Share

Salah Lagi

"Apa?"

Bara berteriak menanggapi jawaban Shamita. Tenggorokannya terasa panas karena ia sangat alergi udang. Sedikit saja terlambat minum, entah apa yang akan terjadi.

"Kenapa Bang? Kenapa Abang marah?" Shamita nampak ketakutan. Untuk kali ini ia tidak tau letak salahnya apa.

"Kamu hampir saja membunuhku!"

Ucapan Bara membuat Shamita tekejut, ia bahkan tidak tau letak salahnya di mana, tapi suaminya dengan mudah mengatakan jika ia hendak membunuhnya. Sungguh tuduhan paling keji yang pernah Shamita terima dalam hidupnya.

"Maksud Abang apa? Bagaimana mungkin aku berniat membunuh suamiku sendiri?" Shamita tak kuasa menahan tangisnya.

"Aku alergi udang! Kenapa hal seperti itu saja kamu tidak tau!" Jawaban Bara semakin membuat Shamita shock, jelas ini sebuah kesalahan. Seharusnya memang ia bertanya dulu hal apa saja yang tidak disukai suaminya. Namun ia telah teledor, untung saja Bara masih bisa terselamatkan.

"Maafkan aku, Bang. Sungguh aku tidak tau jika Abang alergi udang." Ucapan maaf Shamita sama sekali tak didengar oleh Bara, pria itu justru pergi meninggalkan istrinya yang masih menangis.

Bara memilih kembali ke kamarnya, mencoba menghilangkan rasa sakit yang masih tersisa dengan beristirahat.

"Dasar istri menyusahkan!" Bara bergumam memaki istrinya.

"Bang, tolong buka Bang!" Suara istrinya kembali terdengar dari balik pintu.

"Ada apa? Apa belum cukup kamu sudah membuatku hampir mati?" Dengan terpaksa Bara membuka pintu.

"Bang, kamu baik-baik saja kan, Bang? Tolong maafkan aku. Aku benar-benar tidak tau." Ucapan maaf itu terus saja keluar dari mulut Shamita. Ia memang selalu begitu, ketika bersalah ia tak akan pernah tenang jika belum mendapatkan maaf dari orang yang sudah ia sakiti.

"Udahlah, kamu terlalu berisik! Aku mau tidur lagi, jadi tolong jangan ganggu!" Bara kembali masuk dengan sedikit membanting pintu. Sepertinya alerginya masih bisa tertolong dengan banyak minum air putih. Terlihat dari ia tak lagi merasakan sakit.

Meski sedikit lega, karena tidak terjadi hal buruk dengan suaminya. Shamita tetap saja masih merasa bersalah.

Masakan spesial yang ia buat dengan ketulusan, nyatanya malah membuat masalah baru. Shamita menatap makanan yang ia masak dengan miris, masakan yang menurutnya lezat itu terpaksa tak termakan oleh suaminya.

Dengan langkah yang lesu, ia membereskan sisa makanan yang sama sekali belum tersentuh. Makanan sisa bekas suaminya, ia makan dengan gamang.

Di mangkuk kaca berisi nasi goreng itu mungkin masih cukup dimakan untuk 3 orang lagi. Pikirannya tertuju kepada neneknya yang menyukai udang. Namun karena usianya yang sudah senja, ia tak boleh lagi makan makanan laut. Shamita berpikir, akan diapakan nasi goreng yang masih tersisa ini.

Waktu masih sangat pagi, untuk orang-orang memulai pekerjaanya. Shamita akhirnya membungkus nasi goreng sisa itu dengan kertas nasi. Ia teringat teman-teman kerjanya di toko, dengan cepat ia bergegas menaiki motor matic milik Bara untuk menuju toko tempat dulu ia bekerja.

"Fitri, Dian, Dimas!" Teriak Shamita saat ia mendapati teman-temanya baru saja sampai di depan toko yang belum buka. Dengan cepat ia turun dari motornya.

"Shamita," ucap Fitri.

"Kalian apa kabar?" tanya Shamita.

"Kita baik ko, kamu tumben ke sini? Ehm … beda ya sekarang udah jadi nyonya Bara," ledek Dian.

"Aku sering ko kesini, cuma kadang kalian sibuk," kilah Shamita. Ia merasa sedikit tak nyaman dengan panggilan nyonya Bara.

"Ngomong-ngomong mau ngapain kamu ke sini, Ta?" tanya Dimas.

"Oh, ini aku bawa nasi goreng seafood buatan aku sendiri, rasanya dijamin enak. Kalian nggak ada yang alergi ikan laut kan?" Shamita menyodorkan kantong plastik berisi 3 bungkus nasi goreng kepada Dimas.

"Wah, kebtulan banget aku belum sarapan," ucap Dimas.

"Iya aku juga, sama," timpal Dian.

"Terima kasih ya, Ta," ucap Fitri.

"Iya sama-sama. Yaudah aku pulang dulu ya, kalian makan aja dulu."

"Buru-buru banget, Ta," sahut Dimas.

"Maaf ya, aku masih ada urusan."

Shamita sebenarnya sangat rindu berkumpul dengan teman-teman kerjanya itu. Namun ia takut jika terlalu lama di sini, teman-temanya akan memperhatikan matanya yang sedikit sembab karena terlalu banyak menangis.

Teman-teman Shamita memang sudah tau jika ia telah menikah dengan Bara, namun mereka sangat menghargai Shamita dengan tidak banyak bertanya kenapa ia bisa menikah dengan Bara.

"Yaudah deh, kita ngerti ko," balas Fitri. Fitri memang teman paling dewasa di antara mereka. Umurnya 3 tahun di atas Shamita, namun ia belum juga menemui pasangan hidupnya.

Setelah berpamitan dengan ketiga temannya, Shamita kembali memacu motornya dengan kecepatan sedang. Ilmu mengendarai motor ia dapatkan dari Irham, ternyata memang sangat berguna bisa mengendarai motor sendiri saat tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan.

Shamita kembali lagi ke rumah, dari luar nampak rumah ini tidak terlalu besar, namun tak juga kecil, sedang saja. Meskipun begitu, rumah ini jauh sekali perbedaanya dengan rumah Shamita yang ditempati dengan neneknya. Dalam hatinya ia merasa bersyukur, karena dengan dinikahi Bara, hidupnya sedikit terangkat.

Kakinya ia langkahkan dengan hati-hati. Takut sekali jika Bara sudah bangun. Wanita dengan lesung pipi itu, merasa lega karena Bara belum bangun. Ia coba masuk ke dalam kamar yang saat ini ditempati Bara. Ternyata pintunya tidak terkunci.

Bara tidur dengan pulasnya seolah tanpa beban, wajah tampan dan jambang tipis yang memenuhi wajahnya menambah gagah dirinya. Dalam hati Shamita selalu saja menyelipkan tanya, kenapa takdir bisa membawanya menikah dengan pria yang sama sekali tak ia cintai.

"Bang. Maafkan aku,"ucap Shamita dengan lirih tepat di samping Bara. Bulir bening itu kembali menetes saat ia menatap dengan lekat suaminya itu. Hampir saja keteledoran yang ia lakukan menghilangkan nyawa suaminya. Beruntung Allah masih menyelamatkannya.

"Shamita, sedang apa kamu di sini?" Bara terbangun, ia kaget mendapati istrinya sedang duduk di tepi ranjang.

"Abang, udah bangun? Bagaimana keadaanya Bang? Aku cemas memikirkan keadaan Abang." Shamita dengan cepat mengusap pipinya yang basah. Ia tak ingin terus-terusan dimarahi karena terlalu sering menangis.

"Sejak kapan kamu di sini?" Bara beringsut mengganti posisinya menjadi menyender kepada dipan.

"Baru saja, Bang. Maaf jika kehadiran aku mengganggu tidur Abang," jawab Shamita. Wajahnya terus saja menunduk.

"Apa kamu menangis lagi?" Dengan lekat Bara menngamati mata Shamita yang sedikit sembab.

"Tidak, Bang. Aku, cuma khawatir Abang kenapa-napa."

"Aku udah mendingan, lain kali bertanyalah jika mau memberikanku makanan."

"Alhamdulillah. Iya Bang, aku minta maaf. Yaudah aku keluar dulu."

"Apa hanya menangis caramu mengkhawatirkan seseorang?" Baru saja Shamita membalikkan tubuhnya, suara Bara terdengar lagi. Langkah Shamita terhenti untuk beberapa detik.

"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan asal Abang tulus memaafkan aku."

Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lovely Bintang
weh bersambung oeeee... lanjutkan thor.. minta apa pula si Bara.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status