"Hei, Mbak sudah pulang?"Aku terkesiap tiba-tiba saja Susan keluar dari kamar dan memergokiku yang sedang melamun."Hem, kelihatannya?"Wanita itu mengukir senyum setenang mungkin, ah sepertinya ia sudah membaca isi hatiku saat ini."Gimana ngurus restoran? Mbak hepy?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis."Tentu saja, aku tidak selemah apa yang kamu kira, Susan, lalu bagaimana dengan Mas Ferdi? Perubahan apa yang sudah terjadi selama sebulan ini hem?" tanyaku."Begitulah, sekarang dia sudah bisa bicara walau masih terbata, dan aku yakin barusan Mbak mendengarnya 'kan?" Wanita itu menyeringai lebar hingga deretan giginya terlihat jelas.Jelas ia sangat bangga mendengar kata cinta yang terlontar dari mulut Mas Ferdi, dan karena hali itu ia merasa bisa mengalahkan aku.Menghirup napas perlahan, mengusir debar cemburu yang merasuki hatiku, sebesar apapun rasa benci terhadap Mas Ferdi tetap saja aku belum bisa menerima kemesraan mereka di hadapan mata, aku lebih suka melihat mereka se
Aku langsung mendorong kursi roda Mas Ferdi menuju sumber keributan, sampai di dapur kulihat Dita dan Dara saling berpelukan sambil menatap Susan ketakutan."Ada apa sih?""Tolong ajari anakmu ini sopan santun ya, Mbak, aku selalu diam dan sabar ketika mereka memainkan lipstikku untuk mencoret-coret kaca.""Aku juga sabar saat bedak mahalku pecah berserakan di lantai akibat dijatuhkan mereka, aku juga sabar ketika mereka menyemprotkan parfum kesayanganku ke seluruh ruangan hingga habis.""Tapi sekarang, aku tak bisa sabar lagi ketika sedang makan dan mereka berdua menaruh kecoa di atas piringku, untung saja kecoa itu tak tertelan."Anak-anak baik, malang sekali nasibmu, Nak. Tapi mama acungi jempol atas perbuatan yang kalian lakukan, kalian memang anak pintar."Ya ampun, sini, Sayang." Aku merentangkan sebelah tangan lalu memeluk mereka berdua dan mencium ubun-ubunnya, setelah itu menatap wajah Susan yang penuh kobaran api dengan lembut."Mereka 'kan masih kecil, San, bisa loh dikasih
"Jadi kamu dendam sama aku? Hei kumohon berkacalah, Susan." Aku memiringkan bibir "Kamu." Aku menekan dada Susan dengan jari telunjuk."Sudah menikah diam-diam dengan suamiku, dan hal itu sangat menyakitkan bagi setiap wanita, tetapi lihatlah bahkan aku masih baik padamu dengan memberikan tempat tinggal dan makan gratis, tapi tetap saja ya kamu bersikap tak tahu malu." "Sampai kapanpun kamu tak akan bisa mempermalukanku, karena apa? Karena aku tidak pernah mempermalukan diri sendiri sepertimu."Aku tersenyum sinis.*"Hari ini aku yang akan antar Mas Ferdi terapi, kamu di rumah saja ya, San. Oh ya aku sudah deposit uang di salon Mutiara atas namamu, pergilah siapa tahu kamu butuh merawat diri," ujarku sambil bersiap.Mata Susan berbinar, mungkin untuk pertama kali aku memanjakannya serasa di surga, ia tak tahu saja kejutan apa yang akan didapat di tempat itu."Ok, sekalian aku ajak Ibu ya, Mbak.""Hem, terserah."Wajahnya mendadak ceria, setelah siap kami berempat berangkat mengguna
Aku mendorong kursi roda Mas Ferdi ke dalam rumah, di ruang keluarga Susan terlihat sedang duduk merenung dengan tatapan kosong dan memeluk bantal sofa.Menyadari kami datang ia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Aku melewatinya begitu saja tanpa menyapa sama sekali.Namun, saat meneguk air di dapur ia menghampiriku sambil cemberut."Kenapa sih ga habis-habisnya Mbak bikin aku malu?""Bikin malu apa, Sih?" tanyaku dengan nada dibuat malas."Mbak sengaja 'kan nyuruh aku perawatan di salon itu cuma buat aku malu, mereka yang ada di salon itu nyinyirin aku dengan kata-kata pedas, padahal aku ini istri kedua, bukan pelakor!""Aku dinikahi dan sah secara agama sama Mas Ferdi bukan dijadikan simpanan, Mbak, kamu terima dong kenyataan ini," lanjutnya dengan mata membeliak.Kuremas gelas yang sedang digenggam lalu menaruhnya dengan kasar di meja."Kamu fikir aku ga tahu apa yang kalian lakukan di belakangku jauh-jauh hari Hem?""Kamu fikir aku ga tahu kalau Mas Ferdi sering nyawer kamu,
"Ya sudah aku akan memesan bubur lewat aplikasi, sekarang kita mandi dulu ya, Mas."Lelaki yang dahulu sering menyakitiku dengan kata-kata pedasnya itu hanya diam dan menatap pasrah, aku mulai melucuti baju, celana dan juga popoknya yang terlihat sudah penuh oleh kotoran.Bau menyengat menusuk hidung. Namun, aku sudah terbiasa menghirup aroma ini sehingga bisa biasa saja, setelah area pantat bersih aku mulai memakaikan popok yang baru, lalu mengelap tubuh Mas Ferdi dengan handuk basah, setelah itu memakaikan baju ganti untuknya.Benar-benar melelahkan rasanya aku seperti memiliki bayi, tetapi hatiku mendadak sedih saat teringat jika Mas Ferdi bisa mengalami hal ini pun memang karena ulahku sendiri.Rasa sesal, kecewa sakit hati dan lelah menyatu dalam hatiku, terkadang aku ketakutan karena telah menyakiti suami sendiri."Sudah selesai, aku mau mandi dulu ya, Mas, baru pulang soalnya."Sebagai respon ia hanya mengedipkan mata."Kak." Aku membuka pintu kamar Desti, anak itu sedang memb
(POV SUSAN)"Pantas saja akhir-akhir ini sering lemas dan pusing ternyata aku hamil, Fer," ucapku.Ferdi menatapku sambil menghisap rokoknya setelah itu mengbuskannya dengan kasar."Masa sih? Kok bisa hamil padahal 'kan udah pakai pengaman?""Kamu gimana sih masa ga percaya, ini buktinya dan aku juga udah telat tiga bulan ga haid."Aku menyerahkan alat tes kehamilan pada Ferdi, ia menatap benda kecil itu dengan serius lalu menatapku lagi "Kira-kira sudah berapa bulan?""Tiga bulan lebih," jawabku sambil menatapnya putus asa.Umurku baru enam belas tahun dan sedang hamil tanpa ikatan pernikahan, tak terbayang di kampung sana jika ibu dan ayahku tahu.Aku memejamkan mata merasa pening luar biasa, terlebih Ferdi hanya seorang supir truk panggilan, akan jadi apa masa depanku jika menikah dengannya, tak hanya itu aku pun tahu seperti apa pergaulan Ferdi, liar dan tak terkendali."Apa yang mau kamu lakukan? Menikah denganku atau ...."Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, saat ini aku ma
(POV SUSAN)Jujur saja hatiku terenyuh melihat bayi mungil ini menggeliat dan menciumi dadaku, tetapi tidak dengan Ferdi, ia malah menyuruhku untuk berpikir di mana akan membuang bayi itu.Akhirnya tepat di hadapan sebuah panti asuhan kami membuang bayi yang masih merah ini, tepat di tengah malam saat orang-orang sedang terlelap.Aku menatap bayiku yang terbaring di teras dengan air mata menitik dan hati teriris perih, bagaimana lagi masa depanku masih panjang, aku tak ingin kehilangan masa muda karena mengurusnya."Sudah, tak usah ditangisi, hal ini lebih baik dari pada masa mudamu dihabiskan untuk mengurus bayi," ucap Ferdi, beda denganku ia seperti tak merasakan sesuatu.Seiring berjalannya waktu hubunganku dan Ferdi semakin menjauh, begitu pula denganku yang semakin sibuk dengan dunia sendiri, hingga tanpa disadari kami bisa saling melepas tanpa rasa sakit dan penyesalan.Aku terbiasa hidup sendiri dengan dunia baru, begitu pula dengan Ferdi yang tak pernah memberi kabar atau pun
(POV YULI)Dua tahun setelah Susan pergi akhirnya kedamaian menghampiri hidupku lagi, Mas Ferdi pun sudah banyak memiliki kemajuan, wanita itu benar-benar menghilang dari kehidupan kami.Aku membawanya terapi dan pengobatan alternatif agar ia cepat sembuh, dan sekarang pengobatan itu membuahkan hasil, Mas Ferdi sudah lancar berbicara dan sudah bisa berjalan walau masih menggunakan satu tongkat.Begitu pula dengan anak-anak, kini mereka bisa dekat dengan ayahnya, dan yang membuat hatiku terenyuh anak sulung kami berubah ceria tak sedingin dulu.Aku benar-benar bahagia dan mulai lupa atas pengkhianatan Mas Ferdi, terlebih lelaki itu pun terlihat menyayangiku dan tak lagi menunjukkan ambisinya memiliki anak lelaki."Mas, hari sudah mulai panas, masuklah," ujarku."Tolong bantu aku berdiri, Yul," jawabnya sambil tersenyum.Dengan sekuat tenaga aku membantunya berdiri dan menggandengnya masuk ke dalam, setelah itu Mas Ferdi akan membantu Dara bersiap ke sekolah, lalu setelah pulang sekolah