“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.
Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.” Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval. “Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!” Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.” Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya pilihan selain menjalankan permainan hidup mati dari sang pelayan. Maka Reza pun beranjak dari jeruji. Tak ada suara dari buaya, hanya terus merayap. “Saya punya saran, Tuan. Sebaiknya kurangi berteriak, dan jangan berenang tergesa-gesa. Buaya itu hewan yang sangat sensitif.” Baru dua langkah yang Reza ambil. Buaya menyentak. Hewan itu bergerak perlahan, menyapa dengan mulut menganga. Reza berusaha agar tetap tak terpojok. Sedikit bungkuk si pria berwajah oval sambil menunjukkan gestur stop. Reza berpikir keras. Setiap langkah menyamping yang diambilnya hanya menghasilkan langkah baru sang buaya. Tangan Reza mengepal, antara stres dan ingin menghajar Felix. Lima lawan satu. Percikan air di kaki Reza seakan membawa rangsang kematian. Tunggu. Buaya hewan yang sangat sensitif. Tips kecil dari Felix itu menghadirkan sebuah ide. “Heeeeeeeiii!” teriak Reza. Tak hanya berseru, Reza juga menendang-nendang air di kolam. Buaya terusik. Dua reptil yang tersisa pun bergerak ke sumber percikan. Reza terus berteriak sambil melangkah cepat kembali menuju jeruji. Berhasil. Kelima ekor buaya sudah hadir di daratan. Reza mengambil kesempatannya yang sempit untuk mencebur ke kolam. Airnya jernih. Kunci yang dimaksud Felix bisa terlihat di dasar. Reza lanjut menyelam. Kedalaman kolam tak seberapa, membuat Reza cukup mudah menjangkau kuncinya. Lalu masalah muncul. Seekor buaya kembali ke kolam. Binatang itu dengan cepat berenang menyusul Reza yang baru saja berbalik. Waktu kian sempit dan ruang gerak Reza terbatas. Kepanikan semakin mengundang insting alami buaya. “Ayo, Tuan Reza ...,” ujar Felix dalam bahasa Jerman. “Nasib saya sebagai pelayan keluarga ini tergantung kelulusan Anda.” Sayangnya, Reza panik. Ia kesulitan berpikir jernih kala melihat moncong besar sang reptil semakin dekat. Gelagat yang membuat Reza kehabisan napas, keluar ke permukaan dan memukul-mukul air. “Tuan Reza ...,” ucap Felix mulai khawatir. Benar saja. Kepanikan Reza akhirnya mengundang empat buaya lain masuk ke kolam. Maut benar-benar sedang membayangi keturunan terakhir Hazerstein. “Fueh ... Ffelix!” Sesaat setelahnya, tubuh Reza kembali ke dalam air. Kali ini tak kembali. Buaya mulai bergerak liar di kolam. Felix membeliak memegang terali besi, memanggil sang majikan. Percuma. Tak ada jawaban. Hampir 30 detik kemudian, buaya-buaya juga kembali tenang, membuat Felix kian putus asa. Pria bermata bulat itu kini terduduk lemas di depan pintu besi, menyesali perbuatan konyol atas nama tradisi yang baru saja ia lakukan. “Maafkan saya, Tuan Hazerstein.” Suara objek keluar dari air membuat Felix kembali mengangkat wajah. Sebuah tangan. Lalu tangan satunya muncul memegang kunci. Ternyata Reza berhasil. Pria berwajah oval itu terengah naik ke tepi kolam, lalu merangkak membuka pintu. Basah, capek, kedinginan. Tak sedikit pun Reza menunjukkan wajah ingin merayakan kemenangan. Ia hanya menungging, membiarkan air dari pakaiannya membasahi lantai. Sementara Felix mengganti posisinya jadi berjongkok, lalu memegang pundak majikannya dengan bangga. “Selamat. Anda terbukti pantas menjadi penerus keluarga Hazerstein.” Reza mengatur napasnya, lalu manggut-manggut menyengir. “Terima kasih, Felix. Sekarang, berhubung aku sudah resmi jadi majikanmu, aku ingin memberi perintah padamu.” Felix menunduk menghamba. “Apa saja untuk Anda, Tuan.” “Bagus. Berdirilah membelakangiku.” Sang pelayan menuruti perintah tanpa banyak tanya. Reza berdiri. Senyum di wajah oval Reza seketika berganti kekesalan memuncak. Ia lantas memberi satu tendangan ke pantat Felix, lalu mencekik ala kartun. *** Malam tenang di kediaman Hazerstein. Felix sudah berpakaian rapi sebagaimana seorang pelayan, menahan rasa sakit untuk upacara penting. Sepi. Hanya ada dia dan sang majikan yang bersetelan hitam di singgasana ruang utama. Berdua, tapi ini adalah acara resmi. Felix merendah. Bertumpu pada satu lutut, menunduk menyodorkan emblem perisai biru putih bersiluet buaya. “Ujian tadi bukan hal random. Buaya adalah simbol keluarga ini. Ganas, hidup di dua alam, dan berumur panjang. Semoga sepak terjang Anda mampu membawa keluarga ini kembali menjadi bagian dari dominasi dunia.” Reza tak berkata apa pun, hanya mengambil pelan emblem itu dan memasangnya pada bagian dada kanan jas. Wajahnya serius. Matanya penuh keyakinan bahwa ia akan mampu mengemban tanggung jawab. “Mulai hari ini, nama Anda tidak akan lagi disingkat. Anda adalah Reza Hazerstein Martadinata.” Setelah resmi dinobatkan, Reza pun resmi menyatakan lapar. Reza beranjak ke kamar. Felix bergerak menyiapkan makan malam untuk sang majikan baru. Kalkun panggang. Reza melahap hidangan itu dengan nikmat. Reza menelan kunyahannya. “Tekstur, bumbu, sisi-sisi hangusnya .... Enak banget, Felix.” “Saya senang Anda menikmatinya, Tuan.” Felix membungkuk, tapi rasa sakit di punggung menahannya lebih rendah. Namun, makan malam di kamar itu terasa ada yang kurang. Terlalu sepi. Si pria berwajah oval juga sudah kehabisan bahan obrolan. Reza kemudian meminta Felix untuk menyalakan televisi yang terpajang di dinding. Televisi menyala. Kebetulan sekali saluran yang muncul adalah acara berita dalam bahasa Jerman. Tentu Reza tidak mengerti kecuali kata ‘terrorist’ dan ‘Indonesia’. “Bentar ....” Reza menjeda santap malamnya. “Itu hotel yang kita ledakkan kemarin.” Felix tidak terlalu heran ketika berita itu dibahas. Masalah baru muncul ketika wajah Reza terpampang dan dianggap sebagai pelaku utama. Reza termangu. Tanpa mengerti bahasanya, majikan Felix mengerti bahwa dirinya sedang dalam masalah serius. “Sepertinya saya tahu istilah dalam Bahasa Indonesia untuk situasi seperti ini, Tuan.” “Apa?” “Wuaduh ....” *** Mobil berhenti di depan bangunan apartemen. Mario mendaratkan ciuman, lalu membiarkan Una turun membawa banyak tas belanjaan. Kemudian mobil melesat. Kini Una kembali dalam kesendirian. Setidaknya itu yang ia rasakan sampai keluar dari lift. Kala ia berjalan di koridor remang menuju pintu apartemennya, ia merasa terus diawasi, dan itu bukan tetangga. Mata Una awas. Beban belanjaan membuatnya kerepotan mengambil kunci pintu. Semakin lama, ia semakin gelisah karena hawa orang asing kian dekat. Lalu saat Una menoleh ke sebelah kiri, ia pun tersentak.Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!” “Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “J
Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”*** Matahari bers
Karet roda raksasa akhirnya menyentuh landasan bandara Kota Zurich, Swiss. Sudah petang. Perjalanan delapan belas jam tanpa transit menyisakan lelah meski para penumpang hanya bersandar di kursi.Lampu kabin menyala. Tampaklah wajah seluruh penumpang, termasuk Una yang menyandarkan kepala di bahu Mario. Dari bandara, mereka menuju hotel dan menghabiskan malam dengan saling memberi kasih.Lalu lagi-lagi dering ponsel yang memecah dekap dini hari dua sejoli itu. Mario mengangkatnya.“What the hell are you doing?” cecar suara dari ujung telepon.“Excuse me?”“Aku menyuruhmu mencari lalu menyingkirkan bocah Hazerstein, tapi kau malah berlibur ke Swiss dengan pacarmu?!”Seketika mata Mario kembali segar. “A-aku sedang mengusahakannya, Mister Anderson. Aku ke sini juga untuk sekalian memeriksa jejak Hazerstein dari aset-asetnya.”“Sebaiknya kau tidak main-main, Mario. Aku bisa tahu ke mana kau pergi, dan bisa meruntuhkan perusahaanmu kapan saja.”Telepon berakhir. Hanya gerutu yang keluar da
Tak langsung ada dialog. Mata Una dan Reza masih saling terkunci dengan ekspresi serupa. Sempat ada ragu di benak Una, akan tetapi selain penampilan, ciri fisik pria di meja makan benar-benar milik suami yang ia campakkan.Sedangkan Mario memberi reaksi berbeda. “Reza? Sedang apa kamu di sini?”Tetap tak ada jawaban dari sang keturunan Hazerstein. Reza melirik Felix. Dari situasinya, si pelayan Hazerstein sudah paham harus berbuat apa. “Was schaust du an?” cecar Felix dalam bahasa Jerman. “Kümmern Sie sich um lher eigenen Sachen!”Reza yang panik coba mengimbangi. “J-ja! Waswes sisik kumsisasen!”Lalu Felix bangkit, beranjak menuju juru masak untuk meminta sendok baru.“Umm ... kayaknya kita salah orang, Sayang,” kata Una pada Mario, membuat Reza mengepal. “Lagian teroris mana mungkin liburan ke Swiss?”Mario terkekeh. “Ternyata memang benar manusia memiliki tujuh kembaran di dunia ini. Sayang, bagaimana kalau kita bermain lagi setelah dinner?”Una tersenyum, berkedip manja mendekap
Puluhan manusia di lobi rumah sakit terus bergerak sebagai figuran. Mata Heru dan si wanita asing masih saling terkunci. Tatapan Heru datar. Namun, aura curiga jelas terpancar dari bidikan mata pria itu.“Apa maksud Mbak bilang begitu?”Si wanita asing memperlebar senyumnya. “Ini topik yang sensitif. Mau bicara di luar, Pak Heri?”“Nama saya Heru,” jawab Heru masih dengan tatapan datar. “Di sini aja, saya capek.”Wanita blasteran itu kembali tegak. “Saya berani jamin, Anda tidak terlalu tahu tentang Reza Martadinata. Bukan begitu, Pak Haru?”“Saya Heru. Yang lebih tahu soal Reza itu sudah pasti istrinya. Dari jenis kelamin, sudah jelas kalau saya tidak nikah sama Reza.”“Anda pernah dengar tentang elite global? Tentang segelintir orang kaya yang menguasai hal dan momen besar di muka bumi ini? Banyak uang, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Anda percaya kalau Reza salah satunya?”Heru diam sejenak, menatap datar pada sang wanita asing yang seakan bicara melantur. “Sebenarn
Lagu penutup acara TV terlalu ceria untuk suasana serius kamar itu. Felix mengambil remote. Dimatikannya televisi, lalu mereka berdua pun terkunci dalam kesunyian. Sedangkan Reza meletakkan ponsel di dekat kaki.“Jadi, bagaimana, Tuan?”Reza menggaruk ubun-ubunnya. “Yaelah, Felix. Aku juga baru mau minta saran ke kamu.”“Sejak awal, Anda yang bilang kalau Pak Heru adalah teman yang baik. Tapi jujur saja, saya tidak mengerti kenapa dia mengirim pesan seperti ini.”“Yang bagian mana? Cewek cantik atau sablengnya?”Felix menghela napas. “Bagian jebakannya, Tuan.”Sekali lagi Reza larut dalam pikirannya. Pelik. Butuh hampir dua menit bagi pria berwajah oval itu untuk menimbang, sebelum akhirnya ia memecah keheningan dengan sekali tepuk tangan.“Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Sebaiknya kita tidak menemui Heru. Aku akan membalas emailnya dengan berkata kalau aku baik-baik saja.”“Wah, sangat bijak.” Felix manggut-manggut. “Pasti Anda menghindari kemungkinan jebakan ganda. Bukan begit
Ban taksi menggesek aspal seiring perhentiannya di depan hotel mewah. Isabelle keluar dari mobil, dan menatap pintu masuk hotel dengan senyum percaya diri. Klakson berbunyi. Sopir menegur karena Isabelle belum bayar.Setelah transaksi selesai, wanita blasteran itu pun melenggang masuk. Terus menuju meja resepsionis. Wajah cantiknya berbasa-basi, tapi isi kepalanya mengatur strategi. Alasannya satu. Reza terlacak berada di hotel yang sama.Administrasi, serah terima kunci, lalu Isabelle masuk ke lift bersama seorang roomboy yang membawakan barangnya. Pintu lift tertutup. Sementara di tangga, Reza dan Felix melangkah turun dengan santainya.“Yah ... tapi untung aja kali ini kamu tidak meledakkan hotelnya,” kata Reza.“Anda yang lempar granat waktu itu, Tuan,” timpal Felix, “makanya sampai masuk berita.”“Iya juga, sih.”Setelah Felix melakukan check out, mereka pun keluar tanpa dicurigai.“Eh, terus dua orang itu bagaimana? Kamu pede banget berantem di dalam lift, pasti kelihatan di CCT
Felix bergerak secepat kilat, melindungi majikannya dari Isabelle yang memberi senyum mencurigakan. “Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa kenal Tuan Reza?”Isabelle masih tersenyum, tangannya disilangkan. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Pelayan mancung. Urusanku hanya sama Reza.”“Pergilah, wanita jalang!” hardik Felix.“Heh, jaga bahasamu! Aku susah-susah melacak kalian sampai ke negara ini. Pas di hotel, aku kira pasangan gay yang mengisi kamar itu adalah kalian!”“Pasangan gay?” tanya Reza.“Bukan apa-apa, Tuan. Lupakan saja.”“Lebih baik kamu menyingkir, pelayan Hazerstein!”“Ah!” Reza terbeliak, menunjuk wajah si wanita blasteran. “Aku tahu kamu siapa.”“Baguslah,” kata Isabelle, “kalau begitu kita bisa langsung—”“Kamu sekretaris camat!”“Salah orang!”Obrolan itu bisa saja berlangsung selamanya. Namun, Felix masih tetap kukuh menganggap Isabelle adalah bahaya. Ia berbalik. Diyakinkannya sang tuan untuk bergegas ke bandara agar masalah segera teratasi.Tentu saja Isabelle tak