Bu Sindi terlihat shock mendengar jawaban dari Shamita. Tak pernah terbayangkan jika menantunya itu menderita penyakit yang berat."Kamu bercanda kan, sayang?" Bu Sindi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Bu, tenang ya. Semua masih bisa diobati, Mas Bara hanya khawatir jika meninggalkan aku seorang diri di rumah," jawab Shamita."Bagaimana bisa tenang, itu penyakit berbahaya, Mita. Kenapa Ibu baru tahu? Katakan! Sejak kapan kamu sakit?"Bibir pucat Shamita tersenyum, betapa dirinya beruntung mendapati mertua yang begitu baik dan perhatian. Jauh sekali dengan bayangan mertua jahat yang sering ia baca di novel."Bu, aku tidak tahu tepatnya berapa lama. Hanya saja baru terdeteksi sebulan ini.""Astagfirullah Mita, terus gimana kata dokter?"Shamita diam. Hatinya bergejolak saat pertanyaan itu terucap dari mertuanya. Bukan tak mampu menjawab, hanya saja perkataan dokter mengenai dirinya akan sulit mendapatkan anak, menjadikan momok yang menyakitkan untuk ia ingat."Dokter bil
"Apa yang harus aku katakan jika aku serius dengan niatku?" Ucapan Irham membuat Jihan menghentikan akitifitasnya sementara. Jujur dalam hatinya ia senang mendapati Irham berbicara seserius itu. Tapi, tetap saja rasa percaya itu belum ada. Terlebih salama ini sikap Irham tak pernah menunjukkan gelagat jika ia mencintai Jihan."Mas, ada baiknya bicara hal seperti ini jangan di waktu jam kerja," sungut Jihan kesal."Oh baiklah, selepas kerja kita bicarakan ini lagi," ucap Irham tanpa beban.Entah kenapa sikap Irham jauh sekali berbeda dengan sikapnya dulu terhadap Shamita. Dia lebih cuek bahkan cara bicaranya lebih kasar dibanding dengan Shamita dulu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ternyata patah hati bisa merubah hal apapun termasuk sikap seseorang.***Bara merasa tak tenang saat dirinya bekerja, meski ia sudah menitipkan istrinya kepada ibunya, tetap saja rasa khawatir itu ada. Meninggalkan istri yang tengah sakit keras membuat ia tak nyaman dalam bekerja. Pikirannya tentu saja
"Hey, will you marry me?" Tiba-tiba saja Irham membungkukkan badannya.Tangan Jihan sontak menutup mulutnya. Ya, ia terkejut."Jihan, jadilah istriku dan menikahlah denganku." Ucapan Irham selanjutnya membuat riuh sorak pengunjung taman memberikan tepukan penyangga. Terdengar suara riuh itu meneriakkam agar Jihan mau menerima lamaran Irham."Mas," ucap Jihan lirih. Antara bahagia dan tidak percaya jika Irham bisa melakukan hal seromantis ini."Terima ! Terima !" Suara itu berasal dari orang-orsng yang menyaksikan momen indah dua sejoli itu. Sementara Irham masih dengan posisinya berjongkok menunggu jawaban dari Jihan sembari mengulurkan sebuah kotak cincin berisikan cincin sederhana.Wanita cantik itu tersenyum, lalu mengangguk yakin. Ia menerima lamaran Irham dengan keyakinan yang besar.Grep!"Terima kasih," ucap Irham sembari memeluk Jihan. Lagi-lagi Jihan terkejut. Irham yang dingin, bisa-bisanya tanpa malu memeluk Jihan dalam keramaian."Mas, banyak orang loh," ucap Jihan sedikit
Bagaimana rasanya menikah dengan laki-laki yang sudah diketahui keburukannya? Bahagia? Tentu saja tidak. Berharap bisa merubahnya? Jangan bermimpi. Seseorang bisa berubah karena diri mereka sendiri, bukan karena orang lain. Apalagi istri yang yang sama sekali tak pernah ia cintai sebelumnya.Dengan balutan kebaya putih dan juga hiasan siger Sunda di kepalanya, begitu juga make up tebal yang menghiasi wajahnya. Shamita yang biasa dipanggil Mita itu harus menerima kenyataan pahit jika saat ini ia harus menikah dengan Bara. Seorang anak dari keluarga Atmaja yang juga adalah atasan di tempat ia bekerja."Sah!" Suara saksi mengatakan jika ucapan ijab kabul yang diucapkan Bara, terucap sempurna hanya dengan satu tarikan napas. Emas kawin sebesar 10 gram emas menjadi pelengkap untuk mengesahkan pernikahan itu. Ya, itu adalah pernikahan Bara dan Shamita yang sudah jauh-jauh hari di persiapkan oleh kedua orang tua Bara, terutama ibunya Bara, yang sangat menginginkan anak bungsunya itu menikah.
"Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih. Kaget itulah yang ia rasakan saat ini."Bara! Kamu ini apa-apaan, datang-datang nuduh istri yang nggak-nggak. Siapa yang membicarakan aib kamu? Lagipula Ibu ini Ibumu, Shamita berhak mengadu apapun jika kamu tidak memperlakukannya dengan baik." Ucapan Bu Sindi membuat Bara terdiam untuk beberapa detik."Terus saja Ibu membela menantu kesayangan Ibu itu. Ibu perlu tau, aku juga suaminya. Baik buruk dia ada di tanganku. Jadi, ibu tidak berhak ikut campur dengan pernikahan aku." Bara yang keras kepala tak pernah mau mengalah."Ada apa Bu? Loh Shamita, Bara. Sejak kapan di sini?" Pak Indra yang baru menyadari ada keributan, membuat ia harus keluar dari ruangan kerjanya."Assalamu'alaikum Pak," sapa Shamita dengan ramah. Tak lupa ia mencium tangan mertua laki-lakinya itu."Wa'alaikum salam, kalian mau apa ke sini? Bukannya harusnya kalian bulan madu dulu," ucap Pak indra sembari terkekeh."Aku kesini—""Hanya berkunjung, Pak. Iya, kami bosan di rumah
Istri mana yang mau menerima nafkah yang tidak halal dari suaminya? Tidak ada yang bisa menggambarkan kesedihan Shamita saat ini. Harusnya ia sadar, suaminya itu memang penjudi, pemabuk bahkan mungkin tak jarang ia bergumul dengan wanita-wanita bukan muhrim di luaran sana.Shamita, tidur dalam kondisi habis menangis. Ia tak tahan akan kelakuan suaminya. Haruskah ia bertahan dengan pernikahan yang tidak sehat? Pernikahan ini baru seminggu, tapi rasanya begitu lama ia rasakan. Rasanya ingin menyerah, tapi kembali lagi seorang istri hanya mampu tetap berbakti bagaimanapun sikap suami.Bara memasuki kamar yang kini sudah ada Shamita tertidur. Ia hendak mengganti pakaian. Ditatapnya wanita yang telah sah menjadi istrinya itu. Dalam hati terdalamnya sedikit ada rasa iba, kenapa wanita itu harus menanggung beban untuk menikah dengan dirinya. Seketika ia mengingat perlakuan ayahnya yang selalu saja memaksakan kehendak terhadap anak-anaknya. Termasuk untuk menikah.***Shamita terkejut, saat b
Bara hanya menatap datar temannya yang bernama Agus itu. Menceritakan masalah keluarga bukanlah kebiasaanya. Meski Agus teman yang bisa dipercaya, namun saat ini ia tidak bisa bercerita mengenai istrinya."Sepetinya memang takdir itu tidak bisa dicegah, Gus." Bara akhirnya menjawab."Kenapa sih? Emang kenapa sama istri lu?" Agus semakin penasaran."Istri gue terlalu Solehah untuk gue yang bajingan," ucap Bara dengan lirih. Lagi, Agus tertawa terbahak."Bentar, bentar. Jadi, lu nikah sama ustadzah?" Agus terus saja meledek Bara."Nggak ustadzah juga, pokonya gitu deh, istri gue tuh apa-apa bawa dalil.""Pantes, lu kusut banget. Eh tapi, harusnya lu bersyukur dong, bisa dapet mutiara gitu. Cewek-cewek begitu kan inceran para akhi," ucap Agus."Gue bukan akhi, gue Bara nggak pake batu!" jawab Bara kesal.Berbicara dengan Agus, membuat Bara semakin pusing karena terus saja mendapat ledekan darinya. Minuman yang masih tersegel yang berada di sampingnya tak sempat ia buka. Dengan cepat ia k
"Apa?"Bara berteriak menanggapi jawaban Shamita. Tenggorokannya terasa panas karena ia sangat alergi udang. Sedikit saja terlambat minum, entah apa yang akan terjadi."Kenapa Bang? Kenapa Abang marah?" Shamita nampak ketakutan. Untuk kali ini ia tidak tau letak salahnya apa."Kamu hampir saja membunuhku!"Ucapan Bara membuat Shamita tekejut, ia bahkan tidak tau letak salahnya di mana, tapi suaminya dengan mudah mengatakan jika ia hendak membunuhnya. Sungguh tuduhan paling keji yang pernah Shamita terima dalam hidupnya."Maksud Abang apa? Bagaimana mungkin aku berniat membunuh suamiku sendiri?" Shamita tak kuasa menahan tangisnya."Aku alergi udang! Kenapa hal seperti itu saja kamu tidak tau!" Jawaban Bara semakin membuat Shamita shock, jelas ini sebuah kesalahan. Seharusnya memang ia bertanya dulu hal apa saja yang tidak disukai suaminya. Namun ia telah teledor, untung saja Bara masih bisa terselamatkan."Maafkan aku, Bang. Sungguh aku tidak tau jika Abang alergi udang." Ucapan maaf