"Ha-hai!" balas Nami menyapa gugup.Ia berusaha menggeser ke kiri, berniat menjauh sejauh mungkin. Namun Akira justru ikut menggeser kan tubuhnya mengikuti Nami."A-aku mo-mohon, menjauh lah!" pinta Nami dengan suara memekik keras, mendorong dada Akira hingga sedikit menjauh. Kepalanya menunduk penuh harap, menyita atensi semua teman-temannya. Musik bahkan dihentikan.Ruka yang asyik bernyanyi mendekati Nami, berdiri di depannya dengan meja menghalangi. "Ada apa, Nami Chan?""I—,""Tidak terjadi apa-apa, Ruka Chan," potong Akira, kembali duduk bersender. Tangannya terentang di atas sandaran sofa. Akira kembali menoleh pada Nami, raut wajahnya sedikit mengancam gadis itu agar bungkam. "benar, bukan, Nami Chan?!" tekannya. Akira bahkan mendekatkan wajahnya pada telinga Nami. "ikuti saja apa mau ku."Ruka menyadari ada yang tidak beres. Ia menatap Nami tajam. "Benar itu, Nami Chan?" desak Ruka, berharap temannya itu berkata jujur.Nami yang ditanya, justru terlihat kikuk. Kepalanya menund
"Iya. Kamu tidak percaya?" tanya Akira lagi, mendongak sedikit ke atas, tatapannya lurus pada mata Nami."A-aku rasa itu sangatlah tidak mungkin.""Kenapa?" tanya Akira, menarik ujung rambut Nami yang berhasil ia gulung hingga wajah mereka teramat dekat.Mata Nami membeliak lebar. "A-akira San," tegurnya lirih, teramat sangat gugup."Hmm," sahur Akira santai. "aku menyukaimu, Nami Chan," ungkapnya. Tangan kirinya membingkai pipi Nami."Ma-mana mungkin bi—," Mata Nami membola saat Akira menarik turun kepalanya hingga bi b1r mereka bersentuhan."Manis," puji Akira, mengusap bagian bawah dengan lembut.Akira lantas beringsut duduk. Bersandar kembali pada sandaran kursi. Tangan kirinya kembali merangkul pundak Nami, menariknya kuat hingga bahu mereka menempel."Mau jadi kekasihku?" ajak Akira santai sembari menoleh pada Nami yang hanya bisa menunduk dengan kedua tangan saling bertaut di atas paha."Aku tidak —,""Harus mau!" ucap Akira tegas, memotong ucapan Nami. Matanya menatap tajam pad
Nami mengusap dadanya berulang-ulang saat kembali teringat dengan peristiwa kelam itu di masa lalu. Air matanya kembali menderas hingga ia harus mengusap air matanya.Namun tak lama berselang, Nami tersentak kaget saat ponselnya kembali bergetar. Dengan tangan bergetar hebat, Nami mengangkat ponselnya ke atas dimana memperlihatkan sebuah panggilan dari seseorang yang juga ia kenal baik."Ha-halo," sapanya gugup. Wajahnya bahkan memucat karena waktu penghakiman itu akhirnya tiba."Nona Muda, saya sudah tiba di parkiran rumah sakit," ungkap Yamamura tanpa basa-basi.Nami semakin tersentak. Ia gegas memejamkan matanya bersamaan dengan menggigit bibir bawahnya agar mengurangi rasa takutnya."Nona Muda," tegur Yamamura karena Nami justru bungkam seribu bahasa."I-iya, aku akan segera kesana," tukas Nami dengan nada tercekat.Dengan perlahan gadis itu berdiri tegak, meskipun harus berpegangan pada pintu loker. Ia bahkan melupakan paper bag pemberian Akira saat dirinya mengayunkan langkahnya
Mobil yang membawa Nami akhirnya tiba di basemen apartemen Akira. Yamamura segera turun, berlari memutar lalu membukakan pintu untuk Nami, membuat gadis itu tersentak kaget karena telah melamun sebelumnya."Silakan, Nona Muda," tukas Yamamura menepikan tubuhnya, mengangguk sopan.Nami perlahan mengusap air matanya karena sekarang bukan saatnya menangis. Namun harus bersiap menerima nasib terburuk ketika dirinya berhadapan dengan Akira beberapa saat nanti.Perlahan Nami turun dari dalam mobil. Mulutnya terkatup rapat dengan wajah sendu juga jantung berdegup kencang, merasa gugup sekaligus ketakutan.Yamamura lantas menutup pintu mobil, menghela Nami agar mengikutinya. Nami terpaksa menurut, namun dirinya berusaha memelankan laju kakinya agar waktu yang mereka perlukan lebih lama dari yang seharusnya.Yamamura menyadari itu, ia lantas menghentikan langkah, lalu berbalik, membuat Nami terkejut setengah mati. "Maafkan saya, Nona Muda!" tukasnya, lalu tanpa aba-aba meng-g0-t0ng Nami layakny
Nami berlari kencang ke arah pintu keluar dimana Juun terlihat merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Nami lantas menubruk dada Juun, membuat lelaki itu menenggelamkannya ke dalam pelukan."Ssh ... jangan menangis! Aku sudah ada di sini, Sayang. Aku akan menjagamu dengan baik," hibur Juun, mengusap punggung Nami agar gadis itu berhenti terisak.Nami yang dihibur, bukannya berhenti menangis, melainkan semakin meraung-raung sembari merenggut kelepak jas yang Juun kenakan."Nami Chan," hibur Juun kembali, mengarahkan usapannya pada belakang kepala gadis itu."Aku takut, Juun. Aku sangat takut! Aku takut Akira kembali menyakitiku seperti dulu!" balas Nami dengan suara tangisan yang semakin menderas.Juun terkejut. Dirinya tidak mengerti dengan ucapan Nami. "Sebenarnya ap—?""Nami Chan! Bebaskan aku! Aku janji akan menjadi kekasih yang baik!" pekik Akira, memotong ucapan Juun sekaligus membuatnya bungkam dengan seribu pertanyaan di benaknya. Apalagi saat menyadari raut tegang yang Nami p
Nami murung, wajahnya terlihat kusut saat dirinya tiba di dalam kamar. Bahkan ia tidak perduli jika Toshio tidak pulang hari ini, tidak juga berusaha mencari.Nami duduk di tepi ranjang, matanya melirik pada photo kebersamaan antara dirinya dengan Juun saat mereka duduk di bangku sekolah, pada Upacara Perayaan Festival Tanabata, sekaligus hari pertama mereka memutuskan menjalin hubungan.Nami menghela napas berat. "Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak marah padaku lagi, Juun?"***Juun baru saja tiba di apartemen murah miliknya. Langkahnya terlihat sedikit gontai, merasa semua peristiwa hari ini terlalu berat untuk ia jalani.Aisyah yang hendak melaksanakan Salat Tahajud, sedikit tersentak saat melihat kedatangan kakaknya dari balik pintu. "Astaghfirullah hal adziim ...! Abang bikin kaget Ais aja!" tegurnya sambil menggelengkan kepala serta mengusap tubuh bagian depan agar debaran jantungnya menjadi normal kembali."Assalam
Juun tanpa sadar tertidur di atas sajadah, ia terengah-engah saat sebuah mimpi buruk tiba-tiba hadir. "Astaghfirullah hal adziim!" desahnya sambil mengusap kasar wajahnya.Juun menghela napas berat sambil bangkit berdiri, membawa serta sajadah, meletakkannya di atas ranjang, lalu berjalan ke arah pintu keluar, menuju dapur. Lelaki itu lantas membuka pintu lemari es, mengambil sebotol air mineral, membawanya ke arah meja lalu meminumnya setelah duduk dan membaca doa."Ya Allah, sebenarnya ini firasat apa? Kenapa aku justru tiba-tiba bermimpi buruk seperti itu?" gumamnya, tidak habis pikir. Kembali meneguk air minum hingga tandas."Semoga ini semua bukan pertanda buruk." Juun menoleh ke depan dimana lampu ruang tamu padam. Namun, di tengah gelap justru terbias sedikit cahaya berwarna putih terang.Lelaki itu bangkit berdiri, berjalan ke arah ruang tamu, tak lupa menyalakan sakelar lampu guna memberikan penerangan. "Siapa yang men
Fujiwara benar-benar datang menjemput Juun dengan sebuah mobil Van hitam. Keduanya lantas pergi meninggalkan gedung apartemen miliknya menuju tempat yang Ryu tentukan."Hai, Brother. Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" todong Ryu memeluk sang sahabat."Aku tidak tahu cerita lengkapnya, yang aku tahu, Nami tiba-tiba menghubungi menggunakan nomor ponsel berbeda, dia berkata jika Akira menculiknya, lalu —," Suara Juun tercekat saat teringat kembali lolongan kesakitan juga tangisan menyayat hati wanita itu."Apa?" desak Ryu, penasaran."Nami ... menangis dan ... aku sempat mendengar jika lelaki itu tengah melakukan sesuatu yang buruk padanya. Apa yang harus aku lakukan, Ryu?" tanya Juun putus asa."Ok, tenanglah! Aku pasti akan membantumu. Fujiwara San!" panggil Ryu pada adik iparnya."Saya, Ketua!" sahut Fujiwara sopan, mengangguk hormat."Lakukan yang biasanya kamu lakukan," titah Ryu, menghela napas berat."Baik, Ketua! Saya mengerti!" sahut Fujiwara tegas, berbalik badan, b