"Hei, wanita malam murahan! Malang sekali nasibmu, mimpi terlalu ketinggian. bagaimana sekarang? masih ingin melanjutkan mimpi kamu?"
Suara Retno terdengar geram penuh kemarahan, saat berhasil membuka pintu dan menghardik wanita yang tengah lemah di depannya.
"Plakkk....!" Sebuah tamparan keras dari Retno melayang di pipi Kinanti. Tak hanya sekali, bahkan sudut bibir Kinanti pun mulai berdarah, akibat kerasnya tamparan Retno.
Sang Chairman yang berdiri di sudut kamar tersebut sebenarnya tidak tega melihat wanita yang tidak sepenuhnya bersalah itu diperlakukan demikian oleh sang istri. Namun beliau juga tidak ingin terlihat lemah di hadapan gadis itu demi wibawa dan harga dirinya.
"Plaaaakk....!" Tamparan terakhir Retno yang sangat kencang, membuat tubuh lemah Kinanti tersungkur ke lantai. Matanya serasa berkunang-kunang, setelah melihat ke sekeliling yang mulai terlihat buram dan berbayang, tiba-tiba Kinanti kembali merasa mual yang tak dapat di
Tempat pertama yang dituju oleh Zain Abraham dan dokter Andika adalah kediaman kedua orang tuanya. Namun rumah itu terlihat sepi hanya para pelayan yang tersisa. Membuat kemarahan CEO Zain Abraham kembali tersulut, dan membanting semua perabot berharga koleksi sang ibunda yang merupakan barang import dan limited edition. "Mamaaaa....!" Teriak Zain. "Tenangkan diri kamu, Zain! Aku yakin kekasih kamu baik-baik saja. Tidak perlu khawatir, tidak akan terjadi hal buruk padanya." Dokter Andika berusaha meredam emosi sang sahabat yang terlihat sangat terpukul akan hilangnya Kinanti. *** "Burhan, kamu awasi gadis ini jangan sampai dia kabur. Sementara itu biar aku persiapkan paspor serta visa, kamu bawa dia ke negeri Sakura. Pastikan setibanya di sana kamu ubah semua identitas dia dan awasi terus agar tidak kembali lagi!" Peringati Chairman Yazid kepada Burhan. "Kenapa Chairman tidak menugaskan ini kepada Salim?" Tanya Burhan.
Selepas pertengkaran dengan kedua orang tuanya, Zain melajukan mobilnya kencang, menyusuri jalanan ibu kota. Mencari keberadaan sang kekasih yang sampai kini belum juga diketemukan. Bahkan berkali-kali Zain menghubungi Alex tetap saja tidak ada kabar baik satu pun yang datang.Jika biasanya saat sedang emosi selepas bertengkar dengan sang ibunda Zain pergi membuang kemarahannya dengan pergi ke klub malam, berbeda dengan kali ini. Zain lebih memilih pergi ke vila, tempat pertama kali ia membawa Kinanti bermalam di sana."Honey, di manakah kamu sekarang? Beri aku petunjuk tentang kekasihku, Tuhan!" gumam Zain yang mulai menggenang butiran kristal bening dari kedua pelupuk netranya saat duduk di dalam mobil yang baru saja tiba di vila."Selamat malam, Tuan Zain!" sapa pak Shodik suami bi Ijah. pasangan suami istri yang bekerja di vila tersebut.Zain menurunkan kaca spion mobilnya dengan wajah lesu, membalas sapaan pak Shodik, "Iya selamat malam, Pak!"
Setelah melakukan penerbangan di atas udara selama kurang lebih enam jam, jet pribadi milik Yazid mendarat di bandara Tokyo Haneda sekitar pukul tujuh pagi waktu Tokyo.Seorang wanita yang masih terkulai lemas, baru saja diturunkan dari awak pesawat dan dipindahkan ke sebuah kursi roda. Yang didorong oleh Burhan. Sementara sang Co-pilot membantu membawa barang mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil, yang sudah disiapkan oleh Chairman Yazid.Tampak wajah tirus, lemah dan pasi, terduduk di atas kursi roda. Di saat yang bersamaan seorang pria muda berdarah Batak, juga baru saja turun dari pesawat dengan mengenakan pakaian non formal dan kaca mata bertengger di hidungnya. Pria tersebut tak lain adalah Hasnan Manik, keponakan dari Salim asisten Yazid ."Kenapa dengan wanita itu? Apa dia sakit? Apa dia datang ke mari untuk berobat?" Batin Hasnan menatap iba ke arah Kinanti yang sedang duduk di atas kursi roda.Burhan terus mendorong kursi ro
Lima Tahun Kemudian...."Brizam sayang, baik-baik di rumah sama Oma ya. Mommy berangkat kerja dulu, emmmuach."Ucap seorang wanita yang perlahan mulai bangkit dari kelamnya masa lalu, setelah akhirnya bisa melewati lika liku hidup selama lima tahun terakhir dan berhasil melanjutkan hidup bahagia bersama sang putra yang kini berusia lima tahun. Bernama Abrizam Yukimura. Sebuah perpaduan nama dari dua bahasa yaitu Arab dan Jepang."Iya, Mommy. Emmuach," sahut bocah kecil berusia lima tahun tersebut, tak mau kalah antusiasnya membalas mencium seorang wanita muda yang bernama Kinanti.Kinanti berlalu memasuki sebuah taksi yang beberapa menit barusan baru saja berhenti di depan apartemen nya. Seraya melambaikan tangan ke arah sang putra yang tengah berdiri di samping seorang wanita paruh baya yang beberapa bulan lalu baru bekerja mengasuh Abrizam, bocah itu sambil mendekap sebuah mainan robot-robotan membalas melambaikan tan
Malam-malam panjang nan sepi, kembali dilalui oleh CEO Zain Abraham seorang diri tanpa kehadiran Kinanti di sisinya. Pria penerus Mahardika Company ini kembali menghabiskan malam-malamnya dengan bermabuk-mabukan di sebuah klub malam satu berganti ke klub malam lainnya. Hingga ia merasa kelelahan dan menumpahkan tangisnya."Halo, kulkas kemarilah! Segera bawa majikan kamu pergi dari sini, sebelum para kupu malam itu menyantapnya!" Seru Lala dari balik benda pipih yang menempel di telinganya.Pria yang baru saja menerima telepon hampir tiap malam dari gadis yang sama, segera mematikan ponselnya dan bergegas meluncur ke klub malam tempat gadis itu bekerja, yaitu klub malam yang sama sewaktu Kinanti bekerja dulu."Kenapa sih La, kamu sok banget melindungi dia. Tidak membiarkan kami menggoda dan menghabiskan malam bersamanya?" Tanya salah seorang pelayan klub malam dengan ketus dan kesal."Jangan pernah bermimpi untuk bisa menggoda dan mengambil kesempatan bel
Sepulang kantor bersama Kinanti, Hasnan mampir ke sebuah toko mainan. Membeli hadiah untuk Brizam, sebuah mainan robot-robotan keluaran terbaru, beserta mobil remote control."Jangan terlalu sering memberi Brizam hadiah, aku tidak ingin dia nantinya tumbuh menjadi anak yang manja dan setiap permintaannya harus dituruti. Aku tidak mau itu," ujar Kinanti menegur Hasnan yang baru masuk ke mobil dengan dua buah kotak besar di tangannya."Aku tahu itu Kin, kamu tahu kan aku sangat menyayanginya. Jadi ijinkan aku memberinya kasih sayang yang tidak pernah dia dapat dari papanya."Jawaban Hasnan seketika membuat bibir Kinanti terkunci rapat, meski ia sudah mulai membuka hati untuk orang di sekitarnya, bukan berarti ia sudah mulai membuka hatinya untuk pria yang sudah bersabar membantunya melewati masa sulit selama lima tahun terakhir ini. Hati Kinanti masih tertutup rapat untuk satu nama yang hingga kini masih belum mampu untuk ia hapus atau lupakan."Mau sampai
Di atas tempat tidur, malam itu mata Kinanti enggan terpejam. Ucapan Hasnan tentang Zain Abraham terus terngiang dan mengusik tidurnya. Meski dari lubuk hati ada kemarahan yang tersimpan untuk keluarga Yazid, tetap saja tidak membuat wanita itu membenci sang kekasih. Ia tahu, bahwa semua rentetan kejadian yang dia alami adalah ulah perbuatan Chairman Yazid beserta sang istri. Karena nya rasa cinta yang ia miliki untuk CEO Zain Abraham, masih tersimpan rapi."Apa aku harus menelepon nya? Bagaimana jika yang menjawab ternyata istrinya?"Batin ibu satu anak itu terus berkecamuk, antara ingin tahu kabar Zain atau memilih bersembunyi dari Zain Abraham. Berkali-kali Kinanti menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas, masih tetap ragu. Hingga lamunannya tiba-tiba buyar, saat suara dering telepon berbunyi dari ponselnya. Bergegas ia meraih ponsel dan ternyata adalah sang adik yang menelepon."Halo Kak, apa kabar mu dan Brizam?" Tanya Irfan."Ha -halo,
"Lupakanlah semua dendam, amarah dan kebencianmu Nak. Kasihan Brizam dan juga Nak Zain, mereka adalah Ayah dan anak, sangat berdosa jika kamu menutupi dan merahasiakannya." Nasehat Bu Asri untuk Kinanti seusai melepas tangis masing-masing. "Tapi, Bu....! Ibu tahu sendiri bukan? Yang tidak menginginkan darah daging Tuan Zain bukan aku tapi mereka, dan lagi bagaimana jika saat aku kembali, Tuan Zain sudah menikah," sahut Kinanti masih sesenggukan. Mendengar penjelasan dari sang kakak, Irfan pun turut angkat bicara kembali, "Kak, bagaimana mungkin Kakak bisa punya pemikiran seperti itu. Jangankan menikah, setiap harinya hidup Tuan Zain menghukum dirinya sendiri dengan bermabuk-mabukan." Jeder...! Ibarat disambar kilat Kinanti saat itu. Ternyata cinta yang Zain miliki untuknya sungguh sangatlah besar, tangisan pun kembali pecah sejadinya. Semalaman seusai berbicara dengan Bu Asri dan Irfan, hati Kinanti kian gelisah. Di sisi lain ia masih sa