"Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi
Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an
Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu
"Kemarin habis dari pasar, beli apa aja?" tanya Mita–kakak iparku."Kenapa? Kepo banget," selorohku malas."Kepo lah. Itu, Ahmad kerja bukan buat kamu habiskan uang gajinya. Pasar kok hampir tiap hari! Nggak kasihan apa? Gaji suami yang hanya kuli, tapi bini pegawean belanja sana sini. Boros!" serunya.Aku yang sedang memotong bawang berhenti. Mendelik ke arah kakak ipar yang sangat suka membuat tensi naik tanpa permisi. Nggak pagi, siang, sore, nggak seneng banget liat aku seneng."Situ ngiri? Jangan lupa, cicilan panci dibayar. Bukan hanya sibuk ngurusin urusan orang!" semburku lalu pergi dengan segera, meninggalkan pekerjaan yang seharusnya aku harus selesaikan segera."Na ….." Suara Ibu Mertua terdengar dari dapur saat aku baru saja hendak mandi. Aku letakkan handuk kembali, memilih mendekat ke arah ibu mertua yang umurnya tidak lagi muda."Iya, Bu."Aku melihat Mbak Mita yang sedang berada di samping Ibu Mertua, dengan wajah ditekuk dan bersimbah air mata."Kamu kebangetan, ya.
...2"Mbak, Mas Ahmad kecelakaan di tempat kerja. Sekarang di rumah sakit Medika."Tanganku lemas seketika. Suamiku ….Aku gegas pergi. Aku tidak memperdulikan apapun selain keselamatan suamiku yang sedang mencari nafkah. Kabar yang disampaikan Romli membuatku sampai kehilangan akal dan langsung berjalan ke depan, meminta tolong pada tetangga untuk meminjamkan motornya kepadaku."Mau ke mana, Nin? Buru-buru amat? Mau ke pasar lagi?" sindir Mbak Mita.Aku tak menjawabnya. Kupilih tetap melajukan motor dan pergi menuju rumah sakit Medika yang jaraknya berkilo-kilo dari tempatku tinggal. Ya Tuhan, selamatkanlah suami hamba. Meski dia jelek, pendek, dekil, miskin, idup pula. Tapi aku sayang banget sama dia. Dia nggak pernah bentak aku dan maksa aku buat melakukan hal yang aku nggak suka, meski di rumah ibunya sendiri. Kekurangannya hanya satu, dia nggak mau misah dan hidup berdua saja denganku. Alasannya, sayang Ibu. Sudah berulang kali berdebat, akhirnya kalah dengan sogokan uang lembar
...“Loh, kok kamu di sini, Nin?” Ibu mertua tampak kaget begitu sampai ruangan Mas Ahmad dan melihatku yang sudah ada di sini.“Lah, Mbak Mita tadi nggak tanya Nina ada di mana. Asal nyerocos ae … malu nggak?” sindirku pada Mbak Mita. Dia melengos dan memilih duduk di kursi samping ranjang Mas Ahmad.“Kok bisa gini, sih, Mad? Mbak loh sudah bilang, nikah sama Nina itu bikin apes dan ekonomi seret. Wetonnya itu tiban apes. Ya jadi gini ‘kan kamu?” ucap Mbak Mita.Sungguh nih ipar kagak ada akhlak banget sumpah. Apa coba mengatakan hal seperti itu. Bahkan, Ibu mertua juga tidak membelaku sama sekali. “Nggak ada kaitannya sama weton, Mbak. Ahmad lagi apes aja. Jani nggak ikut?” Aku tahu Mas Ahmad sedang mengalihkan pembicaraan. Sedangkan aku memilih keluar ruangan Mas Ahmad. Malas harus mendengarkan ocehan ipar macam Mbak Mita. Bukan enak didengar, yang ada bikin telinga disko rutinan.“Mau ke mana, Nin?” cegah Mas Ahmad saat tanganku ingin menarik gagang pintu.“Ngadem bentar di luar
...“Habis dari mana? Suami lagi sakit malah kamu ngeluyur,” sembur Mbak Mita.“Suka-suka Nina. Daripada di sini liat Mbak Mita, lama-lama bisa ikutan sakit. Mas, Nina pulang dulu, ya? Mau balikin motor sekalian ambil baju ganti,” pamitku.“Eh, nggak usah. Kelamaan nanti di rumah kalau kamu yang pulang. Biar Mbak aja sama Ibu yang pulang ke rumah,” cegah Mbak Mita.Alah, aku tahu modusnya. Palingan dia malas berlama-lama di rumah sakit. Mana bisa dia direpotkan sama aku dan yang lain. “Nggak usah, Mbak. Nina bentaran doang. Ngapain lama-lama. Kayak nggak ada kerjaan aja di sini.”“Ya emang gak ada. Kamu kan kerjaannya cuma nyusahin Ahmad.”Aku memutar bola mata jengah. Ibu mertua hanya diam saja, tak ikut menyela atau mendebat pernyataan Mbak Mita yang terdengar sangat tidak sopan.“Mad, Ibu pulang dulu, ya? Jani takut nyariin. Malam ini sama Nina saja di rumah sakit nggak apa, kan? Besok Ibu ke sini pagi-pagi sekalian bawa sarapan buat kamu dan Nina. Ya?” pamit Ibu mertua.“Ya, Bu. I
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Mas Ahmad bisa pulang. Jangan ditanya biaya rumah sakitnya. Sebanyak dosa tetangga yang suka gibahin aku setiap hari. Beruntung sebagian biaya rumah sakit ditanggung BPJS sehingga aku masih sanggup mmebayarnya.“Kalau suami sakit itu, nggak usah ngelayap terus,” ucap Mbak Mita dengan nada menyindir saat aku baru hendak pergi ke warung. Sudah seminggu, kondisi Mas Ahmad belum bisa berjalan sendiri dan aku yang harus membantunya banyak hal.“Mau ke mana, Mbak?” tanya Jani.“Ke depan. Kenapa? Mau kasih ongkos jalan?”“Nitip beliin seblak sih,” perintahnya.“Beli sendiri, kakinya masih kuat jalan kan? Kalau udah nggak bisa jalan, tuker tambah saja sama kaki gajah,” selorohku.Aku berjalan mengabaikan wajah wajah yang mungkin saja kesal karena ucapanku. Bodo amat lah, aku lagi mode suntuk. Bagaimana tidak, biaya rumah sakit Bang Ahmad yang ditanggung BPJS sisanya aku bayar sendiri. Uang simpanan harus terkuras dan keluarga Mas Ahmad tak ada yang m