Share

Chapter 7 Kenapa Henry Memiliki Pakaian Wanita?

"Tidak. Aku tidak mau. Kenapa kita tidak memulai dengan memanggil nama masing-masing," ucap Regina dengan tegas memberikan penolakan pada permintaan yang tidak dia inginkan.

Henry menatapnya tajam. "Kita adalah pasangan yang saling mencintai. Jika tidak menunjuk dengan panggilan biasa saja siapa yang akan percaya. Regina, ini tidak seperti kau tidak pernah pacaran dan memberikan panggilan kesayangan, kan?"

Regina memegang tengkuknya, membuat Henry memberikan kesimpulan yang mengejeknya, "Serius, kau benar-benar tidak pernah pacaran? Apa tidak ada yang memanggilmu 'sayang' kalau begitu, apa aku akan menjadi orang pertama?"

"Berhenti mengolok-olokku. Aku tidak sepertimu yang dengan mudah memanggil dengan panggilan memalukan itu. Kau selama ini menyebar panggilan sayang untuk setiap gadis yang berkencan untuk tidur denganmu. Aku tidak ingin kau menyamakanku dengan mereka!" Regina menatapnya dengan marah. Dia bangun dari sofa, ingin segera mengakhiri semua ini. "Kita sudah selesai bukan? Aku akan pergi. "

Henry langsung memeluknya dari belakang. Tubuh Regina menjadi kaku mendapatkan kontak fisik tiba-tiba ini. Pria itu kembali berbisik, kali ini lebih rendah membuat telinga sensitifnya merasa geli. "Kalau begitu panggil aku 'suami'. Kau akan menjadi yang pertama melakukannya."

Suara Henry begitu lembut dan menggoda seperti sihir pemicu magnet yang menarik kaum hawa. Regina melepaskan tangan pria itu dan berbalik ke arahnya. "Tuan Henry, kenapa kau ingin aku memanggilmu begitu. Jangan katakan padaku, bahwa kau diam-diam mendambakanku?"

Henry tersenyum pahit. "Tidak mungkin. Aku melakukan ini hanya untuk membuat kita lebih natural. Istriku memiliki kemampuan akting yang buruk, aku harus melatihnya."

"Kau bisa mengatakan panggilan itu dengan begitu alami, suamiku." Regina menekan kata terakhir dan tersenyum dengan paksa.

Regina dengan terburu-buru pergi tanpa peduli dengan sudut mulut Henry yang saat ini di tarik ke samping.

Henry mengejar Regina. "Kau pergi begitu saja? Apa kau tahu di mana kau akan tidur?"

"Aku bisa tanya pelayan," ucap Regina dengan acuh tak acuh.

Tangan Henry merangkul pinggang Regina. "Kita tidur di kamar yang sama. Aku akan mengantarkan istriku."

Regina meraih tangan Henry, menepis pelukan yang membuatnya tidak nyaman. "Aku tahu kau sering menyentuh wanita secara sembarangan, tapi jangan lakukan padaku."

"Kau pikir aku mau melakukannya? Lihat, ada pelayan yang diam-diam mengintip. Lakukan sandiwara dengan benar," ucap Henry dengan suara pelan. Dia mempererat rangkulannya. "Pinggangmu terlalu kecil dengan tubuh setipis kertas, bagaimana aku bisa nyaman memelukmu di tempat tidur?."

"Cari saja wanita lain untuk kau peluk." Regina mengucapkan dengan bisikan. Wajahnya tersenyum menyembunyikan kekesalannya. Ini baru hari pertama, tapi Henry sudah terlalu banyak menghinanya. Dia tidak bisa membayangkan untuk tinggal dengan pria ini selama 5 tahun.

Regina berjalan lebih cepat dan menyingkirkan tangan pria ini dari tubuhnya. Mereka akhirnya tiba di kamar lantai 2.

Ruangan ini cukup luas dengan dekorasi yang dominan warna cokelat keemasan dan putih. Regina mengingat sesuatu.

"Aku lupa membawa koperku. Pinjamkan aku mobilmu, aku akan tidur di kantor malam ini."

"Ini malam pertama kita, kau akan meninggalkanku suamimu? Jangan khawatir tentang pakaian. "

Henry membuka lemari di sisi kiri. "Jika itu piyama untuk tidur, aku memiliki yang pas untukmu."

Henry mengambil salah satu piyama lalu memberikannya Regina. Tatapan mata Regina menunjukkan kecurigaan. "Apa tidak masalah aku menggunakan milik kekasihmu?"

"Aku tidak pernah membawa wanita seperti itu ke rumah," elak Henry dengan cepat. "Jika kau tidak mau yasudah, tetapi aku tidak mengizinkanmu untuk keluar."

Regina dengan terpaksa menerimanya. "Lalu milik siapa ini? Kau tidak mungkin punya kebiasaan berpakaian seperti wanita, kan?"

"Jangan banyak tanya. Cepat ganti pakaian lalu tidur. Aku orang yang sibuk, waktuku terlalu berharga untuk bergadang karena menjawabmu."

Henry mendorong tubuh Regina untuk masuk ke kamar mandi. "Tidak perlu mendorongku, aku bisa sendiri."

Regina melangkah masuk dan mengunci pintu.

***

Regina keluar dengan menggunakan piyama berwarna lembut yang sangat pas dengan tubuhnya, celana yang pendek memamerkan kaki jenjangnya yang putih, rambutnya di biarkan terurai begitu saja. Dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur.

Di sana, Henry sudah terbaring dan menutup matanya. Regina menggoncangkan tubuh Henry. "Hei, apa kau akan tidur dengan kemeja seperti itu?'

"Apa kau ingin aku membukanya? Apa tidak masalah jika aku tidur tanpa pakaian?" Pria itu menanggapinya tanpa membuka matanya.

Regina mengabaikannya dan mengambil bantal. "Kau bisa lakukan apapun, aku akan tidur di sofa."

Henry mengangkap tangan lentik Regina. Dia membuka matanya dan melihat penampilan Regina saat ini lalu menarik tubuhnya dan membuat Regina terjatuh di atasnya.

"Henry, apa yang ingin kau lakukan? Jangan macam-macam denganku, " ucap Regina dengan panik.

Henry tersenyum. Dia mendorong tubuh Regina membuatnya tidur di kasur. "Kau tidak perlu pindah. Aku tidak akan melakukan sesuatu padamu."

Henry melepaskan tangannya. Pria tampan itu mematikan lampu dan tidur dengan posisi membelakangi Regina.

Regina masih resah. "Apa kau benar-benar tidak akan melakukan sesuatu?"

"Ya. Jika kau tidak segera tidur, aku akan melakukan sesuatu yang kau takuti."

Regina langsung diam dan mulai tertidur dengan nyenyak. Henry membalikkan tubuhnya, menatap Regina begitu dalam.

***

Keesokan harinya,

Regina baru saja bangun. Dia sudah mendapatkan tatapan tajam dari Henry. "Pantas saja perusahaan Grace tidak terlalu baik, pemimpinnya pemalas."

"Henry, ini masih pagi dan kau sudah membuat sarkasme pagi ini?" ucap Regina sambil tersenyum sinis. "

"Cepat bangun, kita akan pergi ke biro urusan sipil untuk mendaftarkan pernikahan."

Mata Regina yang mengantuk langsung terbuka lebar. "Kau benar-benar akan membuat pernikahan kita tercatat? Kita bahkan menikah hanya sementara."

"Bukankah itu tertera di perjanjian? Jangan berpura-pura kau melupakan perjanjian kita!"

"Tidak. Aku hanya memikirkan kenapa kita tidak membuat surat nikah palsu saja? Kau setidaknya punya koneksi orang dalam, kan?" ucap Regina.

Henry mengerutkan keningnya. "Aku tidak percaya kau akan memiliki ide gila itu."

"Tapi bukankah ide gila ini sebenarnya cukup baik dalam situasi kita."

Henry menghela nafas. "Aku membayar tanah yang begitu mahal hanya untuk mendapatkan surat nikah palsu. Regina, tidakkah itu curang? Bagaimana jika aku menukar surat resmi tanah yang aku berikan pada keluargamu lalu mereka akan di penjara jika itu terbongkar. Bagaimana dengan hal itu?"

Regina terdiam. Meskipun dia membenci perlakuan keluarga padanya, dia masih tidak ingin mereka mengalami hal buruk.

"Cepat bersiap!" Henry Melemparkan pakaian pada Regina. "Pakai itu, aku akan menunggumu di luar."

Setelah Henry pergi, Regina memandangi dress yang diberikan padanya. "Dari mana sebenarnya pakaian-pakaian wanita ini?"

***

Regina baru saja selesai bersiap dan hendak duduk di meja makan, tetepi Henry langsung menariknya. "Ayo kita pergi sekarang!"

"Papa, kenapa kau tidak membiarkan mama makan dulu?" ucap Kevin yang mengejar mereka dengan ekspresi khawatir saat menatap Regina yang diseret oleh Henry.

"Tidak ada waktu." Henry mendorong tubuh Regina masuk ke dalam mobil. Lalu melanjutkannya dengan cepat.

Kevin tetep diam di luar. "Papa benar-benar tidak berubah."

***

"Henry, kenapa kau begitu terburu-buru? Ini bahkan masih terlalu awal?" protes Regina

"Aku sudah bilang padamu bahwa aku orang yang sibuk, kan? Lebih awal lebih cepat selesai."

Regina terlalu malas untuk melanjutkan perdebatan. Dia hanya diam sepanjang jalan. Saat mereka sampai di depan biro urusan sipil, Regina di kejutkan dengan apa yang dia lihat.

"Hei, Henry, apa kau tahu mereka akan datang?" tanya Regina.

"Regina, saatnya kita berdua menghadapi mereka!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status