. Jika kamu nggak optimis gini gimana mau maju? Yang ada semakin hari semakin mundur, mau kayak gitu-gitu aja?""Ya nggak lah. Memang harus ya Mbok pede kalau badan gini?""Iya harus pede lah, memang gede begini keinginan kamu. Banyak bersyukur maka Allah permudah urusanmu," ucap Simbok membuatku tersenyum. Akhirnya aku sampai di kebun belakang rumah Bagas. Rumahnya lumayan gede bagi ukuran di desa ini bisa dikatakan mewah. Bagaimana tidak, di sekeliling rumahnya kecil semua dan hanya rumah Bagas yang lumayan."Nih kamu pengangin ini aja. Mbok yang cukil kunyitnya, kamu jangan angkat yang berat-berat k
*Happy Reading*Sebulan sudah aku menjalani masa diet yang mbok Muti sarankan. Dari minum jamu herbal hingga jamu racikan serta olahraga ketat. Hari ini aku menyempatkan diri menimbang berat badan di apotik sebelah pasar. Hasilnya cukup membuat aku terkejut. Dari berat badan yang tadinya 87 kg sekarang sudah menjadi 71 kg. Ini sudah menjadi suatu prestasi yang luar biasa. Diet sehat tanpa sedot lemak maupun mengkonsumsi obat berbahaya, Akhirnya bisa aku jalankan dengan bantuan Mbok Muti sebagai moderator dietku." Gimana hasilnya?" tanya si mbok yang menunggu di luar Apotek." Alhamdulillah, Mbok. Dara sedikit kurusan," ucapku antusias."Cuma sedikit? Padahal Mbok lihat badan kamu sudah banyak perubahan loh," ujar simbok merasa sedih."Hehehe iya, Mbok, banyak kok. Tadinya 87 sekarang sudah jadi 71 Mayan lah, mungkin bulan besok sudah bisa seperti Artis Inul Daratista atau Olla lamran. Bukan begitu, Mbok?""iya iya, tapi Mbok tidak menyarankan untuk berkurang banyak lagi soalnya ini s
Happy Reading"Kak Bagas, nih ponselnya." Aku sodorkan ponsel apple .miliknya yang dipinjamkan dua bulan untukku pakai."Loh, kok dikembalikan?""Aku mau pulang.""Pulang?" Sepertinya Bagas bingung dengan yang aku katakan. Selama ini kami tak pernah berbincang mengenai asal usulku. Aku juga sengaja tak memberinya tahu agar jika aku pergi nanti, tak ada yang mencariku ke rumah. Sama seperti di kampung Bunda, aku juga tak memberi informasi dimana aku tinggal dengan simbok."Aku hendak pulang ke daerah asalku. Aku bukan anak simbok, aku hanya gadis gemuk yang malang dan tersesat sampai di rumah Mbok Muti waktu itu. Dan beliau membantuku untuk kembali bangkit dan bersemangat dengan membuatku berbadan ideal seperti sekarang. Aku senang bertemu dan berteman denganmu, makasih ya," ucapku jujur. Dia masih terpaku, menatap diriku dengan mata tak berkedip."Hay."Dia tersadar dan langsung memegang kedua tanganku."Kamu bohong 'kan?"Kok bohong? Serius, kalau nggak percaya nanti tanya sama sim
*Happy Reading"Mbok, Dara harus pulang sekarang. Maaf, Bundaku masuk rumah sakit. Jadi, Dara nggak bisa nunggu sampai besok," ucapku panik.Setelah diantar Bagas tadi, Aldi telpon dan sedikit memarahiku karena belum juga pulang. Yana juga menelponku kembali, mengabarkan jika Bunda akhirnya dilarikan ke rumah sakit."Oalah, baiklah. Mbok temani ke terminal ya?" tanya Simbok Muti."Tidak usah, Mbok. Dara dijemput adik Dara. Sekarang sedang menuju ke sini," ucapku. Baru saja diperbincangkan, aku mendengar mobil berhenti di depan halaman rumah Mbok Muti. Awalnya ragu menunjukan alamat rumah simbok, tetapi lagi-lagi Radit dan Aldi mendesakku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan Simbok."Maaf, Bu. Apa benar ini tempat persinggahan kakak saya, Mantra namanya. Ini fotonya," ucap Aldi menunjukan foto pada Simbok.Aku yang sedang di kamar karena beberes barang yang hendak dibawa pulang. Tak banyak sih, karena memang selama ini hanya ada beberapa barang dari Bagas dan juga baju y
Setelah membersihkan badanku, aku memilih langsung menuju ruang keluarga. Tak ingin melewatkan waktu bertanya karena ini terlihat sangat serius. Sampai-sampai Bunda beralasan sakit untuk memintaku pulang.“Sudah cantik anak Bunda. Bunda sampai pangling melihatmu tadi saat baru datang, Sayang,” puji Bunda padaku.Aku masih bersikap sedikit kalem, rasa kecewa membuatku harus memberi mereka pelajaran. Memaksaku pulang dengan alasan sakit sungguh tak bisa dibenarkan.“Yah, Mantra sebenarnya lelah hayati dan ingin istirahat di kamar. Namun, rasanya ada yang mengganjal pikiran Mantra kali ini. Mumpung semuanya berkumpul, Mantra ingin menjelaskan sesuatu dan bertanya sesuatu.” “Khair, panggil semua adik dan kakakmu,” ucap Eyang.Tak menunggu lama, Ayah, Radit, Aldi, Gala, Khair, Yana dan datang. Hanya Alga, Nino dan Oji yang tak ikut karena Nino dan Oji sedang mengantar istrinya pulang ke rumah sedangkan Alga usianya belum layak mendengar pembicaraan penting ini. Dia masih bersama Aldo di
"Kak Bagas? Bukannya ponselnya ada pada Simbok? Apa sudah diretas kembali?" kelakarku. Aku memilih mencari tempat sepi untuk mengangkat panggilan Kak Bagas."Ra, kenapa kamu nggak kabari Kakak kalau mau pulang lebih awal? Bukankah kita sudah sepakat pulang ke rumahmu bersama?" cecar Kak Bagas. Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Bagas justru memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Memang begitu? Maaf, Kak, Dara lupa, habisnya buru-buru sudah dijemput para adik-adik.”“Iyakah? Adik atau kekasih yang Kakak tidak tahu?” Aku tertawa menahan rasa lucunya mendengar nada panik bercampur cemburu.“Apaan sih? Dara itu punya adik sembilan, umurnya juga jaraknya dekat-dekat. Dara yakin, kak Bagas dengar dari tetangga kalau Dara dijemput bujang ganteng-ganteng. Ngaku nggak?”Panggilan berubah menjadi video call. “Jangan bohong, Ra. Kakak nggak suka dibohongi,” ucapnya.“Ya ampun Kakak, buat apa Dara bohong. Nanti aku kasih liat fotonya, aku sent deh jika perlu sekalian sama keluarga besar Dar