Share

Bab 19

Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.

“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.

Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.

Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.

Saat ilmu Bu Tong-pay mengajarkannya untuk menyalurkan tenaga ke kaki, ia mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki. Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan tenaga “Yin” ke dalamnya.

Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Namun entah kenapa, ilmu silat Bu Tong-pay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar, ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali tidak paham tentang ilmu silat.

Tetapi sebagian besar, juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Bu Tong-pay.

Ini terjadi dari hari ke hari, setiap kali ia berlatih ilmu silat. Saat merasa terengah-engah atau letih, cepat-cepat ia mengubah gerakan atau penyaluran tenaga ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja, ilmu Cio San sudah maju sangat-sangat pesat.

Suatu hari ketika sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. “Itu pasti Liang-lopek. Ah, akhirnya ia datang juga,” ujarnya sambil tersenyum.

“Hoy, Cio San…!” A Liang berteriak dari jauh. “Bagaimana kabarmu? Hahahahahaha…”

“Liang-lopek, apa kabar?” kata Cio San sambil memberi salam.

“Hey, buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Bu Tong-pay segala. Aku ‘kan bukan murid Bu Tong-pay”

“Haha, Liang-lopek memang bukan murid Bu Tong-pay. Tapi Liang-lopek adalah ‘tetua’ Bu Tong-pay.”

“Huah?! Gila kau. Jika didengar 4 Tianglo Bu Tong-pay, kau pasti dihajar mereka. Hahaha…”

Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena kedua orang ini memang sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka berdua sudah seperti kakek dan cucu.

Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua duduk menikmatinya sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.

“Eh, ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?” tanya A Liang.

“Sudah, Lopek. Sudah saya tamatkan.”

“Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku itu?”

“Bisa, Lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang Ayah pernah mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya?”

“Masa sih? Aku lupa... ahhahahhahaha…,” lanjutnya, “Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha..”

“Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang obat-obatan.” Sambil berkata begitu, Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.

“Coba kau ceritakan padaku tentang isinya,” pinta A Liang.

Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik. Buku itu memang selain berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.

“Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno Tionggoan?”

“Sebenarnya ini huruf gabungan Tionggoan dan huruf dari daerah barat. Jaman dulu, dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh seorang Nabi. Setelah Nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu ciptaan mereka itu,” jelas Cio San.

“Ah, kau seperti seorang guru saja. Haha…. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu, apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?”

“Bukan, Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara kaum barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai orang Tionggoan. Sehingga mereka pun menggabungkan aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka. Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini.”

“Darimana kau tahu?”

“Dari mendiang Ayah. Beliau yang bercerita kepada saya,” lanjutnya, “Kata Ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka berusaha mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Maka, untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu tersebut ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerti.”

“Benarkah katamu itu?” tanya A Liang.

“Itu kata Ayah,” jawab Cio San. “Dan sebenarnya Kakek dan Ayah sendiri adalah penganut agama dari barat itu,” lanjutnya.

“Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?”

“Sedikit-sedikit, saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.”

“Wah, hebat sekali kau ini.” A Liang berkata sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Lama mereka bercengkerama. A Liang menceritakan keadaan Bu Tong-pay selama beberapa hari ditinggal Cio San. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari di puncak gunung ini. Tak terasa waktu berlalu sehingga A Liang berkata, “Sudahlah, aku turun dulu yah. Kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah dirimu baik-baik,” kata A Liang.

“Baik, Lopek. Terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini.”

“Alah… Aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini.”

“Terima kasih banyak, Lopek. Saya baik-baik saja di sini. Kalau nanti Lopek ada waktu berkunjung lagi, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi.”

“Hahaha.., aku suka itu. Nah, aku pulang dulu. Kau baik-baik lah. Selamat tinggal.” Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.

“Selamat jalan, sampaikan salam buat para Suhu, serta para Suheng dan Sute.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status