Luke berjalan cepat saat merasa ia telah terlalu lama membiarkan Rena sendiri. Ia cukup cemas, tapi meyakinkan Jeffrey adalah hal yang harus ia lakukan. Ia menyayangi pria itu seperti seorang adik yang telah tumbuh bersamanya. Mereka adalah keluarga. Keluarga yang sebenarnya akan selalu saling melindungi. Jeffrey mencintai Riana, maka keselamatan Riana juga adalah tanggung jawabnya.
"Kamu meninggalkannya cukup lama." Suara terdengar saat Luke baru memasuki ruangan itu. Seorang itu, Wei Hongli.
"Aku memiliki beberapa urusan." Luke langsung melangkah ke daerah ruang periksa Hongli dan pria itu hanya mengikutinya.
Luke hanya diam saat menemukan Rena yang tidak lagi kesakitan. Calon istrinya itu tengah tertidur dengan wajah damai yang pucat. Tidak lagi ada raut kesakitan di sana. Tapi sisa dari tangisnya masih terlihat dengan jelas.
"Aku membiarkannya tidur setelah aku memeriksanya." Hongli sedikit tersenyum saat Luke menatap Rena dengan cukup l
"Ya, Jane. Maafkan aku, aku benar-benar tidak bisa." Luke berucap dengan suara yang penuh sesal, tapi wajahnya hanya tanpa raut. Dia ingin membatalkan janjinya dan menemani Rena"Ku pastikan untuk lain kali." Kemudian Luke menjauhkan benda persegi panjang dari telinganya.Luke menghela napas lelah. Ia telah membuat sebuah kebohongan hari ini. Luke mengusap wajah lalu berbalik untuk kembali menemani Rena sebelum ia melihat Ben dan Bella menghampirinya. Luke menyapa lebih dulu. Ia tengah berusaha terlihat baik meski tidak sepenuhnya."Kami datang untuk menjenguk Rena." Ben tersenyum."Menjenguknya? Rena tengah tidur." Luke rasa ini tidak memungkinkan untuk mereka menemui Rena. Rena harus beristirahat dan ia sangat tahu kalau Bella adalah seorang yang tidak bisa diminta untuk tidak bertingkah berlebihan. Rena mungkin akan terganggu."Baiklah. Kami akan datang lain waktu." Ben mengangguk-angguk kecil, tahu apa yang Luke maksud dan ia bern
Tidur yang lelap, Rena seakan membayar seluruh kelelahannya dengan kesempatan tidur nyenyak di ruang tempat ia dirawat. Luke menutup pintu dan berjalan sangat pelan, seakan di setiap langkahnya, dia dapat mengusik seseorang di sana. "Tidurmu sangat lelap, apa yang sedang kamu lihat?" Luke mengusap rambut Rena dengan sentuhan yang terlalu lembut. Rena sangat cantik, ia tampak damai dalam tidur. "Mungkinkah kamu melihat bayi kita? Dia masih bersamamu, maaf karena aku hampir menyakitinya." Luke mengecup lembut dahi Rena, menyampaikan jutaan rasa bersalah yang tidak mampu ia sampaikan. Namun sentuhan selembut kapas itu tetap mengusik Rena. Mata cokelatnya yang bersinar tampak terbuka dengan pelan dan itu membuat Luke merasa sedikit rasa sesal menghampirinya. Ia tidak bermaksud untuk membuat Rena bangun. Namun Rena rupanya bisa terbangun hanya karena sebuah sentuhan lembut. "L-Luke." Suara Rena yang serak terdengar terbata. Itu adalah satu-satunya sifat manusiawi yang ia miliki sejak ha
"Tempatnya begitu indah, Rena. Kamu harus ke sana sesekali, itu baik untuk dirimu. Apapun yang terjadi, cobalah untuk selalu bahagia karena bayimu membutuhkannya." Saat Luke masuk, suara Alexa menyambutnya. Ia tersenyum karena melihat seberapa besar usaha Alexa untuk menjadi dekat dengan Rena yang masih sedikit kaku."Membicarakan sesuatu?" Luke bersuara, menyadarkan kedua orang itu akan kehadirannya. Mereka terlihat hanya memasuki dunia mereka sendiri hingga tidak menyadarinya yang sudah bergerak sedari tadi di ruangan itu."Ya, tentang villamu. Rena harus mengunjunginya." Luke tersenyum saat mendengar sahutan Alexa. Perihal berlibur, Luke bahkan tidak sempat memikirkan hal itu."Ya, saran yang bagus." Luke menanggapi dengan suara yang terdengar ringan. Ia seperti benar-benar menganggap itu ide yang bagus."Kamu membawa sesuatu?" Alexa melihat sebuah bungkusan di tangan Luke hingga itu berhasil menarik sedikit perhatiannya."Ya, nutr
"Bos! Mereka telah menyerang hingga ke dalam!" Seorang pengawal berlari tergopoh menghampiri mobil yang berhenti dengan bunyi decitan yang nyaring. Pengawal itu memegang sebuah senjata, tampak tertekan dan berkeringat banyak. Luke menajamkan mata dan napasnya terdengar memburu, amarah mulai memenuhinya. Sebenarnya ada satu yang ia takutkan, Riana. Perempuan itu ada di rumah sejak pagi dan tidak pergi ke manapun. Jeffrey meninggalkannya sebentar, Luke khawatir Riana terluka karena ketidakadaan mereka tadi. Ia terlambat dan ia khawatir kalau Jeffrey juga datang sedikit terlambat meski Jeffrey datang lebih cepat daripada dirinya. Suara tembakan yang nyaring sedikit menyentak Luke, menyadarkannya dari pemikiran yang mulai kacau. Ia mendesis dengan marah. Hal sialan ini terjadi di saat yang sangat tidak tepat. "Dimana Jeffrey?" Luke bertanya dengan teriakan. Ia telah menembakkan satu peluru pada salah seorang musuh yang mencoba melompat ke arahnya.
Luke mengendarai mobil dengan kesulitan, terluka karena tertembak mulai membuatnya merasa kewalahan. Ia sedang mencoba untuk fokus di antara rasa sakit. Tapi sebenarnya ini bukan hanya tentang rasa sakit, juga karena darahnya yang tidak berhenti keluar. Peluru itu tidak begitu dalam, tapi melukai pembuluh darah dan jaringan otot di lengan atasnya. Ia merasa kepalanya berputar. Luke berkendara dengan kecepatan tinggi saat merasakan rasa sakit semakin menyengat. Ia harus segera tiba di rumah sakit untuk perawatan luka-lukanya. Ia tidak ingin sesuatu menjadi lebih memburuk lebih dari ini. Sebenarnya ia tidak boleh runtuh. "Sial!" Luke berteriak. Ia sering terluka sebelumnya, tapi luka ini terasa berbeda. Apa musuhnya melumuri sesuatu pada peluru itu? Hingga kepalanya terasa memberat dan pandangannya memburam? Sial! Luke sudah tahu kalau pria itu adalah orang gila, tapi ia tidak tahu kalau pria itu bisa segila ini. Napas Luke terdengar putus-putus dan ia tidak menyadari kalau ia menginj
Hari telah mulai gelap saat Bella menghampiri Rena yang berdiam di ruangannya dengan masih duduk di kursi roda. Ruangannya gelap dan hanya diguyuri cahaya dari jendela yang tidak ditutup. Rena yang malang, ia semakin pendiam saat mengetahui kabar mengenai calon suaminya. Ia tidak menangis tersedu, tapi semua orang tahu ia begitu terluka. Ia memiliki sebuah kehidupan di dalam tubuhnya. Ia memiliki seorang bayi yang tumbuh dan berkembang di rahimnya. Bayi itu hidup dan bernapas di pelukannya. Ia harus tetap bahagia, itu yang orang-orang katakan karena itu untuk bayinya. Tapi apa lagi yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan kebahagiaan hatinya saat ayah dari bayinya berjuang melawan maut? Ia khawatir dan lebih dari itu, ia terluka. Memikirkan jika kemungkinan terburuk yang terjadi, ia tidak sanggup. Anaknya akan tumbuh tanpa hangatnya kehadiran seorang ayah. Anaknya akan mengalami hal yang sama seperti yang ia rasakan. Rena bernapas dalam sesak, tanpa sengaja mengulang lagi ingatan te
Amora memeluk tubuh gemetar Rena, mengusap bagian belakang kepala yang dilesakkan di perutnya. Berusaha menghentikan tangis yang masih sama keras seperti sejak seperempat jam tadi. "Luke akan baik-baik saja." Hendry yang tadi hanya berdiam kini berbicara, mencoba menenangkan kekasih sahabatnya. "Tapi kamu sendiri lihat ia seperti itu. Ia tidak membuka matanya. Luke terluka." Rena menjawab dengan suara yang teredam. "Ia baik-baik saja. Ia akan bangun." Sekali lagi Hendry berbicara, nada suaranya terdengar lebih yakin. "Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu, Hendry? Kamu tahu ia memiliki kemungkinan besar untuk pergi. Dengan cara bicaramu, apakah kamu bisa menjamin keselamatannya?" Rena menarik tubuh dan menatap Hendry dengan tatapan yang asing. Ia menjadi keras kepala. Tapi sebenarnya ia masih Rena yang sama. Hanya saja ia tidak mempercayai apa yang harus dihadapinya. Ia hanya lelah saat derita dengan tidak tahu diri terus membelenggu. Sedangkan Hendry berbicara dengan mudah, s
Rena menatap Luke dengan tatapan kerinduan. Itu adalah sebuah kebohongan jika ia hanya takut, takut akan kepergian Luke. Karena kenyataannya ia juga rindu, merindukan segala hal yang sosok tinggi itu miliki. Ia rindu saat sosok itu membuka matanya dan menunjukan mata kelopak bunga yang indah. Ia rindu saat sosok itu memanggil namanya dengan suara memuja dalam setiap detik panas mereka. Ia rindu saat Luke menanyakan keadaannya dengan suara lembut lalu mengecup dengan manis. Terlebih ia rindu pelukan hangat yang biasa pria itu berikan saat tidur menjemput. Ia rindu segalanya, karena ia mencintainya."Aku tidak berpikir kamu akan di sini." Sebuah suara mengintrupsinya, menariknya dari dunianya. Jane melangkah masuk. Tapi hanya dari bagaimana caranya berjalan, Rena tahu ia memiliki pesona yang membuat banyak orang tertarik. Rena segera menunduk saat rasa ketidakpantasan mulai mengisinya."Kupikir kamu tidak akan menghalangiku untuk bertemu dengannya, kan