Alva berulang kali memutar bola matanya untuk mencari sosok gadis yang ingin ditemuinya. Dengan nafas terengah-engah dia memaksakan diri untuk segera bangkit dari rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat yang lalu, sesaat sebelum dia tumbang tak sadarkan diri seorang gadis memukulinya dengan keras. Dan dia tahu, saat ini gadis itu berada dalam bahaya.
“Biaaan!” teriaknya. Sudah tidak ada seorang pun yang berada di tempat itu. Ia ditinggal sendirian dikarenakan yang lain tahu, jika dia hanya akan menjadi pengganggu dari rencana mereka. Laki-laki itu segera memaksakan dirinya untuk mengikuti jejak yang tertinggal di tempat tersebut. Bekas sayatan pedang, serta kipas milik Bian yang mematahkan ranting pohon maupun jejak kaki yang tertinggal.
Dia berlari dan terus berlari. Jejak yang tertinggal benar-benar berbekas sehingga Alva tahu dia harus ke mana. Hingga tak lama kemudian, suara besi yang beradu terdengar sayup-sayup. Sebuah pertarungan sengit terjadi tak jauh dari tempat Alva berdiri. Seorang gadis melawan sekelompok orang yang memiliki pita disetiap lengan kanannya. Gadis itu sudah mulai babak belur. Lengannya sudah terluka, bahkan beberapa bagian pakaiannya sudah robek dan terlepas dari tempatnya. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran Alva.
Brakk!
Sebuah ranting pohon terjatuh saat kipas Bian berhasil dihindari oleh salah satu orang yang ikut mengeroyoknya.
“Cepatlah menyerah! Kami akan membuat kematianmu lebih mudah dan tidak menyakitkan,” ucap seorang pria yang paling tua di antara mereka.
Tak lama kemudian, kipas yang Bian lemparkan tadi kembali ke tangannya. Dia memandangi pria itu dengan dingin. Bian mengangkat lengan kirinya yang menggenggam kipas tadi, lalu melemparnya ke arah pria tersebut. Dengan sigap, pria itu mengayunkan pedangnya sehingga kedua besi itu beradu dengan kuat. Sedikit percikan api keluar di antara kipas dan pedang tersebut. Dengan sekuat tenaga, pria itu mendorong pedangnya sehingga membuat kipas itu berbelok.
Namun, bukanlah hal yang sulit bagi Bian untuk mengendalikan gerak Kipas yang sangat cepat dan berbahaya miliknya. Kipas itu kembali kepadanya tanpa menyebabkan luka sedikit pun di tangan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kipas yang terbuat dari besi, sangat tajam di bagian atasnya dan sangat berat. Ditambah lagi dengan kecepatannya yang bukan main-main saat bergerak yang bisa menyebabkan tubuh seorang terbelah menjadi dua. Tetapi di tangan gadis itu, kipas maut itu terlihat seperti kipas biasa yang bisa dia lemparkan sesuka hatinya. Hal itu juga menjadi pertanyaan bagi sekelompok orang yang sedang mengejarnya.
“Profesor, tunggu!” teriak Alva kepada pria tersebut. Sontak semua perhatian teralihkan kepadanya.
“Jangan mengganggu!”
Bian yang melihat kehadiran Alva di tempat itu menatapnya. Kedua mata mereka bertemu, tanpa berkata apa-apa mereka saling bisa merasakan perasaan masing-masing. Tiba-tiba Bian segera berlari meninggalkan tempat itu.
“Tunggu! Biarkan aku yang mengejarnya,” pinta Alva.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu mengejarnya sendirian? Setelah apa yang terjadi selama ini?” jawab pria itu. Semua anggota yang hendak mengejar Bian berdiam diri di tempat, dikarenakan tidak menerima perintah dari sang profesor.
“Percaya padaku Prof, aku akan menyelesaikan janjiku. Aku yang pertama menemukannya, maka aku yang akan mengakhirnya.”
“Terkadang aku berpikir, sebenarnya kau berada dipihak siapa Alva? Awal berjumpa aku sudah mengingatkanmu agar segera mengakhirinya. Sekarang sudah berbulan-bulan sejak pertemuan itu, kau masih belum menyelesaikannya. Itu bukanlah hal yang wajar. Lingkar Hijau saja hanya membutuhkan satu malam untuk menghancurkan satu kubu Lingkar Hitam. Di mana semua ajaran yang sudah kau terima?”
“Kumohon, biarkan aku menyelesaikan ini Prof. Sebelum dia pergi lebih jauh lagi,” pintanya. Dia tidak berani menatap mata pria yang sangat dihormatinya itu.
“Aku harap kau tidak mengecewakanku,” mendengar ucapan tersebut, Alva segera bergegas mengikuti arah kemana Bian melarikan diri.
Dia terus berlari menyusuri hutan. Jejak kaki yang tertinggallah yang memberinya petunjuk. Dia menghentikan langkah kakinya saat menjumpai sebuah jurang yang terbentang di hadapannya. Bukan jurang sesungguhnya, namun sebuah air terjun yang sangat curam. Jika terjatuh dari tempat itu, kemungkinan besar kau hanya akan menyisakan raga yang kosong. Atau jika kau beruntung kau akan terjatuh di sungai yang entah berapa dalamnya, mungkin juga kau akan terjatuh di tanah dengan tubuh yang bersimbah darah. Tidak ada yang tahu kau akan mati di mana.
Alva mendongakkan kepalanya ke sebuah pohon yang berada di tepi jurang tersebut. Gadis yang ingin ditemuinya sedang duduk di dahan pohon untuk membalut lukanya.
“Bisakah kau turun sebentar? Aku akan mengobati lukamu,” bujuknya. Seketika Alva sadar, itu bukanlah kata yang seharusnya dia lontarkan. Lagi-lagi Bian memandanginya dengan dingin.
“Sebaiknya kau pergi. Aku sedang tidak ingin membunuh siapa pun. Atau, kau ke sini datang untuk membunuhku?” tanya Bian. Alva tersentak kaget. Untuk sesaat dia membisu. Dia takut salah memberi jawaban dan hanya akan memperkeruh keadaan.
“Aku tidak tahu jika takdir kita akan berbenturan seperti ini. Seandainya saja saat itu aku tidak mengacuhkanmu,” lirih Alva.
Bian berdiri dan melompat turun. Mereka saling berhadapan. Sejenak, mereka saling tak bersuara. Mereka hanya berdiam diri dengan saling bertukar tatapan yang tidaklah menyenangkan. Alva yang memberikan tatapan penuh kebingungan, dan Bian yang mengeluarkan tatapan penuh emosi.
“Lebih baik kau selesaikan urusanmu denganku. Aku tahu kau membutuhkan kepalaku sebagai bukti kesetiaanmu dengan Lingkar Hijau dan sebagai syarat kau bisa terlepas dari organisasi itu. Kurasa ini kesempatanmu. Aku tahu, bukanlah hal yang sulit bagimu untuk membunuh seseorang sepertiku.”
“Bian, kumohon. Bantu aku keluar dari posisi ini. Aku ingin menunjukkan kesetiaanku kepada Lingkar Hijau, tetapi dilain sisi aku tidak mau mengambil resiko untuk kehilanganmu,” lirih Alva lagi.
“Tak bisakah kau mengatakannya dengan keras seperti biasa? Ini kesempatanmu bukan? Aku juga sudah tidak bertenaga untuk melawan.”
“Pergilah! Jalani kehidupan yang kau inginkan. Negara penuh kedamaian yang kuceritakan kepadamu bukanlah sebuah kebohongan. Tempat itu nyata. Kau bisa ke sana dan memulai kehidupan yang baru. Aku…a-aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak bisa meninggalkan Lingkar Hijau begitu saja, dan aku tidak bisa membunuhmu. Pergilah Bian, sebelum mereka ke sini. Aku akan mengatakan jika kau mati terjatuh ke dalam jurang ini. Pergilah!” Alva terus menundukkan kepalanya. Begitulah kebiasaannya saat dia merasa tertekan.
Dia dikejutkan saat Bian menyodorkan sebuah kipas dongker beserta sarungnya. Kipas itu sudah berlumuran darah milik Bian. Darah yang keluar akibat pertarungan sebelumnya.
“Ambillah. Aku harap kita tidak berjumpa lagi,” begitulah ucapan Bian saat menyerahkan kipas miliknya.
Mendengar ucapan itu, mata Alva berkaca-kaca. Namun seketika keadaan berubah saat sebuah pisau melayang dan hampir mengenai leher Bian. Jika Bian tidak melompat dan menghindar, maka dua pisau sudah menancap di tubuhnya pula. Mereka semua berkumpul di tempat itu. Alva semakin panik, dia sadar dengan keadaaan tersebut. Dia tidak bisa lagi memanipulasi cerita kematian Bian.
“Aku benar-benar tidak habis pikir dengan hasil kerjamu yang sekarang Alva. Kau adalah anak didik kebanggaanku. Aku sudah berharap lebih padamu. Kurasa memberimu sedikit kebebasan hanya akan merusak akalmu,” ucap profesor. Lagi-lagi Alva tertunduk membisu.
“Mari kita lihat yang satunya. Bukankah sebuah keajaiban kau masih bisa hidup sampai saat ini? Seharusnya saat itu kau ikut mati bersama teman-temanmu sehingga kalian bisa berada di kuburan yang sama. Tapi ya, tidak ada yang tahu soal kematian,” ucap profesor.
Seluruh anak buahnya sudah bersiap dengan dua pisau ditiap lengannya. Mereka sudah bersiap memasang kuda-kuda dan menyudutkan Bian hingga ke tepi jurang. Alva yang melihat hal itu mulai berkeringat dingin. Satu ucapan saja yang keluar dari mulutnya saat ini akan menentukan nasibnya di Lingkar Hijau. “Tu-tunggu! Bukankah sudah kubilang dia urusanku?” tanya Alva. “Setelah mempertimbangkan beberapa hal, sebaiknya kami saja yang menyelesaikannya. Cepat, habisi dia!” seluruh anak buahnya segera bergerak menyerang Bian. Alva mulai putus asa ketika sang profesor menahan lengannya agar dia tidak ikut campur. “Jangan berpikir untuk ikut campur pertempuran ini! Diam di sini!” gertaknya. Meskipun Bian masih sanggup untuk menghindar serangan fisik lawan, namun beberapa kali dia tidak sempat menghindari serangan senjata musuh. Pisau kecil yang dilempar dalam jumlah yang banyak ke arahnya, beberapa bisa ditangkis oleh kipas maroon miliknya. Beberapa lewat begitu sa
Pertemuan pertama yang terjadi enam bulan yang lalu. Disaat seorang gadis sedang melewati perkampungan seorang diri. Rambutnya hitam pendek bergelombang, dengan kulit kuning langsat dan tubuh yang tinggi. Poni panjang yang sama panjangnya dengan rambutnya disibakkannya ke samping agar tidak mengganggu penglihatan. Pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang akan disesali oleh laki-laki yang sedang berjalan di belakangnya sekarang. Ya, Alva sedang mengikutinya. “Hei, kau bahkan tidak penasaran siapa yang mengikutimu?” dia mulai bersuara namun dia tidak mendapatkan respon sama sekali. “Sombong sekali,” Alva mempercepat lagkahnya. Dia menghadang Bian dengan merentangkan kedua lengannya. “Kau mau ke mana? Apa aku boleh ikut?” lagi-lagi dia tidak menerima jawaban, justru gadis itu berjalan menghindarinya. “Namaku Alva. Aku dokter pengelana. Siapa namamu?” Alva mencoba menyeimbangi langkah kaki Bian yang lebar. “Kau baru saja melewati desa itu bukan?
Bayang-bayang sudah lebih panjang dari bentuk aslinya. Matahari sudah bersiap untuk kembali kepengaduan yang ditandai dengan rona orange menghiasi angkasa sore yang menyejukkan mata. Warna hijau hutan yang semakin menggelap dibalik bayang memerintahkan seluruh makhluk untuk bersiap menghadapi dinginnya malam. Begitu juga dengan Alva dan Bian yang menyadari hari semakin malam. Bian tampak mencari potongan-potongan kayu yang hendak ia gunakan sebagai bahan bakar api unggun. Alva yang sadar dengan aktivitas gadis itu ikut membantu tanpa dipinta. “Jadi, kita akan berkemah di mana?" “Urus saja urusanmu. Jangan ikuti aku!” “Sepertinya di bawah pohon itu bagus juga. Di sana juga cukup luas untuk membuat api unggun,” tanpa rasa bersalah Alva tetap melanjutkan pencarian kayu bakarnya. Kebetulan Bian juga memiliki ide yang sama untuk bermalam. Dia meletakkan kayu bakar di tempat tersebut dan mulai menyalakan api unggun. “Aku masih ada roti untuk dimakan malam i
“Hei, kita mau ke mana?” tanya Alva. Meskipun Bian tidak mengindahkan keberadaannya, laki-laki itu tetap bersikeras mengikuti Bian. Mereka berjalan sepanjang hari menelusuri hutan yang mulai menggugurkan daunnya akibat kemarau yang mulai melanda. Hingga beberapa meter kedepannya, terlihat beberapa bagian yang sudah gundul ditebangi manusia. Mereka menyeberangi sungai yang mulai kehilangan sebagian airnya, hingga hidung mulai mencium bau tengik asap dari udara yang tak lagi segar. Alva dan Bian terus berjalan menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang masih menemani perjalanan sedari tadi.Bau asap semakin menguat ketika sepasang manusia itu tiba di lokasi yang menghasilkan aroma tersebut. Hutan di depan mereka juga sudah habis dilalap api. Terlihat beberapa warga masih berusaha untuk memadamkan api di wilayah yang masih mengeluarkan asap dengan air seadanya. Para warga pun sudah tampak kelelahan, tampak keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Bahkan beberapa wa
Para warga lain yang melihat mereka berhasil keluar dari kobaran api segera mendekat untuk memerika keadaan mereka. “Segera bawa mereka ke desa...juga sapi-sapinya, lalu siapkan air dan kain yang bersih. Aku akan mengobati mereka,” pesan Alva. Masyarakat yang mendekat langsung melaksanakan perintah Alva tanpa bertanya lagi. Alva kembali menoleh ke tempat yang dilaluinya tadi. Jalan tersebut perlahan tertutupi oleh reruntuhan pohon. “Lokasi yang tadinya menghitam sudah mereda. Kenapa cepat sekali? Kupikir api itu sudah menjalar ke sini,” pikirnya. Ia menoleh ke tepian hutan. Banyak dahan yang panjang sudah terpotong, dan juga ia menemukan sosok Bian di sana. “Oh, jadi begitu. Selama aku mencari warga, dia berusaha memutuskan penyebaran api ini. Apa dia juga yang mengarahkan kipas ini agar melindungiku? Hmmm...menarik.” “Mas. Air dan kain bersihnya sudah dipersiapkan di desa,” seorang pria mendekatinya. “Oh, baik terima kasih. Saya akan ke
Sekelompok orang tiba-tiba mengelilingi mereka. Tiga orang wanita dan dua orang pria. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan senjata dan kuda-kuda untuk menyerang. “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Cepat, tangkap dia!” titah seorang wanita yang terlihat paling muda diantara mereka. Dibanding yang lainnya, dia sendirilah yang memakai pakaian paling mewah. Sebuah gaun biru tua berpadu biru muda dengan kilatan disetiap sisinya tampak lebih indah ketika ia kenakan. Ditambah lagi dengan parasnya yang indah membuatnya terlihat seperti boneka hidup yang menghipnotis orang lain dengan kecantikannya. Siapapun yang melihatnya akan tahu jika dia bukanlah orang biasa. Mendengar perintah dari gadis itu, kelima anak buahnya segera menyerang mereka berdua. Alva yang dari tadi sudah bersiaga ikut terbawa pertarungan yang tidak ia ketahui alasannya. Pedang kecil ia kenakan untuk menahan serangan senjata lawan yang beragam. Beberapa kali ia melempar pisaunya untuk membuat lawan
“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda. Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar. “Lingkar Hijau?” pikir Bian. “Intinya, pertarunga
Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.“Ha..ha.. baru perta