Bagaimana rasanya menikah dengan laki-laki yang sudah diketahui keburukannya? Bahagia? Tentu saja tidak. Berharap bisa merubahnya? Jangan bermimpi. Seseorang bisa berubah karena diri mereka sendiri, bukan karena orang lain. Apalagi istri yang yang sama sekali tak pernah ia cintai sebelumnya.
Dengan balutan kebaya putih dan juga hiasan siger Sunda di kepalanya, begitu juga make up tebal yang menghiasi wajahnya. Shamita yang biasa dipanggil Mita itu harus menerima kenyataan pahit jika saat ini ia harus menikah dengan Bara. Seorang anak dari keluarga Atmaja yang juga adalah atasan di tempat ia bekerja.
"Sah!" Suara saksi mengatakan jika ucapan ijab kabul yang diucapkan Bara, terucap sempurna hanya dengan satu tarikan napas. Emas kawin sebesar 10 gram emas menjadi pelengkap untuk mengesahkan pernikahan itu. Ya, itu adalah pernikahan Bara dan Shamita yang sudah jauh-jauh hari di persiapkan oleh kedua orang tua Bara, terutama ibunya Bara, yang sangat menginginkan anak bungsunya itu menikah.
Bahagia? Tentu tidak. Shamita malah semakin menangis sejadinya, kala ia harus menyadari bahwa saat ini ia telah sah menjadi istri Bara.
"Berhenti menangis! Jika kamu tidak ingin membuat semuanya berantakan," bisik Bara kepada Shamita.
Pernikahan yang digelar di KUA itu, berlangsung hidmat meski harus diselingi tangis dari Shamita. Tak ada perayaan besar atau sejenisnya. Karena memang itulah kesepakatan yang diberikan Bara kepada orang tuanya.
Tak berselang lama, Bara membawa Shamita ke rumah yang sudah disiapkan oleh kedua orangtuanya sebagai kado pernikahan karena Bara sudah mau menuruti kemauan orang tuanya.
"Jangan berpikir jika aku menikahimu karena aku menyukaimu! Kamu bukan tipeku, jadi jangan bermimpi!" ucap Bara sesaat setelah sampai di rumah tujuan.
Ucapan yang penuh dengan penekanan itu membuat hati Shamita berdenyut nyeri.
"Tidak ada yang menginginkan pernikahan ini, Bang. Bahkan jika kamu bisa menolak, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi." Dengan terisak, Shamita membalas ucapan dari suaminya itu.
"Sudahlah! Semua ini sudah terjadi. Tolong jangan menyusahkan, dan jangan pernah berpikir kamu akan bisa merubahku!"
Tak ada jawaban dari gadis berusia 22 tahun itu, ia terus saja menunduk ketakutan saat Bara berbicara. Orang yang ada di hadapanya itu tak ubahnya monster yang kapan saja bisa menerkamnya.
Malam pertama yang seharusnya menjadi momen terindah dari sebuah pernikahan, nyatanya itu hanya mimpi bagi Shamita. Bara yang sama sekali tak menyentuhnya membuat Shamita merasa terhina. Meski ia tidak mencintai suaminya itu. Paling tidak ia diperlakukan selayaknya istri.
"Aku mau tidur di luar,"ucap Bara sembari membawa sebuah bantal.
"Bang, kita kan pengantin Baru. Tidak pantas rasanya jika harus tidur terpisah." Shamita mencoba mencegah.
"Lantas maumu apa? Bukankah kamu juga tak menginginkan aku? Sudahlah aku mau tidur!"
Tak ada jawaban, shamita hanya memandang datar punggung suaminya yang sudah menghilang dari balik pintu.
***
Seminggu pernikahan, Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Bara, justru ia semakin menunjukkan tabiat buruknya itu. Shamita yang terbiasa bangun pagi untuk menjalankan kewajibannya, harus melihat suaminya yang masih tidur dengan pulasnya di ruang tamu sembari menggenggam sebotol minuman keras. Ingin rasanya ia membangunkan suaminya itu untuk ikut solat bersama. Namun, ketakutan selalu saja menghentikan niatnya.
Shamita lebih memilih mengaji seusai solat subuh. Suara merdunya menggema memenuhi rumah yang cukup luas itu. Bara yang merasa terganggu mendengar lantunan Ayat Suci itu merasa geram. Dengan cepat pria yang memiliki tato tengkorak di leher belakangnya itu menghampiri istrinya.
"Apa kamu sengaja mengaji, agar aku terbangun?"
Shamita terkejut mendengar suara Bara sangat jelas memenuhi telinganya.
"Bang Bara, udah bangun? Ayok Bang, solat subuh dulu."
"Bukankah aku sudah menyuruhmu, untuk tidak mengaturku? Berhentilah mengajakku solat!"
"Astagfirullah Bang, solat itu kewajiban. Aku cuma mengingatkan, Bang."
"Kamu tidak perlu mengingatkanku dalam hal apapun, aku tau mana yang baik dan yang buruk. Jadi berhentilah menjadi tukang ceramah!" Bara pergi meninggalkan Shamita yang masih berdiri dengan mukenah yang ia pakai. Mengelus dadanya agar tidak begitu sakit menerima perlakuan Bara.
Matahari dengan gagahnya menunjukkan sinarnya yang menyengat, namun lagi-lagi Shamita harus mendapati pemandangan yang menyesakkan dari Bara. Suami Shamita itu sedari pagi hanya hanya sibuk bermain ponsel. Dengan sedikit keberanian yang ia miliki, Shamita mendekati suaminya.
"Bang, nggak cape maen handphone terus?" tanya Shamita berusaha melawan rasa takut kepada suaminya itu.
"Memangnya kenapa?" balasnya, tanpa mengalihkan pandanganya dari ponselnya.
"Abang, nggak mau nyari kerja? Atau bantuin Ibu dan Bapak di toko?"
Mendengar itu Bara yang semula acuh, kini menatap netra istrinya itu tajam.
"Kamu nyuruh aku kerja? Ngarep banget dinafkahi? Jangan mimpi!" Jawaban Bara tak ubahnya petir di siang bolong. Menusuk dan menghujam hati paling dalam.
"Astagfirullah Bang, itu udah kewajiban kamu. Sekalipun kamu tidak mengharapkan pernikahan ini. Bukan berarti kamu lepas tanggung jawab seperti itu!" Shamita yang semula bersuara lembut, terpaksa ia sedikit menaikan intonasi bicaranya.
"Tanggung jawab seperti apa yang kamu harapkan? Berhentilah ceramah! Aku muak!"
"Yaudah. Kalo Abang nggak mau kerja, biar aku aja yang kerja. Aku yakin Bu Sindi masih mau menerimaku bekerja di tokonya." Tak banyak bicara lagi. Shamita gegas pergi meninggalkan Bara yang masih bergeming di tempatnya.
Shamita kembali menangis di kamarnya, masih teringat jelas saat bagaimana ia menerima tawaran dari Bu Sindi untuk menjadi menantunya. Seharusnya pernikahan ini tidak pernah terjadi, namun karena sebuah janji yang sudah terucap, saat pertama kali Bu Sindi menawarkan perjodohan itu. Membuat ia tak bisa menolak keinginan wanita yang telah jadi mertuanya itu.
Bu Sindi teramat baik, ia sering membantu Shamita yang diterpa kesulitan hidup. Bagi Shamita, Bu Sindi sudah seperti malaikat penolong baginya. Namun kebaikan itu seolah tak lagi terlihat, saat ia meminta Shamita menjadi menantunya.
Dengan cepat Shamita mengusap air matanya yang sudah menganak sungai. Niatnya sudah bulat untuk kembali bekerja di tokonya Pak Indra. Meski entah akan diizinkan atau tidak. Yang terpenting dia sudah berusaha. Berdiam diri di rumah bukanlah kesehariannya, untuk ia yang pekerja keras.
***
"Mita, loh kok ke sini?" Bu Sindi menghampiri Shamita yang baru saja sampai di tokonya.
"Bara, mana?" lanjutnya.
"Bang Bara ada di rumah Bu. Aku ke sini mau kembali kerja, boleh kan Bu?" tanya Shamita.
"Kerja? Tentu saja tidak boleh dong sayang, kamu sekarang menantu Ibu. Tapi kalo mau ikut bantu-bantu ya nggak apa-apa. Tapi, jangan jadikan pekerjaan. Sekarang sudah ada Bara, biarkan dia berpikir bagaimana caranya agar bisa menafkahi kamu," ujar Bu Sindi. Ucapannya sangat menunjukkan sekali jika wanita paruh baya itu sangat menyayangi menantunya itu.
"Tapi, Bu. Jika aku dan Bang Bara tidak ada yang bekerja. Bagaimana caranya aku menyambung hidup? Aku tidak bisa memaksa Bang Bara untuk kerja, Bu."
Ada rasa bersalah dari Bu Sindi mendengar penuturan Shamita. Harusnya ia tau jika Bara memang keras kepala.
"Kamu sabar ya, lagipula kamu baru seminggu menikah. Nikmati saja masa-masa pengantin baru ya,"ucap Bu Sindi berusaha menghibur.
"Tapi Bu, Bang Bara—"
"Apakah seperti ini yang disebut istri Solehah? Selalu menceritkan keburukan suami kepada orang lain?"Suara Bara tiba-tiba saja terdengar jelas dari belakang Shamita.
"Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih. Kaget itulah yang ia rasakan saat ini."Bara! Kamu ini apa-apaan, datang-datang nuduh istri yang nggak-nggak. Siapa yang membicarakan aib kamu? Lagipula Ibu ini Ibumu, Shamita berhak mengadu apapun jika kamu tidak memperlakukannya dengan baik." Ucapan Bu Sindi membuat Bara terdiam untuk beberapa detik."Terus saja Ibu membela menantu kesayangan Ibu itu. Ibu perlu tau, aku juga suaminya. Baik buruk dia ada di tanganku. Jadi, ibu tidak berhak ikut campur dengan pernikahan aku." Bara yang keras kepala tak pernah mau mengalah."Ada apa Bu? Loh Shamita, Bara. Sejak kapan di sini?" Pak Indra yang baru menyadari ada keributan, membuat ia harus keluar dari ruangan kerjanya."Assalamu'alaikum Pak," sapa Shamita dengan ramah. Tak lupa ia mencium tangan mertua laki-lakinya itu."Wa'alaikum salam, kalian mau apa ke sini? Bukannya harusnya kalian bulan madu dulu," ucap Pak indra sembari terkekeh."Aku kesini—""Hanya berkunjung, Pak. Iya, kami bosan di rumah
Istri mana yang mau menerima nafkah yang tidak halal dari suaminya? Tidak ada yang bisa menggambarkan kesedihan Shamita saat ini. Harusnya ia sadar, suaminya itu memang penjudi, pemabuk bahkan mungkin tak jarang ia bergumul dengan wanita-wanita bukan muhrim di luaran sana.Shamita, tidur dalam kondisi habis menangis. Ia tak tahan akan kelakuan suaminya. Haruskah ia bertahan dengan pernikahan yang tidak sehat? Pernikahan ini baru seminggu, tapi rasanya begitu lama ia rasakan. Rasanya ingin menyerah, tapi kembali lagi seorang istri hanya mampu tetap berbakti bagaimanapun sikap suami.Bara memasuki kamar yang kini sudah ada Shamita tertidur. Ia hendak mengganti pakaian. Ditatapnya wanita yang telah sah menjadi istrinya itu. Dalam hati terdalamnya sedikit ada rasa iba, kenapa wanita itu harus menanggung beban untuk menikah dengan dirinya. Seketika ia mengingat perlakuan ayahnya yang selalu saja memaksakan kehendak terhadap anak-anaknya. Termasuk untuk menikah.***Shamita terkejut, saat b
Bara hanya menatap datar temannya yang bernama Agus itu. Menceritakan masalah keluarga bukanlah kebiasaanya. Meski Agus teman yang bisa dipercaya, namun saat ini ia tidak bisa bercerita mengenai istrinya."Sepetinya memang takdir itu tidak bisa dicegah, Gus." Bara akhirnya menjawab."Kenapa sih? Emang kenapa sama istri lu?" Agus semakin penasaran."Istri gue terlalu Solehah untuk gue yang bajingan," ucap Bara dengan lirih. Lagi, Agus tertawa terbahak."Bentar, bentar. Jadi, lu nikah sama ustadzah?" Agus terus saja meledek Bara."Nggak ustadzah juga, pokonya gitu deh, istri gue tuh apa-apa bawa dalil.""Pantes, lu kusut banget. Eh tapi, harusnya lu bersyukur dong, bisa dapet mutiara gitu. Cewek-cewek begitu kan inceran para akhi," ucap Agus."Gue bukan akhi, gue Bara nggak pake batu!" jawab Bara kesal.Berbicara dengan Agus, membuat Bara semakin pusing karena terus saja mendapat ledekan darinya. Minuman yang masih tersegel yang berada di sampingnya tak sempat ia buka. Dengan cepat ia k
"Apa?"Bara berteriak menanggapi jawaban Shamita. Tenggorokannya terasa panas karena ia sangat alergi udang. Sedikit saja terlambat minum, entah apa yang akan terjadi."Kenapa Bang? Kenapa Abang marah?" Shamita nampak ketakutan. Untuk kali ini ia tidak tau letak salahnya apa."Kamu hampir saja membunuhku!"Ucapan Bara membuat Shamita tekejut, ia bahkan tidak tau letak salahnya di mana, tapi suaminya dengan mudah mengatakan jika ia hendak membunuhnya. Sungguh tuduhan paling keji yang pernah Shamita terima dalam hidupnya."Maksud Abang apa? Bagaimana mungkin aku berniat membunuh suamiku sendiri?" Shamita tak kuasa menahan tangisnya."Aku alergi udang! Kenapa hal seperti itu saja kamu tidak tau!" Jawaban Bara semakin membuat Shamita shock, jelas ini sebuah kesalahan. Seharusnya memang ia bertanya dulu hal apa saja yang tidak disukai suaminya. Namun ia telah teledor, untung saja Bara masih bisa terselamatkan."Maafkan aku, Bang. Sungguh aku tidak tau jika Abang alergi udang." Ucapan maaf
"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan, asal Abang tulus memaafkan aku." Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.Bara hanya diam mendengar ucapan istrinya. Tak berniat menjawab apalagi marah. Padahal ia ingin sekali melihat perlakuan lebih dari Shamita. Namun mulutnya seperti kelu meski hanya mengucap satu kalimat. Tatapan dalam yang diberikan Shamita membuat ia ragu untuk meminta lebih."Pergilah, aku mau istirahat."Hanya itu yang akhirnya terucap dari mulut Bara. Tatapan itu membuat jantung Bara berdetak lebih keras.***Istri mana yang tak sakit saat keberadaanya sama sekali tak dibutuhkan? Meski sudah berusaha agar tak lagi menangis. Shamita tetaplah gadis rapuh yang hatinya mudah sekali terluka.Dilihatnya sekali lagi wajah suami yang kini sudah memejamkan mata itu sebelum ia benar-benar keluar dari kamar. Rasa bersalah itu terus saja datang kala ia mengingat kejadian tadi pagi."Maafkan aku, Bang," ucapnya lirih hampir tak terdengar.Dengan langkah yang
Shamita menyeka air matanya dengan tangan, melihat Bara yang sudah kembali bersikap dingin, baginya adalah kabar baik. Karena artinya rasa sakitnya sudah sedikit berkurang."Abang mau apa mencari aku?" tanya Shamita ragu. Rasanya sedikit aneh saat Bara lebih memilih memanggilnya dibanding kedua orang tuanya."Kamu lupa statusmu itu apa?""Istri, tapi sayang belum pernah di sentuh," celetuk Shamita. Tangannya segera menutup mulutnya karena baru sadar jika ia salah bicara.Bara terkekeh pelan, "Jadi, mau disentuh?"Wajah Shamita bersemu merah, nampak sekali jika ia merasa malu atas godaan yang diberi oleh Bara. Sementara senyum Bara mengembang saat istrinya terlihat malu.Hati Shamita sedikit menghangat saat Bara mengajaknya bercanda. Suatu hal yang sangat mustahil dilakukan Bara, jika Bara dalam kondisi sehat.Sementara Bu Sindi dan Pak Indra nampak tersenyum di balik jendela, merasa bersyukur jika Bara saat ini sudah sedikit menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik."Bu Shamita, bi
Semua mata menatap kepada Bara yang tiba-tiba saja menyelesaikan kegiatan sarapanya dengan cepat. Apalagi Shamita yang begitu heran, padahal Bara hanya diajak makan bersama keluarganya. Apa yang salah akan hal itu?"Bu, Pak, aku lihat Bang Bara dulu ya." Sebagai istri, Shamita merasakan perasaan yang tidak baik dalam diri Bara. Ia memang tak pernah tau masalah apa yang telah terjadi antara suaminya dan keluarganya. Bu Sindi mengangguk tanda mengerti. Ia lupa jika Bara sedikit ada masalah dengan kakak-kakaknya.Shamita mencoba mendatangi Bara ke dalam kamar. Ternyata suaminya itu sedang berdiri menatap jendela dengan tatapan yang entah kemana."Bang," panggil Shamita lembut. Bara menengok tapi ia kembali menatap ke arah jendela lagi."Kalau ada masalah, Abang boleh kok cerita," sambung Shamita."Kamu tidak perlu tau masalahku, tolong jangan ikut campur." Suara Bara datar, tapi begitu menohok di hati Shamita yang rapuh.Bahkan cara ia peduli saja, tak direspon baik oleh pria berstatus
Setelah kepulangan kedua mertuanya, Shamita kembali ke rutinitas biasa. Cucian kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci, begitupun lantai yang berdebu sudah menunggu agar segera dibersihkan.Begitulah kehidupan ia saat ini, jika dibilang mebosankan mungkin iya. Tapi sejatinya seorang istri memang tak lepas dari pekerjaan rumah. Semua itu akan bernilai pahala jika kita ikhlas melakukanya.Tubuh kurus itu entah kenapa akhir-akhir ini terasa mudah lelah. Shamita mendudukkan tubuhnya di atas ayunan kayu yang berada di belakang rumah. Sembari meluruskan otot-otot yang terkuras karena pekerjaan yang begitu banyak, sesekali ia bermain ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat ada pesan masuk dari seseorang yang sangat ia kenal. Tapi saat ini hampir saja ia lupakan.Ya, pesan itu dari Irham—mantan kekasih Shamita. Hampir saja Shamita lupa jika ia pernah menjalin hubungan dengannya. Selepas menikah dengan Bara, dirinya memang sengaja tak pernah lagi menghubungi Irham. Selain agar Irham tak lagi