Desahan penuh kenikmatan menggema di kamar itu. Tak ada ronta. Hanya dua tubuh polos bergumul saling menyebut nama. Reza hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dengan wajah yang menunjukkan hati hancur.
Bungkusan kado terjatuh. Bunyinya cukup untuk membuat Una dan sang pria asing menoleh. Keduanya terkejut melihat Reza. Sang selingkuhan buru-buru keluar kamar, sedangkan Una segera menyembunyikan tubuh polosnya dengan selimut. “Reza?” Una menyibak pinggir rambut pendeknya. “Kok kamu udah pulang?” “Ceritanya panjang,” jawab Reza dengan tatapan hampa. “Tapi entahlah, Una. Bisa jadi punya selingkuhanmu lebih panjang lagi.” “Apanya?” Una mulai gemetar. “Penderitaannya.” Reza menunduk. “Kenapa, Una? Kenapa kamu setega ini?” Untuk beberapa saat, kamar itu dikuasai keheningan. Tangan Reza mengepal. Namun, harinya sudah cukup buruk. Ia mengambil napas panjang, mengangkat kepala, berpikir untuk melanjutkan sisa hari dengan senyum tulus memaafkan. “Ini semua salah kamu!” bentak Una, membuat Reza batal bicara. Tangan Una mencengkeram selimut. Napasnya memburu. Wajahnya merah dengan tatapan penuh kebencian. “Andai saja ... andai saja kamu lebih kaya, Reza!” Reza berkedip pelan. Lelaki berwajah oval itu mencoba tetap tenang dan mendekati sang istri, tapi ditepis. Bahkan Una melempar bantal padanya, berteriak mengusir Reza keluar kamar. Pintu ditutup. Reza berjalan mundur hingga ke dapur. Ketika ia menoleh ke ruang keluarga, ia melihat si pria asing masih sementara memakai baju. Kontak mata terjadi antara Reza dan pria bertubuh atletis itu. Situasi canggung tak berlangsung lama. Sebab Una segera muncul dari kamar dengan daster putih dan sebuah koper. Reza memandang heran. Sang istri lantas melempar koper itu padanya, lalu bergegas ke ruang keluarga untuk menggandeng lengan si pria asing. “Una, apa-apaan kamu ini?!” “Biar aku langsung ke intinya saja, Reza. Ini Mario. Pacar baruku. Dia mengelola perusahaan warisan ayahnya. Tidak seperti kamu yang cuma pegawai.” “Kamu mencampakkanku demi orang ini? Orang yang lebih ganteng, lebih berotot, lebih kaya, lebih .... Buset, memang dia banyak lebihnya.” Una mengangguk yakin. “Iya. Aku mencampakkanmu demi Mario. Tapi seperti yang kubilang, Reza. Aku sudah tidak tahan dengan kamu yang hidupnya begitu-begitu saja tanpa perubahan!” Reza mendekat dengan wajah memelas. “Una, aku—” “Hei, Bung,” tegur si selingkuhan sambil maju menahan Reza, “sudahlah.” Reza menatap tajam mata pria perebut istri itu. “Celananya dipakai dulu.” “Eh iya.” Si pria asing segera menunduk memakai celana. Saat sang selingkuhan tengah memakai celana, Reza menggunakan kesempatan itu untuk mendekat ke Una. Gagal. Dengan cepat si pria asing selesai memasang celana, lalu mendorong Reza hingga terpental ke dekat pintu keluar. Pintu dibuka. Reza didorong keluar, lalu sekali lagi dilempar dengan koper. Pria berwajah oval itu hanya bisa tertunduk, menatap lantai dengan perasaan terhina. Sementara Una dan pacarnya berdiri di ambang pintu dengan wajah angkuh. “Mulai sekarang, kamu tidak usah pulang,” kata Una, “karena aku bukan tempat kembalimu lagi.” “Pernikahan kita ... mimpi kita ....” Reza melirik ke dalam apartemen. “Bagaimana dengan itu semua?” “Tidak perlu khawatir, Bung.” Si selingkuhan menyeringai. “Kamu sudah janji membawa Una ke Swiss, ‘kan? Biar aku yang urus.” Reza masih tak bergeming ketika pintu dibanting. Cukup lama ia di tempat itu, sebelum akhirnya ia bangkit menuju lift dengan wajah putus asa. Reza lesu. Ketika sudah sampai lantai dasar, Reza hanya terus berjalan. Langit yang tadinya cerah ternyata sudah diselubungi awan hitam. Air menitik. Satu per satu menyentuh bumi hingga akhirnya menjadi hujan deras. Namun, Reza yang sudah terlanjur dilahap kesedihan sama sekali tak peduli dirinya basah. Reza terus melangkah. Ia hanya membawa kakinya tanpa peduli arah di bawah hujan. Nyaring suara gulir roda koper tak kunjung membuatnya sadar dari lamun. Sesekali ia mengusap wajah, entah mengusap air hujan atau air mata. “Reza!” panggil seorang pria dari arah kiri. Yang dipanggil perlahan menoleh. Ia terbeliak. Ada pria berwajah datar berdiri agak jauh sambil memegang payung dan kantongan hitam. Itu Heru, dan kini berjalan mendekati Reza. “Kamu lupa kerupuk testis babinya,” ucap Heru sambil menunjukkan kantong. Reza menatap Heru beberapa saat, lalu terkekeh. Kekeh berubah cengir. Cengir berganti tertawa menahan sakit hati di bawah hujan. Ia memegang pundak teman kantornya yang berwajah datar tapi turut bersimpati itu. “Kamu memang teman terbaikku, Heru,” ucap Reza. “Hei, setidaknya pulanglah ke rumah.” Reza menggeleng. “Aku sudah tidak bisa pulang.” Heru kian iba. “Kalau begitu, kamu boleh—” DOR Payung dan kantong tergeletak di trotoar. Heru tumbang. Reza tersentak tak sempat menahan tubuh teman baiknya sebelum jatuh. Ditambah lelaki berwajah oval itu masih harus memproses apa yang sedang terjadi. “Heru!” Reza berjongkok memeriksa sang teman, dan menemukan darah di pundak belakang pria itu. Tentu saja Reza ingin segera memberi bantuan. Namun, insting bahayanya bangkit. Ia menengok. Di halte seberang jalan, Reza melihat seorang pria berkacamata hitam memegang sebuah biola. Cara pegangnya mirip mengarahkan senjata, sehingga Reza bisa langsung tahu dia pelakunya. “Ah ... meleset.” Si pemain biola lantas kembali membidik. Segera Reza berlari. Tembakan nyaris mengenainya. Terpaksa ia meninggalkan Heru bersama koper. Reza melesat secepat mungkin dan berbelok di persimpangan. Sementara si pemain biola mengeluarkan payung, lalu mulai mengejar. Jalan raya masih sibuk di tengah hujan. Macet. Reza menggunakan kesempatan itu untuk melewati sela-sela mobil. Klakson berbunyi. Si pemain biola mulai menyusul. Permainan kucing-tikus di jalanan Kota Jurajura berlangsung sengit. Dari ruko ke ruko, trotoar ke trotoar, Reza terus berlari. Sesekali ia diteriaki karena nyaris menabrak orang lain. Pembunuh kian dekat. Reza mengambil helm salah satu motor terparkir, lalu melemparkannya ke si pemain biola. “Maling helm!” teriak Reza. Suara Reza mendapat respons. Parkiran motor itu adalah bagian belakang dari sebuah kafe, dan kini para pengunjung keluar memastikan helm yang dicuri bukan milik mereka. Pemain biola terkejut. Sialnya karena dialah yang menangkap helm itu. Pelarian Reza baru berhenti ketika menggapai sebuah gang berdinding bata tanpa plester. Sepi. Reza mendongak mengatur napasnya, membiarkan sisa lelah tergerus air hujan. Ia kemudian melangkah pelan, tapi menemukan ujung gang itu buntu. Reza meringkuk, bersandar di tembok bata. Ia sudah tak peduli air hujan yang semakin mengguyur. Tangisnya mengalir. Tangan Reza mengepal mengingat kejadian sejauh ini. Dipecat, dicampakkan, dan kini dikejar pembunuh. “Kenapa ...,” ujar Reza, “kenapa nasibku seperti ini?” Hujan masih saja membasahi tanpa ampun. Terdengar derap langkah tegas memecah genangan air. Reza menengok pelan. Saat itulah ia melihat siluet seorang pria berdiri di mulut gang.Naluri pertahanan diri Reza kembali memuncak. Ia mundur. Sadar bahwa di belakangnya hanya ada tembok, Reza lantas mengambil sebuah balok kayu yang kebetulan ada di sana. Sementara sang sosok misterius kian mendekat perlahan.“Jangan mendekat!” pekik Reza sambil mengacungkan balok.Sosok itu memakai jas hujan hitam, sehingga wajahnya tak terlalu kelihatan. Wajar jika Reza takut. Melihat balok terayun di bawah hujan, sang sosok misterius pun menghiraukan peringatan Reza dan berhenti melangkah.“Tenang, Tuan Hazerstein,” kata sosok itu, “saya tidak akan menyakiti Anda.”Kening Reza mengerut. Sang sosok misterius membuka tudung jas hujannya, menampakkan pria berwajah lonjong dihias rambut pirang klimis, serta mata bulat dan hidung mancung.“Siapa?” tanya Reza sambil menyipitkan mata.Sosok itu menunduk, memegangi dada. “Saya Felix Nacht, pelayan setia—”“Bukan, bukan!” Reza menunjuk. “Maksudku, kamu tadi ngomong sama siapa?”Pria mancung itu berkedip, lalu cengengesan. Ia kembali melangka
Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempatSi pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu IndonesiaKamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.” Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan ku
“Tuan Reza!”Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter.“Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!”“Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!”“Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan.Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas.“Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.”Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana m
“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya
Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!” “Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “J
Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”*** Matahari bers
Karet roda raksasa akhirnya menyentuh landasan bandara Kota Zurich, Swiss. Sudah petang. Perjalanan delapan belas jam tanpa transit menyisakan lelah meski para penumpang hanya bersandar di kursi.Lampu kabin menyala. Tampaklah wajah seluruh penumpang, termasuk Una yang menyandarkan kepala di bahu Mario. Dari bandara, mereka menuju hotel dan menghabiskan malam dengan saling memberi kasih.Lalu lagi-lagi dering ponsel yang memecah dekap dini hari dua sejoli itu. Mario mengangkatnya.“What the hell are you doing?” cecar suara dari ujung telepon.“Excuse me?”“Aku menyuruhmu mencari lalu menyingkirkan bocah Hazerstein, tapi kau malah berlibur ke Swiss dengan pacarmu?!”Seketika mata Mario kembali segar. “A-aku sedang mengusahakannya, Mister Anderson. Aku ke sini juga untuk sekalian memeriksa jejak Hazerstein dari aset-asetnya.”“Sebaiknya kau tidak main-main, Mario. Aku bisa tahu ke mana kau pergi, dan bisa meruntuhkan perusahaanmu kapan saja.”Telepon berakhir. Hanya gerutu yang keluar da
Tak langsung ada dialog. Mata Una dan Reza masih saling terkunci dengan ekspresi serupa. Sempat ada ragu di benak Una, akan tetapi selain penampilan, ciri fisik pria di meja makan benar-benar milik suami yang ia campakkan.Sedangkan Mario memberi reaksi berbeda. “Reza? Sedang apa kamu di sini?”Tetap tak ada jawaban dari sang keturunan Hazerstein. Reza melirik Felix. Dari situasinya, si pelayan Hazerstein sudah paham harus berbuat apa. “Was schaust du an?” cecar Felix dalam bahasa Jerman. “Kümmern Sie sich um lher eigenen Sachen!”Reza yang panik coba mengimbangi. “J-ja! Waswes sisik kumsisasen!”Lalu Felix bangkit, beranjak menuju juru masak untuk meminta sendok baru.“Umm ... kayaknya kita salah orang, Sayang,” kata Una pada Mario, membuat Reza mengepal. “Lagian teroris mana mungkin liburan ke Swiss?”Mario terkekeh. “Ternyata memang benar manusia memiliki tujuh kembaran di dunia ini. Sayang, bagaimana kalau kita bermain lagi setelah dinner?”Una tersenyum, berkedip manja mendekap