Share

Ku Izinkan Suamiku Menikah Lagi
Ku Izinkan Suamiku Menikah Lagi
Penulis: Maryam Zalina

Terpaksa Menikah

Bagaimana rasanya menikah dengan laki-laki yang sudah diketahui keburukannya? Bahagia? Tentu saja tidak. Berharap bisa merubahnya? Jangan bermimpi. Seseorang bisa berubah karena diri mereka sendiri, bukan karena orang lain. Apalagi istri yang yang sama sekali tak pernah ia cintai sebelumnya.

Dengan balutan kebaya putih dan juga hiasan siger Sunda di kepalanya, begitu juga make up tebal yang menghiasi wajahnya. Shamita yang biasa dipanggil Mita itu harus menerima kenyataan pahit jika saat ini ia harus menikah dengan Bara. Seorang anak dari keluarga Atmaja yang juga adalah atasan di tempat ia bekerja.

"Sah!" Suara saksi mengatakan jika ucapan ijab kabul yang diucapkan Bara, terucap sempurna hanya dengan satu tarikan napas. Emas kawin sebesar 10 gram emas menjadi pelengkap untuk mengesahkan pernikahan itu. Ya, itu adalah pernikahan Bara dan Shamita yang sudah jauh-jauh hari di persiapkan oleh kedua orang tua Bara, terutama ibunya Bara, yang sangat menginginkan anak bungsunya itu menikah.

Bahagia? Tentu tidak. Shamita malah semakin menangis sejadinya, kala ia harus menyadari bahwa saat ini ia telah sah menjadi istri Bara.

"Berhenti menangis! Jika kamu tidak ingin membuat semuanya berantakan," bisik Bara kepada Shamita.

Pernikahan yang digelar di KUA itu, berlangsung hidmat meski harus diselingi tangis dari Shamita. Tak ada perayaan besar atau sejenisnya. Karena memang itulah kesepakatan yang diberikan Bara kepada orang tuanya.

Tak berselang lama, Bara membawa Shamita ke rumah yang sudah disiapkan oleh kedua orangtuanya sebagai kado pernikahan karena Bara sudah mau menuruti kemauan orang tuanya.

"Jangan berpikir jika aku menikahimu karena aku menyukaimu! Kamu bukan tipeku, jadi jangan bermimpi!" ucap Bara sesaat setelah sampai di rumah tujuan.

Ucapan yang penuh dengan penekanan itu membuat hati Shamita berdenyut nyeri.

"Tidak ada yang menginginkan pernikahan ini, Bang. Bahkan jika kamu bisa menolak, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi." Dengan terisak, Shamita membalas ucapan dari suaminya itu.

"Sudahlah! Semua ini sudah terjadi. Tolong jangan menyusahkan, dan jangan pernah berpikir kamu akan bisa merubahku!"

Tak ada jawaban dari gadis berusia 22 tahun itu, ia terus saja menunduk ketakutan saat Bara berbicara. Orang yang ada di hadapanya itu tak ubahnya monster yang kapan saja bisa menerkamnya.

Malam pertama yang seharusnya menjadi momen terindah dari sebuah pernikahan, nyatanya itu hanya mimpi bagi Shamita. Bara yang sama sekali tak menyentuhnya membuat Shamita merasa terhina. Meski ia tidak mencintai suaminya itu. Paling tidak ia diperlakukan selayaknya istri.

"Aku mau tidur di luar,"ucap Bara sembari membawa sebuah bantal.

"Bang, kita kan pengantin Baru. Tidak pantas rasanya jika harus tidur terpisah." Shamita mencoba mencegah.

"Lantas maumu apa? Bukankah kamu juga tak menginginkan aku? Sudahlah aku mau tidur!"

Tak ada jawaban, shamita hanya memandang datar punggung suaminya yang sudah menghilang dari balik pintu.

***

Seminggu pernikahan, Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Bara, justru ia semakin menunjukkan tabiat buruknya itu. Shamita yang terbiasa bangun pagi untuk menjalankan kewajibannya, harus melihat suaminya yang masih tidur dengan pulasnya di ruang tamu sembari menggenggam sebotol minuman keras. Ingin rasanya ia membangunkan suaminya itu untuk ikut solat bersama. Namun, ketakutan selalu saja menghentikan niatnya.

Shamita lebih memilih mengaji seusai solat subuh. Suara merdunya menggema memenuhi rumah yang cukup luas itu. Bara yang merasa terganggu mendengar lantunan Ayat Suci itu merasa geram. Dengan cepat pria yang memiliki tato tengkorak di leher belakangnya itu menghampiri istrinya.

"Apa kamu sengaja mengaji, agar aku terbangun?"

Shamita terkejut mendengar suara Bara sangat jelas memenuhi telinganya.

"Bang Bara, udah bangun? Ayok Bang, solat subuh dulu."

"Bukankah aku sudah menyuruhmu, untuk tidak mengaturku? Berhentilah mengajakku solat!"

"Astagfirullah Bang, solat itu kewajiban. Aku cuma mengingatkan, Bang."

"Kamu tidak perlu mengingatkanku dalam hal apapun, aku tau mana yang baik dan yang buruk. Jadi berhentilah menjadi tukang ceramah!" Bara pergi meninggalkan Shamita yang masih berdiri dengan mukenah yang ia pakai. Mengelus dadanya agar tidak begitu sakit menerima perlakuan Bara.

Matahari dengan gagahnya menunjukkan sinarnya yang menyengat, namun lagi-lagi Shamita harus mendapati pemandangan yang menyesakkan dari Bara. Suami Shamita itu sedari pagi hanya hanya sibuk bermain ponsel. Dengan sedikit keberanian yang ia miliki, Shamita mendekati suaminya.

"Bang, nggak cape maen handphone terus?" tanya Shamita berusaha melawan rasa takut kepada suaminya itu.

"Memangnya kenapa?" balasnya, tanpa mengalihkan pandanganya dari ponselnya.

"Abang, nggak mau nyari kerja? Atau bantuin Ibu dan Bapak di toko?"

Mendengar itu Bara yang semula acuh, kini menatap netra istrinya itu tajam.

"Kamu nyuruh aku kerja? Ngarep banget dinafkahi? Jangan mimpi!" Jawaban Bara tak ubahnya petir di siang bolong. Menusuk dan menghujam hati paling dalam.

"Astagfirullah Bang, itu udah kewajiban kamu. Sekalipun kamu tidak mengharapkan pernikahan ini. Bukan berarti kamu lepas tanggung jawab seperti itu!" Shamita yang semula bersuara lembut, terpaksa ia sedikit menaikan intonasi bicaranya.

"Tanggung jawab seperti apa yang kamu harapkan? Berhentilah ceramah! Aku muak!"

"Yaudah. Kalo Abang nggak mau kerja, biar aku aja yang kerja. Aku yakin Bu Sindi masih mau menerimaku bekerja di tokonya." Tak banyak bicara lagi. Shamita gegas pergi meninggalkan Bara yang masih bergeming di tempatnya.

Shamita kembali menangis di kamarnya, masih teringat jelas saat bagaimana ia menerima tawaran dari Bu Sindi untuk menjadi menantunya. Seharusnya pernikahan ini tidak pernah terjadi, namun karena sebuah janji yang sudah terucap, saat pertama kali Bu Sindi menawarkan perjodohan itu. Membuat ia tak bisa menolak keinginan wanita yang telah jadi mertuanya itu.

Bu Sindi teramat baik, ia sering membantu Shamita yang diterpa kesulitan hidup. Bagi Shamita, Bu Sindi sudah seperti malaikat penolong baginya. Namun kebaikan itu seolah tak lagi terlihat, saat ia meminta Shamita menjadi menantunya.

Dengan cepat Shamita mengusap air matanya yang sudah menganak sungai. Niatnya sudah bulat untuk kembali bekerja di tokonya Pak Indra. Meski entah akan diizinkan atau tidak. Yang terpenting dia sudah berusaha. Berdiam diri di rumah bukanlah kesehariannya, untuk ia yang pekerja keras.

***

"Mita, loh kok ke sini?" Bu Sindi menghampiri Shamita yang baru saja sampai di tokonya.

"Bara, mana?" lanjutnya.

"Bang Bara ada di rumah Bu. Aku ke sini mau kembali kerja, boleh kan Bu?" tanya Shamita.

"Kerja? Tentu saja tidak boleh dong sayang, kamu sekarang menantu Ibu. Tapi kalo mau ikut bantu-bantu ya nggak apa-apa. Tapi, jangan jadikan pekerjaan. Sekarang sudah ada Bara, biarkan dia berpikir bagaimana caranya agar bisa menafkahi kamu," ujar Bu Sindi. Ucapannya sangat menunjukkan sekali jika wanita paruh baya itu sangat menyayangi menantunya itu.

"Tapi, Bu. Jika aku dan Bang Bara tidak ada yang bekerja. Bagaimana caranya aku menyambung hidup? Aku tidak bisa memaksa Bang Bara untuk kerja, Bu."

Ada rasa bersalah dari Bu Sindi mendengar penuturan Shamita. Harusnya ia tau jika Bara memang keras kepala.

"Kamu sabar ya, lagipula kamu baru seminggu menikah. Nikmati saja masa-masa pengantin baru ya,"ucap Bu Sindi berusaha menghibur.

"Tapi Bu, Bang Bara—"

"Apakah seperti ini yang disebut istri Solehah? Selalu menceritkan keburukan suami kepada orang lain?"Suara Bara tiba-tiba saja terdengar jelas dari belakang Shamita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status