Share

05. Cedric

“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”

Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.

Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.  

“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.

“Kau menerima perjodohan itu!”

Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya, kenapa tidak mengajak dirinya saat perjodohan itu.

Melihat Benedict yang acuh tak acuh menanggapi semua keluh kesahnya dan malah membaca koran, maka Cathy terpaksa mengalah, mendudukkan tubuhnya ke atas sofa yang empuk.

“Lihat, kakekku saja sudah tidak membaca koran lagi sejak adanya ponsel canggih.”

Cathy mencebik kesal saat Benedict mengabaikannya, perempuan itu bangkit dari duduknya dan berjalan menyusuri rak-rak buku milik Benedict, mencari bacaan yang bisa menghilangkan rasa bosannya sebelum makan siang pesanannya datang.

Sebenarnya koran yang dipegang Benedict adalah koran beberapa bulan yang lalu, sembarangan mengambil apa saja benda yang bisa membuat Cathy tidak bertanya apa-apa lagi.

Berhasil, Cathy tidak akan mengganggunya jika ia kelihatan sibuk.

Benedict menghembus napas saat pikirannya melayang kepada perempuan yang ia temui seminggu yang lalu, mereka belum bertemu lagi sejak percakapan di dapur panti asuhan di saat malam natal.

Meskipun Kendall sudah memberikan nomor ponsel beserta sosial media wanita itu tidak kunjung membuat Benedict menghubunginya terlebih dahulu.

Padahal Benedict sudah bertekad untuk mengajak bertemu kembali dan membicarakan masalah yang sama. Sebelum pernikahan mereka digelar beberapa bulan lagi.

“Jadi, kapan kalian akan bertunangan?” tanya Cathy tiba-tiba, membawa beberapa tumpukkan buku yang ia yakini tidak akan dibaca satu buku pun.

“Tidak tahu,” jawab Benedict dengan tenang.

“Mengapa kau menyetujuinya? Aku masih melihat keraguan di matamu, Ben.”

Dulu, saat masih remaja mereka saling berbagi rahasia, apa saja. Tapi, seiring waktu yang merengut masa remaja mereka, Benedict merasa jika ia tidak perlu mengatakan ini kepada Cathy. Lebih baik tidak usah.

“Kau tentu saja tidak akan menjawab, baiklah aku hanya akan mengatakan ini sebelum pergi.”

Alis Benedict bertaut, bingung mendengar kalimat terakhir sepupunya itu, “kau tidak makan dulu sebelum pergi?”

“Tidak, aku harus pergi ke bandara karena ada urusan mendadak ...”

Hening menyergap kedua manusia yang saling beradu tatap di ruang kerja Benedict yang serba hitam ini, menunggu kalimat yang akan diucapkan Cathy selanjutnya.

“... jangan kecewakan Mama, apa yang sudah disiapkan untukmu adalah yang terbaik, Ben, percaya aku.”

Cathy memeluk Benedict sebelum meninggalkan pria yang masih menggunakan jubah gelap itu, mengucapkan selamat tinggal dan memberitahu makanan apa yang akan disiapkan siang ini.

Sepupunya yang memilik rambut pirang nan indah itu berhenti di ambang pintu, “aku tunggu kabar dari hubunganmu dan Sharon selanjutnya, selamat makan, Ben.”

**

“Mari kita berbohong, cih, pria gila.”

Masih mengenakan celemek dan seragam toko kue tempat dirinya memenuhi kebutuhan hidup, Sharon mengunyah beberapa kue yang akan dibuang tapi masih layak dimakan itu dengan marah.

“Wajahmu seperti orang yang tidak berak dua minggu, dan sudah kubilang berkali-kali jangan memakan kue basi!”

Sharon mengabaikan teriakan marah Grace, tetap menyendoki potongan kue itu ke mulutnya sebelum akhirnya dirampas paksa oleh Grace dan membuangnya ke tempat sampah.

“Ya, ya, selalu membuang makanan. Itulah mengapa kita tidak pernah kaya.”

“Ada apa denganmu? Seharian ini kau kelihatan tidak bersemangat.” Grace membuka seragamnya cepat, malam ini ada kencan dengan pacarnya.

“Tidak ada masalah,” balas Sharon singkat. Ia kembali mengambil beberapa kue yang masih bagus ke dalam tas bawaannya, tentu saja kue pemberian Grace.

“Jangan berbohong. Kau selalu terlihat seperti manusia yang paling bahagia saat kembali dari panti asuhan, kau bisa meneleponku jika—“

“Aku dijodohkan,” seru Sharon cepat, tidak melihat ke arah Grace yang menganga sebesar-besarnya.

Tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Grace, Sharon berdiri setelah memasukkan alat-alat ke laci bawah dan melihat ekspresi Grace yang sudah ia perkirakan.

“Dijodohkan, lalu menikah, dan beranak-pinak. Kau tidak salah dengar.” Sharon membuka seragamnya yang serba putih, hari ini cuaca tidak dingin-dingin amat, ia berencana akan tidur lebih lambat sembari menikmati kue ini di apartemennya yang nyaman.

“Astaga! Ini berita bahagia!”

Sharon mendelik tidak suka, ia tahu jika Grace sudah meramal dirinya tidak akan menikah sebelum dijodohkan, ternyata itu semua benar. Lihatlah, ekspresi bahagia Grace yang mengekori ke manapun Sharon pergi, sampai toko sudah ditutup pun Grace masih mencecar dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut Sharon sangat tidak penting sama sekali.

“Kita akan berpisah di kelokan ini, Sharon. Katakan padaku apa dia tampan? Aku lupa menanyakan ini saat kau masih sibuk mengumpat pria itu.”

“Ya, sedikit,” jawab Sharon singkat, ia melihat jalanan dari jendela mobil yang dikendarai oleh Grace.

“Tampan, pengacara dan tidak homo. Wah, kau dapat berlian, tapi kenapa kau menghujatnya seperti itu? Padahal kalian baru bertemu?”

Pertanyaan terakhir Grace sukses membuat Sharon termenung, ia terdiam saat sadar bahwa dirinya sudah bercerita yang tidak perlu dan terlalu banyak menjelekkan pria yang bahkan tidak tahu nomor ponselnya itu.

Mobil yang ditumpangi Sharon menepi di dekat gedung orkestra yang sangat ramai di datangi orang-orang malam ini, Sharon yang sempat protes mengapa berhenti di sini pun mengalah saat Grace melajukan mobilnya, “aku sudah telat, sampai jumpa hari senin!”

Mobil bermerek Porsche itu menjauh dari pandangan Sharon, bergabung dengan mobil-mobil lainnya yang memadati jalanan.

“Sepertinya acaranya baru dimulai, ah aku tidak punya uang.”

Niat Sharon setelah sampai di rumah adalah bertemu dengan ranjangnya, menikmati potongan beberapa kue yang lezat ini, serta menonton film yang sempat tertunda karena dirinya mengurusi blog saja beberapa hari terakhir ini.

“Sharon!”

Langkah Sharon terhenti saat mendengar ada suara yang memanggil namanya, suara yang tidak asing di pendengarannya.

Sharon melihat ke belakang, ke arah keramaian orang-orang yang masih menunggu antrean untuk masuk ke dalam gedung yang akan mengadakan orkestra tersebut.

Merasa tidak melihat siapa pun, Sharon mengangkat bahunya, melanjutkan langkahnya ke arah gedung apartemennya beberapa langkah lagi.

Lengan Sharon tertarik ke belakang, seorang pria yang ternyata memanggilnya tadi berdiri dengan senyum manis di belakangnya.

Cedric, masih setia menahan lengannya.

“Aku menunggumu, Sharon.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status