Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
"Seminggu yang lalu aku udah nikah siri sama Susan, aku harap kalian bisa akur ya tinggal di sini."Rahangku mengeras menatap wanita yang memakai dress ungu selutut itu, wajahnya memang tak asing lagi, dia penyanyi dangdut yang berasal dari kampung sebrang.Wanita itu tersenyum tapi aku hanya menatap datar wajah bulatnya, ingin sekali aku menjamb*k rambutnya, lalu menyeret wanita itu ke jalanan karena sudah berani menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping."Kenapa harus di rumah ini, Mas? Kamu 'kan bisa bawa dia ke tempat lain, ngontrak kek atau beli rumah baru." Kutatap wajah Mas Ferdi setajam elang Lelaki yang sudah menikahiku sepuluh tahun lamanya itu sangat berambisi ingin memiliki anak laki-laki, apalah daya ketiga anak kami semuanya perempuan, dan yang lebih buruk aku tak bisa mengandung lagi.Lelaki itu sangat mengharapkan hadirnya bayi laki-laki dari rahim perempuan ini, tapi aku takkan membiarkan hal itu terjadi."Duh buang-buang duit aja, rumah ini besar punya enam kam
Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang, karena jika ngebut aku takut anak-anak dalam bahaya dan kami mati konyol bersama, lalu Mas Ferdi dan Susan akan hidup bahagia, oh tidak.Meski sekuat tenaga kutahan tapi tetap saja cairan dari mata dan hidung berdesakan keluar, dan membuat konsentrasi mengemudikan motor ini sedikit buyar."Mama sedih ya Ayah nikah lagi," ucap Desti anak sulungku yang berumur sembilan tahun.Saat ia turun dari motor matanya langsung menatapku dengan iba dan bisa jadi ia juga menyadari tangisanku saat mengemudi motor tadi, anak sulungku sudah besar dan ia cukup mengerti seperti apa isi hati ibunya.Kuukir sebuah senyuman menandakan jika aku baik-baik saja, meski dalam hati aku ragu jika senyuman ini tak dapat menghalau kekhawatiran anakku."Mama ga apa-apa, Kak, sana masuk dan jangan jajan sembarangan ya."Putriku itu menundukkan wajah beberapa saat lalu menatapku lagi, dapat kulihat di matanya yang jernih ada buliran-buliran bening."Ayah sudah jahat ya sam
Banyak gaya! Dulu saja ketika awal pernikahanku, Mas Ferdi tak pernah mengajak bulan madu, malah mengajakku ngontrak rumah petakan.Sekarang setelah ia sukses dan banyak uang bukan malah memanjakanku yang selama ini mendukung dan mendampinginya, malah membahagiakan wanita lain yang baru dikenalnya.Miris memang."Oh kalian berencana bulan madu ya? Tapi gimana lagi uangnya sudah habis aku depositokan ke rumah sakit ini untuk biaya perawatan Mas Ferdi, ya ... dari pada hutang sana sini mending uangnya dipakai dulu kali ya." Aku tersenyum kecut."Oh ya, Mas, sepertinya aku harus pulang karena sebentar lagi Desti pulang sekolah, Dita dan Dara juga kutitipkan pada ibu."Raut wajah Susan menjadi masam, bukankah aku terlalu baik membiarkannya untuk selalu bersama Mas Ferdi.Dasar tak tahu terima kasih.Sementara Mas Ferdi hanya menatap gerak-gerikku, entah seperti apa kondisinya kini yang jelas sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara."Tapi, Mbak, aku belum mandi dari pagi, boleh Mbak di sini
"Kau masih mau makan, Mas?"Aku tertawa jahat saat menyadari jika lelaki yang sedang kuajak bicara ini tak bisa mengeluarkan suara apapun."Baiklah, kita habiskan bubur ini."Aku menyuapkan satu sendok bubur yang sedikit cair ke dalam mulutnya yang terbuka setengah."Lihatlah, Mas, Susan itu ga ada gunanya 'kan? Dia malah ingin mengelola restoran sementara dia menyuruhku mengurusmu, itu artinya apa? Dia hanya mau uangmu saja."Tatapan mata Mas Ferdi mendadak sayu seperti hendak mengeluarkan air mata, dan aku sangat berharap ada sebuah penyesalan yang menggerogoti hatinya."Malang sekali nasibmu, Mas. Dan dari kejadian ini harusnya kamu berpikir agar mensyukuri nikmat yang ada, bukan malah fokus pada ambisi yang tak nyata."Sambil tersenyum miring aku kembali menyuapkan bubur ke mulutnya."Kamu sangat ingin punya anak lelaki, sampai berani menikah lagi diam-diam, padahal di rumah ketiga putrimu sangat menyayangimu, Mas. Dan kamu harus tahu jika ketiga putri kita terluka oleh perbuatanm
"Aku juga istrinya Mas Ferdi, tapi kenapa keuangan hanya dikuasai Mbak saja sih, aku juga sama butuh uang untuk kebutuhan," ucap Susan sambil duduk di kursi ruangan staf restoran ini.Semua karyawan memandang Susan dengan tatapan menjijikkan, apalagi rok mini yang memperlihatkan paha putihnya, ditambah dengan tonjolan gunung kembar yang menantang, semua orang menyorot bagian itu.Kuakui tubuh Susan memang sempurna, berkulit putih, tinggi dan juga berisi, didukung dengan wajah mulus tanpa sedikitpun jerawat yang mengotori."Jangan mentang-mentang Mbak istri pertama dan aku hanya istri siri Mbak bisa seenaknya zalimi aku kaya gini ya.""Aku yakin kalau Mas Ferdi ga sakit mungkin sekarang dia udah marah sama kelakuan Mbak ini, dan bisa saja dia juga langsung menceraikan Mbak."Kubiarkan wanita ini mengoceh sepuasnya, dan aku diam bukan berarti kalah melainkan mencari celah untuk menjatuhkannya."Lalu apa yang kamu mau hem? Uang?" tanyaku sambil bersilang tangan di dada."Ya tentu saja se
"Hei, Mbak sudah pulang?"Aku terkesiap tiba-tiba saja Susan keluar dari kamar dan memergokiku yang sedang melamun."Hem, kelihatannya?"Wanita itu mengukir senyum setenang mungkin, ah sepertinya ia sudah membaca isi hatiku saat ini."Gimana ngurus restoran? Mbak hepy?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis."Tentu saja, aku tidak selemah apa yang kamu kira, Susan, lalu bagaimana dengan Mas Ferdi? Perubahan apa yang sudah terjadi selama sebulan ini hem?" tanyaku."Begitulah, sekarang dia sudah bisa bicara walau masih terbata, dan aku yakin barusan Mbak mendengarnya 'kan?" Wanita itu menyeringai lebar hingga deretan giginya terlihat jelas.Jelas ia sangat bangga mendengar kata cinta yang terlontar dari mulut Mas Ferdi, dan karena hali itu ia merasa bisa mengalahkan aku.Menghirup napas perlahan, mengusir debar cemburu yang merasuki hatiku, sebesar apapun rasa benci terhadap Mas Ferdi tetap saja aku belum bisa menerima kemesraan mereka di hadapan mata, aku lebih suka melihat mereka se