Benar sejak pergi sore kemarin, Arza tidak kunjung pulang. Ini sudah malam berikutnya dia belum pulang kerumah.
Pernah kemarin ku hubungi sekali, nomornya sudah tidak bisa di hubungi. Barangkali memang dia matikan agar aku tidak mengganggu acaranya bersama Zorah.
Ting...
Gawaiku berbunyi menandakan adanya notifikasi pesan masuk. Ku cek, eh pengirimnya Arza.
"Ma, aku pulang besok. Aku ada tugas yang belum selesai yang memaksaku keluar kota."
Tugas luar kota? Tanpa membawa perlengkapan apapun? Tanpa pamit juga sebelumnya. Tidak apa, aku akan berusaha seolah percaya. Walaupun aku tahu dia sedang bersama Zorah di sana.
"Oooh Mama kirain kemana Papa nggak pulang. Syukurlah kalau Papa baik-baik saja. Selamat bekerja ya, Pa. Jangan lupa selesaikan tugas dengan baik dan tetap bersemangat ya, Pa"
Ku lengkapi dengan emot love di penghujung kata. Akan kubiarkan kau bersama selingkuhanmu, Arza. Tak kan ku sisakan rasa cemburu untuk perbuatan kalian.
Tapi nanti lihat saja bagaimana endingnya. Akan ku buat kalian hidup lebih menyakitkan secara bertahap.
Tentu menyenangkan untuknya berduaan sama mbak Zorah. Tenang saja aku tidak akan mengganggu kebersamaan kalian Arza.
Sementara kalian bersenang-senang, maka aku akan bekerja sebaik mungkin. Nikmati hidup kalian sekarang. Nanti kalian baru akan menyesal. Nikmati saja alurnya.
Dan untuk mbak Zorah dan Debbie, jangan harap aku akan memberi kalian uang seperti biasanya.
Sekarang aku harus fokus ke pekerjaan. Disiplin waktu dan memperbaiki kinerja. Karena gajiku juga lumayan. Memang belum sebesar penghasilan Arza. Tapi seandainya Arza mencampakkan aku, aku masih mampu mencukupi kebutuhanku bersama anak-anak.
Dua hari berlalu. Aku tetap berusaha bersikap seperti biasanya. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku menikmati makan malam bersama Davin dan Divan. Merekalah yang menjadi alasanku untuk berjuang keras melawan arus kehidupan.
"Ma, Divan pengen ayamnya tuh yang gede. Nggak mau bagi-bagi sama kak Davin."
Divan merebut sepotong ayam goreng renyah di atas meja.
"Siapa juga yang mau. Kamu tuh yang rakus, makanya mukamu gembul."
Divan memegang dagu sang adik yang memang bobotnya melebihi si kakak.
Tiiin... Tiiiin...
"Ma, itu bunyi mobil Papa. Yuk bukain pintu."
Mereka berdua menarik-narik tanganku. Seandainya tidak kubuka pun dua bisa membukanya sendiri. Toh dia punya kunci sendiri. Lagian aku juga tidak terbiasa menggembok teralis pintu.
"Ayo, Ma. Kita bukain pintu buat Papa."
"Iya iya deh. Ayo."
Aku mengikuti kemauan mereka. Mereka antusias sekali nenyambut kepulangan sang Papa.
Ceklek.. pintu terbuka. Di sana seorang lelaki tinggi tegap berjalan je arah kami, sambil menenteng sebuah bingkisan.
"Udah pulang, Pa."
Sapaku tanpa menampakkan keganjilan. Justru ku buat rona mukaku semanis mungkin.
"Paapaaaaa."
Davin dan Divan berebut ingin meraih tangan Arza. Arza membungkuk di depan anak-anak.
"Sayaang, Papa sedang capek. Papa mau istirahat. Boleh kan? Papa kan baru pulang. Nih Papa bawain oleh-oleh buat kalian."
Arza mengeluarkan sesuatu dari bingkisan yang di bawanya. Dua buah kotak mobil- mobilan remote berukuran sedang. Ku taksir harganya tidak terlalu menguras kantong.
"Ini buat kalian bermain di dalam rumah."
"Wah terimakasih, Pa." Ujar Divan dan Davin hampir bersamaan.
"Maaf aku tidak sempat memberitahumu soal kepergianku. Selama dua hari ini ada tugas yang memaksaku luar kota."
Alasan yang sengaja di buat-buat. Padahal aku tahu dia sedang berbohong. Tapi tak apa, akan ku buat kebohonganmu seolah berhasil dengan baik.
"Ooh begitu, padahal Mama sudah khawatir banget lho Papa nggak pulang sampe dua hari. Mana ponsel nggak bisa di hubungin. Kemarin malam ketika membaca pesan Papa. Baru Mama bisa lega."
Aku juga bisa berbohong, Arza. Mana ada aku mengkhawatirkan kamu yang sedang menjalani bulan madu yang tidak pada tempatnya bersama Zorah. Mau kamu nggak pulang-pulang sekalipun aku tidak peduli.
Nampak Arza seperti aneh dengan sikapku. Mungkin menurut persangkaannya aku akan marah-marah. Tidak Arza, aku tidak suka menyelesaikan masalah dengan marah-marah. Tapi lebih baik menghadapi perbuatanmu dengan sikap santai, tersenyum, tetap biarkan perselingkuhanmu berjalan mulus seperti yang kamu inginkan, tapi perlahan akan membuatmu tertekan dan menyakitkan.
Beberapa saat lamanya Arza diam memandang ekspresiku yang masih tersenyum renyah. Ku biarkan dia bingung sendiri.
Biasanya sedikit saja aku bertanya soal kepergiannya, maka akan membuat emosinya meninggi, diakhiri dengan terjadinya percekcokan.
Tapi tenang saja, sekarang dan di waktu yang akan datang, aku tidak akan bertanya apapun soal kepergianmu.
"Kamu nggak marah?" Dia bertanya.
"Untuk apa aku marah? Toh kamu pergi untuk bekerja kan? Demi menafkahi kami. Kalau bukan karena uang darimu, seperti yang kamu katakan. Mungkin kami bertiga tidak akan bisa bertahan hidup."
Dalam hati aku ingin tertawa sendiri. Untuk sementara akan ku besar-besarkan hatimu Arza.
Arza melempar bekas bungkusan. Mobil-mobilan tadi begitu saja ke tong sampah disudut ruangan, tanpa memperhatikan bekas bungkusan tadi tidak tepat sasaran. Tentu saja, karena tutupnya tidak di buka terlebih dahulu.
Ketika bungkusan tadi kembali jatuh ke lantai, eeiit... Kuperhatikan ada yang menyembul dari sana, berwarna kemerahan. Apa itu?
Setelah itu dia melangkah ke belakang. Penasaran, ku ambil benda tersembul tadi, tanpa di lihat siapapun. Anak-anak sedang sibuk dengan mainan baru mereka.
Plastik bening yang berukuran tidak besar. Berisi semacam pakaian bernuansa lembut berwarna merah. Apa ini? Degh... ada nominal harga fantastis di sana. Ku buka plastik yang membungkusinya, wah Bahannya lembut sekali.
Ku buka perlahan. Astaga... Lingerie. Lingerie siapa? Apa dia membelikannya untukku? sudahlah lihat saja nanti. Kumasukkan kembali lingerie itu kedalam plastik. Dengan cepat kusembunyikan benda tersebut di kamar si kembar. Karena di kamar kami ada Arza.
Setelah itu segera kususul Arza ke kamar. Ku dengar bunyi guyuran air di kamar mandi. Pria itu sedang mandi.
Ting... Mataku tertuju dari notifikasi di handphonenya. Tapi sayang, pesan itu tidak bisa kubuka. Ponsel itu terkunci. Ku coba angka-angka penting yang mungkin bisa kupakai untuk membuka ponselnya. Ulang tahunnya, ultah Anak-anak, tanggal anniversary pernikahan, tanggal kami jadian dulu. No, tidak berhasil satupun.
Menyadari usahaku tidak akan berhasil, dengan cepat ku ambil handphone. Ku nyalakan video dengan di zoom sedikit, lalu kutaruh di atas lemari di samping tempat tidur, kuposisikan kamera untuk merekam ke arah tempat tidur dana handphonenya berada.
Aku tahu, sepertinya sebentar lagi Arza akan segera keluar dari kamar mandi. Karena sudah tidak terdengar lagi bunyi guyuran air.
Dengan segera kutinggalkan kamar kami, kembali menuju ke ruang keluarga dimana terlihat anak-anakku yang sedang bermain.
Tidak berselang lama, Arza muncul menyusul kami ke ruang keluarga. Dengan mengenakan pakaian rapi, Aneh apakah dia kembali pergi malam ini? Ih peduli amat.
"Ma, Papa mau pergi keluar sebentar. Nggak lama kok. Nemuin klien sebentar."
Cih, apa iya menemui klien malam-malam begini? Meskipun aku cuma klien rendahan, tapi bukan berarti aku buta dengan pekerjaan seorang manager sepertimu Arza. Namun segera kupasang muka tidak keberatan sama sekali. Memang begitu kenyataannya kok.
"Oooh iya, Pa. Tidak apa-apa. Temuin saja. Siapa tahu penting."
Arza tersenyum mendengar jawabanku. Biarlah aku berusaha sepolos mungkin di depan lelaki curang ini.
Setelah lelaki itu pergi, segera kumasuk ke kamar, memeriksa apakah aku berhasil merekam sesuatu yang aku inginkan. Berhasil nggak yaaa?"
Bersambung...
Bab 6 Aku Tidak Bisa Berlemah-lembut Lagi Ku perhatikan hasil video di handphoneku tadi. Hihiiiw, usahaku berhasil. Rupanya Arza menggunakan sidik jari tengah tangan kirinya untuk membuka akses ponselnya. Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari gawainya. "Pokoknya aku tunggu malam ini sayang." Rupanya ada pesan suara. Walaupun tidak begitu jelas, tapi aku bisa menebak itu suara milik mbak Zorah. Arza terlihat celingak-celinguk, mungkin dia takut aku mendengar pesan suara tadi. Dengan cepat tangannya mengetik pesan di ponselnya. Sayangnya kameraku tidak bisa menangkap pesan yang dia ketik. Bagaimana caranya agar aku bisa tahu semua isi gawainya. Aku berpikir keras. Sebelumnya kus
Bab 7Langkah Awal Sesampainya di rumah kutaruh Apa yang kuberikan tadi ke dalam air minum yang memang disediakan di kamar kami. Sengaja aku taruh agak banyak. Agar fungsinya berjalan lebih baik. Lihat saja kau nanti Arza. Rasa sakit akibat di duakan, hanya orang yang pernah nerasakannya saja yang tahu akan bagaimana pedihnya. Tidak bisa di uraikan dengan kata-kata. Tapi dalam menghadapinya, aku bukan istri dengan tipe serangan membabi-buta, yaitu mengamuk tanpa ampun pada sang suami. Karena selain menguras emosi, tidak ada untungnya juga. Toh suami sudah tidak menyayangi kita lagi. Kalau dia masih menyayangi dan mencintai kita, dia tidak akan selingkuh. Aku lebih senang membalas perselingkuhannya dengan pelan tapi pasti. Belum lama setelah ka
Bab 8 Pesan Duo Pengkhianat Menjelang pagi, sengaja kusuruh mbok Jum hanya membersihkan rumah saja, tanpa memasak. Arza belum juga bangun. Biarin, mau dia terlambat ke kantorpun aku tidak peduli. Kuantar anakku ke sekolah. Kebetulan sekolah Divan dan Davin berada di arah yang sama dengan kantor tempatku bekerja. Buat bekal si kembar, kubelikan saja dua porsi ayam geprek kesukaannya. Sebelum meninggalkan anak-anak, ku kecup kening keduanya seperti biasanya. "Belajar yang rajin ya, jagoan-jagoan Mama." Aku tersenyum. Mereka mencium punggung tanganku. "Siap, Ma. Davin pasti belajar dengan tekun." Ujar Davin sambil menaruh tangannya di kening, seperti gerakan hormat di kegiatan Pramuka
Bab 9Penarikan Pertama. Sepulangnya dari kantor. Kususun sebuah strategi. Bagaimana caranya agar bisa menguasai kartu debit yang ada di dalam dompet Arza. Arza pulang ketika anak-anak sedang tidur siang. Wajah itu menatap jutek. "Ma, kau belum mengirim jatah buat Debbie dan ibunya." Baru saja pulang, sudah menanyakan uang buat Zorah. "Pa, uangku dikit. Seperti kau bilang, aku kan karyawan biasa. Mana ada punya cukup banyak uang." Aku berkata santai. "Jadi kamu menolak untuk memberinya uang bulanan buat mereka?" Dia memajukan wajahnya sedikit. "Bukannya saya menolak, Pa. Tapi memang seperti katamu, kalau gaji seorang karyawan biasa cuma cukup buat jajan anak-anak saja."
Bab 10Santai Saja Arza bangun dari tidurnya ketika matahari hampir terbenam di ufuk barat. Aku masih sibuk menemani anak-anak membereskan mainan-mainan mereka yang berserakan di depan televisi. setelah agak lama duduk di sofa, tanpa sedikitpun berbicara kepada kami. Anak-anak pun seperti luput dari perhatiannya. Arza bangkit lalu berjalan gontai menuju dapur. Tidak lama kemudian dia datang lagi dengan wajah penuh kemarahan. Ada apa dengannya? "Nadine kamu nggak pake masak? Lihat tudung nasi sampai kosong begitu. Apa kerajaanmu dari tadi? I cuma nyantai doang? Istri pemalas. Tidak kau pikir apakah suami sedang lapar? Suami capek-capek membiayai hidup kalian, pulang kerumah makanan tidak di sediakan....!" Untuk sejenak, sengaja kudiamkan Arza yang sedang marah tersebut meluapka
Bab 11Kedatangan Ibu Mertua Sejak pergi sehari yang lalu, Arza belum juga kembali pulang. Mungkin saja dia sungguh-sungguh mengajak Zorah kerumah mertuaku. Pertama aku harus menyiasati bagaimana caranya bisa memiliki rumah ini seutuhnya. Bukan jahat, tapi untuk memberi pelajaran untuk pengkhianat itu. Terlebih dahulu aku mesti berpikir bagaimana cara untuk mengalih namakan rumah ini atas namaku. Dalam masalah ini aku membutuhkan seorang pengacara yang handal. "Ma, apaan melamun terus yuk main bareng kita" Suara Davin membuyarkan lamunan. "Eh iya... Mari!" Kuikuti langkah kaki kedua si kembar.
Bab 12 Berkas Penting Aku menuju sebuah berkas yang sengaja kami gunakan buat menyimpan berkas-berkas penting. Ku pencet tombol-tombol angka. Sial brankas itu tidak bisa terbuka. Apa aku salah mengingat? Tidak mungkin. Ku coba lagi menekan kode angka numerik yang seingatku di pakai buat membuka brankas ini, tidak berhasil. Ini pasti ulah Arza. Aku berinisiatif melakukan sesuatu, agar bisa membuka brankas itu. Arza telah berlaku curang, menggantikan kode numerik brankas ini tanpa seizinku. "Nadine, ibu mau kepasar sebentar, tolong jangan suruh anak-anak bermain lalu membuat berantakan." Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat kepala ibu mertua nongol di sana.
Bab 13 Mertua Cerewet "Halo..." Aku angkat telepon dari bik Jum. Aku heran mengapa dia menelepon di jam kerja, padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. "Halo nduuk, mungkin saya tidak bekerja lagi di rumahmu nduuk." Suara bik Jum terdengar sedih. Ada apa dengannya? Kok mengatakan tidak bekerja di rumahku lagi? "Kenapa mbok? Kok ngomongnya begitu?" "Bu Meri sudah memecat saya tadi. Dia mengusirku pulang Terpaksa aku menurutinya." aku terkejut mengapa ibu memberhentikan bik Jum tanpa konfirmasi dulu padaku. Padahal dia sudah bekerja dengan ku sejak lama. Beberapa hari yang lalu dia juga mengusir Bik Yah. Yang ku mintai pertolongan untuk mencabut rumput rumput yang tumbuh didalam pot bunga di halaman yang jumlahnya tidak bisa dikatakan