Share

Bab 20

Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.

Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.

Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.

Selain berlatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang dulu. Di atas puncak Bu Tong-san, hampir semua bahan untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu ada. Kadang-kadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.

Ia berburu rusa dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk dimasak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang, malah ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak, kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu, Cio San hanya bisa tertawa-tawa sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.

Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadang-kadang, ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.

Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat tenaganya semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat berkhasiat.

Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain khim. Awalnya, Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin menurun dari ayahnya, yang memang mahir sekali.

Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan, “Nah, di bagian ini jangan terlalu keras, lembutkan sedikit.” Atau, “Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya.”

Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. “Aduh, susah sekali lagu ini, Lopek. Kita beristirahat sebentar,” keluh Cio San.

“Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau,” puji A Liang.

“Yang pintar itu gurunya. Mulai sekarang saya akan memanggil Lopek sebagai ‘Suhu’..”

“Hush..! Ngawur..! Murid Bu Tong-pay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya. Walaupun sudah lama mengabdi di Bu Tong-pay, aku ini cuma tukang masak, mana boleh dipanggil guru,” sahut A Liang.

“Tapi, bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain, sudah sepantasnya dipanggil ‘Suhu’?” kata Cio San sambil tersenyum.

“Halah.., tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu,” kata A Liang ketus.

“Baiklah, Lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap Lopek sebagai Suhu. Dan akan mengabdi layaknya murid terhadap Suhu, walaupun Lopek tidak mau dipanggil sebagai Suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa berbakti ini....” Dengan tulus Cio San berlutut dan bersoja.

Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya. “Hey, jangan terlalu banyak aturan seperti inilah. Terserahlah kau menganggapku apa. Tapi kuminta, jangan berlaku seperti ini jika ada orang lain. Hukuman Bu Tong-pay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini,” ia berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh murid-murid Bu Tong-pay lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya. Melainkan posisinya sebagai anggota ‘15 Naga Muda’ Bu Tong-pay lah yang membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas untuk menjadi anggota ‘15 Naga Muda’.

Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur-katanya sopan dan menyenangkan. Ironisnya, seringkali tutur-kata kita yang sopan bisa membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak suka.

A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini, menjadi sayang dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.

Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi. “Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim dan mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa,” kata A Liang.

“Baiklah, Lopek.”

A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi. Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.

Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orangtuanya. Air matanya pun meleleh.

Di atas gunung. Petikan khim dan nyanyian syahdu. Angin membelai. Daun-daun berguguran. Ranting pohon bergesekan. Suara-suara keheningan.

Entah tebing terjal ini memang sepi, atau hati yang sepi. Dua orang berhadap-hadapan. Namun masing-masing pikiran, kelana dalam kenangan.

Seorang tua, dan seorang anak belasan usia. Masing-masing meneteskan airmata, karena kenangan yang berbeda. Entah apa di pikiran mereka.

Saat nyanyian dan petikan berhenti, pohon dan angin pun serasa mati. Tak ada derak, tak ada gerak.

Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis tercurahkan, yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua bukannya saling silang senyuman, melainkan tersenyum pada masing-masing kenangan.

Jika kesepian datang melanda, di tengah dingin puncak tebing tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati, kecuali indahnya memori?

Cio San sedang mengenang ayah-bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah dan tiupan merdu seruling sang ayah. Teringat dia kepada belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang menghiburnya.

Entah A Liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya, jelas tak mungkin tanpa kenangan indah.

Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liang lah yang memecah kebisuan, “Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu.”

“Menangis karena terlalu jelek, Lopek?” Cio San bercanda namun air matanya masih tetap mengalir.

“Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama. Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim,” kata A Liang.

“Benarkah, Lopek? Wah, teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin, Lopek.”

“Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana menontonmu bermain. Hahaha…,” lanjutnya, “Ingat, jangan sebut dirimu ‘teecu’ kalau ada orang lain ya. Bahaya.” Mimik mukanya bersungguh-sungguh.

“Baik, Lopek.”

“Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi. Kita belajar lagu baru. Siap?”

“Siap, Lopek,” jawab Cio San sambil tersenyum.

“Baiklah, sampai jumpa.” A Liang pergi dengan riang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status