Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikan ponsel.
Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.
Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponsel miliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]
Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.
Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. AkPoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
"Bu Raisha sudah sadar?"Kudengar suara Irma menyapa, mata ini masih sangat sulit terbuka lebar. Ya Allah, aku selamat dari hal buruk yang dilakukan Arfian. Terima kasih karena aku masih bisa mendengar suara Irma.Kuanggukan kepala saat lidah begitu Kelu untuk berbicara. Hanya gerakan bada yang bisa dilakukan. Tubuh ini rasanya begitu sakit, teringat berkali-kali terlempar ke tanah.Bagaimana aku bisa di sini? Apa Irma tepat waktu menyelamatkanku? Aku tidak peduli, bagaimanapun, kini diri ini sudah aman bersama Irma.Setelah Irma, kini Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Irma membantunya untuk berada di sisi ranjang. Kepala masih terasa berat untuk mengingat semua. Aku masih bersyukur masih bisa selamat."Sa, maafkan saya karena nggak percaya sama kamu. Saya sungguh bodoh, lebih percaya orang lain. Maaf."Samar-samar kudengar permintaan maaf dari Mas Bambang. Allah, terima kasih telah mengembalikan kepercayaa
Apa yang dilakukan Rianti tidak bisa aku maafkan. Percuma meminta dengan alasan meminjam, kalau dipikir, sekarang ia meminjam, kapan mau dilunasi."Jangan mentang-mentang kamu sekarang kaya raya, jadi kamu bisa sombong, Sa.""Dasar kamu, wanita nggak tahu diri. Merebut Mas Wiji, dan apa kamu lupa perbuatan kamu terhadapku? Kurasa, orang sepertimu harus di binasahkan.""Jaga bicaramu.""Irma, bisa tolong ke luarkan parasit ini dari sini?""Dengan senang hati."Irma menarik lengan Rianti, wajah pelakor itu begitu menggemaskan. Berulang kali ia menepis saat Irma menariknya."Aku bisa ke luar sendiri.""Silahkan."Aku menghela napas saat ia sudah pergi. Dunia itu berputar, aku tidak mau menjadi orang baik, yang nyatanya kebahagiaanku malah direbutnya.Aku benar-benar menyesal membuat mereka bisa melakukan itu di belakangku. Di rumah aku bersusah payah mencuci, gosokkan bajunya, eh dia malah merebut suamiku. 
PoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun, tidak pernah
PoV Wiji Rianti kembali mengomel padaku, uang yang biasa kuberikan padanya harus berkurang jauh dari sebelumnya. Bukan karena aku pelit, tapi gara-gara Raisha menurunkan jabatanku, membuat gaji turun drastis.Mumet memang hidup ini. Terkadang ada penyesalan saat melihat Raisha yang kini begitu cantik. Langsing dan glowing kalau kata wanita jaman sekarang.Kebutuhan Raisha dan Rianti jauh berbeda. Hidup bersama istri pertama membuat aku tidak mengeluarkan banyak uang, berbeda dengan bersama Rianti. Tabunganku sampai habis memenuhi keinginnya.Raisha, dulu saat kubelikan daster seharga 50.000 di pasar pun senang sekali. Sementara, Rianti maunya baju yang bermerek.Sedih bukan main, belum juga gajian sudah ditodong uang oleh Rianti. Wanita sialan memang, terus saja memberondong dengan uang shoping.Dalam hidup, aku tidak pernah meminta belas kasih pada siapa pun. Saat aku berselingkuh dengan Rianti pun
"Bu Raisa, Bu, bangun."Aku merasa tubuhku terguncang-guncang, saat membuka mata, aku langsung mencari di mana Arman. Ya Allah, itu mimpi, kenapa seperti nyata? Apa aku terlalu takut dengan Arfian hingga membuat aku terbayang-bayang?"Ibu, minum dulu. Saya coba bangunkan dari tadi Ibu malah terus berteriak. Mimpi apa, Bu?" Irma bertanya sembari memberikan minuman padaku.Aku meneguk air yang diberikan Irma untuk menenangkan diri. Bagaimana keadaan Arman?"Sa--saya, beneran mimpi? Arman mana?" tanyaku masih dengan gugup."Arman tidur, Ibu jangan banyak pikiran. Nanti, stres. Pasti Ibu memikirkan Arfian, kan?"Seperti dugaan Irma, memang aku memikirkan Arfian. aku takut dia datang dan mengacaukan hidupku. Seperti yang kualami di mimpi itu. Perasaan takut sampai membuat aku tidur saja tidak tenang.Memang aku trauma dengan hal itu. Membingungkan memang, harusnya aku tenang dengan adanya Irma dan penjagaan poli
POV WiJi"Kamu dari mana, Mas?" tanya Rianti."Lembur." Kujawab saja asal, dia tidak boleh tahu kalau aku bertemu Arman tadi."Kopi buat aku mana?""Kopi, gula semua habis.""Loh, kemarin aku, kan baru saja kasih kamu uang, masa, iya habis?""Ya, ampun, Mas. Uang 500.000 seminggu dapat apa? Aku saja makan sehari online bisa 100.000. Kamu tahu nggak, aku sampai pakai tabungan aku nih.""Gila kamu, sudah tahu aku lagi pailit, kenapa nggak diirit saja. Beli makan di warteg depan sana, biar cukup seminggu.""Mas, mana level aku sama makanan itu. Adanya sakit perut."Aku benar-benar muak dengan tingkah Rianti. Semenjak aku pailit, dia bukan memberi semangat, tetapi malah membuat aku semakin pusing dengan berbagai permintaannya.Uang yang kuberikan kemarin saja habis, pasti dia akan meminta uang kembali nanti."Halah, sebelum menikah sama aku, kamu juga ma
Jahat sekali Rianti, bukan hanya merebut Mas Wiji saja, dia pun menggunakan nama kami untuk menghasilkan uang setiap bulan dari Mas Wiji.Kalau saja Mas Wiji tidak berbicara padaku, mungkin aku tidak mengetahuinya. Selama ini harusnya kami tidak tidur di jalan. Semua ulah Rianti, perempuan jahat itu harus terkena karmanya.Sejak dulu, aku tidak pernah iri padanya. Tinggal di rumah ibunya pun, aku bekerja. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan Rianti. Aku selalu membuat hidupnya enak, ternyata dia tidak berterima kasih padaku.Aku menghela napas, Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Ia menatapku tak berkedip."Mas, kenapa?""Kamu memikirkan apa, sampai saya ada di sini kamu tidak sadar." Ia tersenyum padahal sudah kuacuhkan.Bagaiamana bisa aku bercerita tentang Mas Wiji? Tidak mungkin aku melakukan itu, bisa tidak enak dengan Mas Bambang. Biarkan saja menjadi cerita duka yang hanya aku simpan sen