Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Kilau berlian dan furnitur mahal ternoda oleh cipratan darah. Para tamu berpakaian elegan terkulai tak bernyawa di lantai dansa. Bau anggur tercampur aroma amis. Teriakan wanita terakhir terhenti akibat letusan senjata api.Seorang pria berdiri. Dia adalah pemain biola yang juga berperan sebagai pelaku pembantaian itu. Ujung biolanya berasap. Melihat tugasnya sudah selesai, ia pun berjalan santai melangkahi mayat para korbannya.Namun, langkahnya terhenti. Tangan seorang pria tua memegang pergelangan kaki kirinya.“Sudahlah, Tuan Hazerstein,” kata pemain biola, “semuanya sudah berakhir.”“Kau salah.” Pria tua itu merintih. “Keturunanku akan membangkitkan kekuasaanku kembali.”Si pemain biola menggaruk kepala. “Ya ... maaf, nih. Saya barusan habis bunuh semua anak-cucu sampai menantu Anda.”Si pria tua tertawa di sela rintih sekaratnya. “Kelak, cucu terakhirku akn henhaom viss ....”“Ngomong apa kebelet, sih?” Pemain biola mengarahkan ujung alat musiknya ke kepala pria tua, lalu menemb
Desahan penuh kenikmatan menggema di kamar itu. Tak ada ronta. Hanya dua tubuh polos bergumul saling menyebut nama. Reza hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dengan wajah yang menunjukkan hati hancur.Bungkusan kado terjatuh. Bunyinya cukup untuk membuat Una dan sang pria asing menoleh. Keduanya terkejut melihat Reza. Sang selingkuhan buru-buru keluar kamar, sedangkan Una segera menyembunyikan tubuh polosnya dengan selimut.“Reza?” Una menyibak pinggir rambut pendeknya. “Kok kamu udah pulang?”“Ceritanya panjang,” jawab Reza dengan tatapan hampa. “Tapi entahlah, Una. Bisa jadi punya selingkuhanmu lebih panjang lagi.”“Apanya?” Una mulai gemetar.“Penderitaannya.” Reza menunduk. “Kenapa, Una? Kenapa kamu setega ini?”Untuk beberapa saat, kamar itu dikuasai keheningan. Tangan Reza mengepal. Namun, harinya sudah cukup buruk. Ia mengambil napas panjang, mengangkat kepala, berpikir untuk melanjutkan sisa hari dengan senyum tulus memaafkan.“Ini semua salah kamu!” bentak Una, membuat Re
Naluri pertahanan diri Reza kembali memuncak. Ia mundur. Sadar bahwa di belakangnya hanya ada tembok, Reza lantas mengambil sebuah balok kayu yang kebetulan ada di sana. Sementara sang sosok misterius kian mendekat perlahan.“Jangan mendekat!” pekik Reza sambil mengacungkan balok.Sosok itu memakai jas hujan hitam, sehingga wajahnya tak terlalu kelihatan. Wajar jika Reza takut. Melihat balok terayun di bawah hujan, sang sosok misterius pun menghiraukan peringatan Reza dan berhenti melangkah.“Tenang, Tuan Hazerstein,” kata sosok itu, “saya tidak akan menyakiti Anda.”Kening Reza mengerut. Sang sosok misterius membuka tudung jas hujannya, menampakkan pria berwajah lonjong dihias rambut pirang klimis, serta mata bulat dan hidung mancung.“Siapa?” tanya Reza sambil menyipitkan mata.Sosok itu menunduk, memegangi dada. “Saya Felix Nacht, pelayan setia—”“Bukan, bukan!” Reza menunjuk. “Maksudku, kamu tadi ngomong sama siapa?”Pria mancung itu berkedip, lalu cengengesan. Ia kembali melangka
Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempatSi pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu IndonesiaKamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.” Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan ku
“Tuan Reza!”Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter.“Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!”“Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!”“Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan.Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas.“Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.”Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana m
“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya