KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK Part : 37 Abimanyu menoleh. Saat berucap barusan, mimik wajah Liana terasa sangat datar. Tak sedikitpun terlihat wujud penyesalan di raut wajahnya. Dia itu seorang ibu atau bukan, sih? Kenapa tidak ada wujud keibuaan yang terpancar dari dirinya? “Tidak usah berpura-pura lagi, Liana. Aku bisa menilai, kamu itu seperti apa. Tidak ada raut kesedihan yang terpancar di raut wajahmu.” Abimanyu menggeleng tak habis pikir. “Dan, setelah melihat keadaan Echa seperti ini, kamu berpikir, aku akan mengizinkan Echa tinggal bersama kamu lagi? Oh, tidak. Jangan mimpi kamu!” “Itu sama saja kamu mau membunuh aku, dengan cara memisahkan aku dengan Echa. Kamu tidak bisa seperti itu, Mas.” Lagi-lagi Liana menolak untuk ke sekian kalinya. Terkadang dia sendiri bingung dengan perasaannya. Tidak mungkin sebagai seorang ibu, dia tidak mencintai putrinya. Namun, ada kalanya, dia merasa benci dengan Echa. Entah apa sebabnya. Hanya saja, setiap merasa kesal dan marah, Lia
Part : 38 “Masa sih? Itu mukanya merengut begitu,” goda Abimanyu, mencolek gemas dagu Kania. “Ih, apaan sih, pakai colek-colek segala.” Kania menepis dagunya. Abimanyu tersenyum geli melihat tingkah Kania yang memajukan bibirnya beberapa senti. Dia menjadi gemas melihat bibir plum yang masih terlihat manyun itu. "Apaan lihat-lihat?" Kania berpura-pura marah. Padahal, rasanya panas dingin ditatap sedalam itu oleh sang suami. Wajahnya saja terlihat memerah dan panas, menahankan gejolak di dada. "Hahaha ... Kamu itu kalau lagi marah, kelihatan semakin sangat menggemaskan, Sayang. Kalau bukan karena di keramaian, mungkin sudah aku lumat bibirmu itu," bisik Abimanyu nakal. Suara dan kumis tipis Abimanyu terasa menyapu ujung telinga Kania, membuat wanita manis berlesung dagu itu bergidik geli. "Hei, jangan macam-macam, Mas." Kania menyikut perut Abimanyu, sampai lelaki itu terlihat meringis. "Ini rumah sakit. Malu dilihat orang." "Biarin! Kita ini 'kan sudah halal," tukas Abi
Part 39"Ih, apaan, sih, Mas?" Kania mendorong pelan dada Abimanyu yang hendak mengecup bibirnya. Wajahnya tersipu malu-malu, tatkala lelaki bercambang tipis itu menatapnya lekat. "Kenapa memangnya? Kamu itu istriku, lho. Bahkan di sini ...." Abimanyu meraba lembut permukaan perut istrinya. "Ada janinku bersemayam. Jadi, kenapa harus malu?""Sudahlah, Mas. Cukup ganjennya. Sudah jam lima, nih. Keburu waktu subuhnya habis. Mana mulutnya bau jigong." Kania menjepit hidung dengan ibu jari dan telunjuknya sambil mengerucutkan bibir."Iya, deh. Aku mandi dulu, ya, Sayang. Ambilin handuk mas, dong."Kania mengangsurkan selembar handuk berwarna biru dongker ke arah Abimanyu. "Sekalian dicukur cambangnya, biar rapi. Aku mau lihat keadaan Eca dulu, ya."Sebuah kecupan hangat, mendarat di kening Kania, sebelum ia beranjak ke luar. Abimanyu memang selalu memberikan perlakuan manis kepada Kania. Lelaki itu sudah bersumpah, akan menjaga wanitanya sampai nanti ajal yang memisahkan. Abimanyu sadar
Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!"Astaghfirullah." Kania dan Abimanyu mengucap istighfar serentak."Terus, waktu Om Indra buka celana dalam Echa, Echa diapain lagi sama Om Indra." Abimanyu bertanya lagi penuh selidik. Hatinya diliputi rasa takut, mendengar aduan putri semata wayangnya.Echa tak menjawab. Ia menatap lurus ke langit-langit kamar. Lantas menggelengkan keras kepalanya. Gadis kecil itu kembali berteriak histeris."Nggak ... Nggak, Papa. Echa benci Om Indra. Om Indra jahat."Abimanyu panik melihat putri semata wayangnya yang mendadak kejang-kejang. Matanya membulat, menatap plafon kamar inapnya."Ya, Allah, Echa, Echa, kamu kenapa, sih, Nak? Jangan buat papa takut, Nak." Wajah Abimanyu terlihat sangat pucat dan panik. Tak sadar, Abimanyu sampai menggoyang-goyangkan tubuh putrinya sangking paniknya. Terang saja, sang putri semakin berteriak karena rasa sakit di tangannya yang patah."Mas, kamu apa-apaan." Refleks Kania menarik tangan Abimanyu, lantas mendorongnya hingga
Part 41Abimanyu kembali panik, melihat Kania menenteng tote bag-nya, berjalan ke luar. "Kania, Kania, jangan pergi. Aku mohon ...." Abimanyu menghalangi langkah Kania dengan berlutut di tengah pintu."Sudahlah, Mas. Aku benar-benar ingin sendiri. Aku capek." Suara Kania terdengar parau. Pundaknya terjatuh lemas. Perasaannya benar-benar kacau saat ini. "Ingin sendiri, tapi, gak harus pergi, 'kan, Sayang? Bagaimana dengan aku? Aku ... Aku gak bisa menghadapi semua ini sendiri." Tangan Abimanyu bertangkup di depan dadanya. Kania menatap langit-langit kamar seraya mendesah. Memutuskan sesuatu dalam keadaan marah, memang bukan keputusan yang tepat. Namun, Kania bukan serta merta ingin pergi. Ia hanya ingin sementara menenangkan diri. Ke mana? Entahlah, dia sendiri pun belum memiliki jawaban untuk itu. "Sayang ...." Abimanyu memegang ujung jari Kania. Namun, ditepis wanita berkulit coklat itu. "Maafkan aku. Tolong, jangan pergi. Silakan, kamu marah. Karena memang sudah merupakan kesal
Echa masih tidur. Mungkin pengaruh suntikan penenang yang diberikan perawat tadi, membuat Echa masih terlelap. Setidaknya, bocah perempuan itu tidak lagi berteriak histeris seperti tadi.Mata Abimanyu membelakak tertuju pada wanita yang duduk di samping brankar Echa. Dia, 'kan ...."Kania ...," pekik Abimanyu pelan. Matanya berbinar bahagia, melihat sang pujaan hati ternyata berada di samping putrinya yang terlelap. Ia mempercepat langkahnya, mendekati Kania yang duduk sambil mengusap-usap pelan tangan Echa yang diinfus. "Sayang ... Kamu di sini." Abimanyu memeluk Kania dari belakang. Diciuminya pipi, tengkuk dan kepalanya istrinya yang dibalut hijab. Aroma harum parfum lembut, menguar dari sana. Sepertinya Kania baru selesai melaksanakan salat. Sebab, parfum ini biasa dipakainya jika sedang salat saja. "Lepasin, Mas. Jangan begitu. Malu kalau dilihat orang." Kania berusaha melepaskan diri. "Gak, mas gak akan lepasin. Mas kangen. Mas hampir gila tadi, begitu melihat kamar kosong. M
Part 43"Tolong segera ke sini, Pak. Tadi ada kerusuhan antara istri anda dan seorang laki-laki yang katanya memaksa masuk ke ICU. Tapi, dilarang oleh istri anda. Akhirnya, berujung keributan. Istri anda pingsan. Dibawa ke UGD sekarang."Abimanyu semakin panik. "Oke, oke, saya segera ke sana.""Ada apa, Pak?" tanya Pak Suroto."Ada seorang laki-laki yang berbuat rusuh memaksa masuk ke ruangan ICU, tapi dilarang istri saya. Dan menurut pihak rumah sakit, istri saya dibawa ke UGD karena pingsan." Suara Abimanyu bergetar ketika menjelaskan. Lelaki itu mengkhawatirkan Eca--putrinya, tapi kekhawatirannya juga tak luput dari Kania yang saat ini tengah mengandung buah hatinya juga."Astaghfirullahaladzim, kalau begitu kita segera kembali ke atas saja," ujar Pak Suroto. "Bapak duluan ke atas saja. Masalah pembayaran, biar saya saja.""Tapi, Pak--""Tidak apa-apa, Pak. Istri anda lebih penting. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Abimanyu terlihat sejenak ragu. Sebab, ia sudah berniat
Season 2 "Selamat pagi, Suster," sapa lelaki berkaus biru dongker itu. Kedua perawat itu menoleh. "Selamat pagi, Pak.""Kenapa istri saya diinfus? Katanya istri saya baik-baik saja." Dahi Abimanyu berkerut cemas.Perawat wanita itu menoleh seraya tersenyum ke arahku. "Tidak ada apa-apa, Pak. Istri Bapak ini hanya kelelahan dan sedikit stress sepertinya." Perawat beralis tebal itu kembali memeriksa selang infus Kania. Abimanyu menghela napas lega, mendengar pernyataan perawat itu bahwa istrinya baik-baik saja. "Lalu bagaimana dengan kandungannya, Sus? Apakah kandungannya juga baik-baik saja?""Alhamdulillah janin di kandungan istri anda baik-baik saja. Calon anak yang kuat."Abimanyu semakin merasa lega. Ia memilih untuk berbalik dan duduk di sofa, membiarkan perawat itu menyelesaikan tugasnya. Tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan, jika perawat saja sudah berkata demikian. "Baiklah, pekerjaan saya sudah selesai. Saya permisi dulu. Kalau ada perlu sesuatu jangan sungkan-sungkan