Share

Bab 3

 

Banyak gaya! Dulu saja ketika awal pernikahanku, Mas Ferdi tak pernah mengajak bulan madu, malah mengajakku ngontrak rumah petakan.

 

Sekarang setelah ia sukses dan banyak uang bukan malah memanjakanku yang selama ini mendukung dan mendampinginya, malah membahagiakan wanita lain yang baru dikenalnya.

 

Miris memang.

 

"Oh kalian berencana bulan madu ya? Tapi gimana lagi uangnya sudah habis aku depositokan ke rumah sakit ini untuk biaya perawatan Mas Ferdi, ya ... dari pada hutang sana sini mending uangnya dipakai dulu kali ya." Aku tersenyum kecut.

 

"Oh ya, Mas, sepertinya aku harus pulang karena sebentar lagi Desti pulang sekolah, Dita dan Dara juga kutitipkan pada ibu."

 

Raut wajah Susan menjadi masam, bukankah aku terlalu baik membiarkannya untuk selalu bersama Mas Ferdi.

 

Dasar tak tahu terima kasih.

 

Sementara Mas Ferdi hanya menatap gerak-gerikku, entah seperti apa kondisinya kini yang jelas sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara.

 

"Tapi, Mbak, aku belum mandi dari pagi, boleh Mbak di sini dulu sebentar?" pinta Susan.

 

Aku langsung mengerlingkan mata, dari bahasa tubuhnya dapat kubaca jika ia memang malas berada di sini.

 

"Baiklah, masih ada waktu satu jam."

 

Ia mengangguk lalu pergi. Namun, beberapa detik kemudian Susan kembali lagi sambil nyengir 

 

"Aku ... aku ga bawa duit buat ongkos, Mbak."

 

Kuembuskan napas kasar sambil melirik ke arah jendela, benar-benar menyebalkan, nambah istri malah menambah beban saja.

 

Aku merogoh uang dua puluh ribu dari dalam tas lalu merentangkan sebelah tangan hendak memberikan uang tersebut. Namun, saat ia hendak meraihnya dengan sengaja uang itu kujatuhkan ke lantai.

 

"Duh jatuh, pungut sana," titahku dengan tatapan remeh.

 

Susan langsung merenggut menatapku.

 

"Bukankah kamu terbiasa memungut sesuatu." Bukan lagi berwajah sini, kini Susan memandangku dengan tajam.

 

Perempuan itu telah pergi kini hanya aku berdua dengan Mas Ferdi, kata suster beberapa jam yang lalu ia sempat koma, dan beruntung kesadarannya tak lama kembali lagi.

 

Kutatap wajah Mas Ferdi yang kini tak setampan dulu, bisa apa ia sekarang? Menyakitiku dengan bermesraan bersama Susan di hadapanku? Atau bercinta dengan wanita itu hingga dengan sengaja mengeraskan er*ngan agar aku mendengarnya?

 

Aku mengulum senyum, mengingat sekarang akulah penguasa di istanaku sendiri, akan kuperbudak istri keduamu itu, Mas.

 

"Bagaimana keadaanmu, Mas, apa kamu senang sekarang?" tanyaku sambil tersenyum sinis.

 

Ia hanya berkedip, bola matanya bergulir menghindari tatapanku, apakah ia malu?

 

"Kamu lihat 'kan barusan, dari sorot wajah dan bahasa tubuhnya istri keduamu itu seperti tak tahan berada di sini, kita lihat saja sampai kapan dia akan bertahan menjadi istrimu, Mas." Aku mengulum senyum.

 

 "Oh ya, karena setelah ini kamu pasti membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan, maka tak ada jatah uang bulanan buat Susan, tapi tenang saja dia bisa makan dan tidur gratis di rumah kita, buat dia semuanya gratis, termasuk tenaganya."

 

Kali ini Mas Ferdi menatapku tajam, tapi ia bisa apa? Jangankan marah, buang air besar saja harus dibantu.

 

Tepat satu jam kemudian Susan kembali datang dengan penampilan serba mini, celana pendek di atas lutut, dipadukan dengan kaos longgar tapi menampakkan perut.

 

"Aku jemput anak-anak dulu ya, San. Oh ya popok Mas Ferdi sepertinya harus diganti tuh, kamu tahu 'kan caranya membersihkan kotoran orang lumpuh."

 

"Hah." Mulut wanita itu menganga dengan mata membulat.

 

"Tapi, Mbak, aku ... aku ga bisa." wajah Susan meringis.

 

"Duh harus bisa dong 'kan kamu istri kesayangannya, aku ga ada waktu takut Desti terlalu lama nunggu."

 

Tanpa berkata lagi aku bergegas pergi meski berkali-kali ia memanggil-manggil namaku. 

 

Rasakan itu Susan, kau jangan hanya mau enaknya saja menjadi istri Mas Ferdi, kau juga harus merasakan bagaimana getirnya perjuangan.

 

*

 

Sudah satu Minggu Mas Ferdi di rumah sakit dan kini waktunya ia pulang, aku tak berniat menjemput hanya menelpon Hani--adik Mas Ferdi--agar membawa mobil dan menjemput Mas Ferdi di sana.

 

Hani marah besar ketika tahu kakaknya telah menikah lagi demi memiliki anak laki-laki, dan tentu saja adik iparku itu tak menyukai Susan. Apalagi jika ibu mertua tahu aku yakin ibu akan menyindirnya habis-habisan.

 

Namun, sayang sekarang ini mertuaku sudah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, penyakit komplikasi telah menggerogoti tubuh rentanya.

 

Saat mobil Avanza hitam Hani terparkir di hakam rumah aku keluar menyambut dan membantu Mas Ferdi turun dan duduk di kursi roda, lalu mendorongnya untuk masuk ke dalam.

 

"Aku ga bayangin seperti perasaanmu sekarang, Mbak, tinggal satu atap dengan madu sendiri." Hani menghela napas lalu terbengong sambil menatap wajahku.

 

"Tolong maafkan kakakku, Mbak."

 

Aku tersenyum tipis. "Bagaimana lagi, Han, kalau dibilang sakit hati ya tentu saja."

 

Usai Hani pulang aku langsung masuk ke kamar belakang, dengan telaten Susan menyuapi Mas Ferdi dengan bubur karena ia masih kesulitan menelan makanan.

 

"Mbak, aku mau bicara," ucapnya.

 

Ia menaruh mangkuk yang hampir habis itu d meja, lalu menghampiriku yah sedang berdiri di ambang pintu.

 

"Karena sekarang Mas Ferdi ga bisa kerja maka mulai sekarang restoran aku yang kelola, aku juga istrinya dan berhak atas itu, lagi pula Mbak 'kan sibuk mengurus anak-anak, aku yakin Mbak takkan sanggup menggantikan Mas Ferdi." Bibir Susan  mengukir senyum kemenangan.

 

Oh, ia tak menyerah rupanya sekarang ia ingin menguasai usaha Mas Ferdi, dan menganggapku seorang istri yang tak bisa berbuat apa-apa. Kamu salah besar, Susan.

 

"Memangnya kamu bisa mengelola restoran Hem? Bukankah yang kamu tahu hanya berjoged dan merayu lelaki hidung belang demi saweran?" Aku terkikik, sementara wajah Susan langsung masam.

 

"Pokoknya mulai hari ini restoran Mas Ferdi aku yang kelola, dan Mbak bisa pokus ngurus Mas Ferdi di rumah." Sambil cemberut ia berlalu dari hadapanku.

 

Setelah itu ia kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan pergi dari rumah ini, mungkin tujuannya menuju restoran.

 

Aku langsung menelpon Caca, dia adalah salah satu orang kepercayaanku di restoran.

 

"Ya, Bu, kenapa?"

 

"Ca, wanita bernama Susan akan ke sana, dia istri kedua Pak Ferdi, katanya sih dia mau mengelola restoran, kamu biarkan aja dia melakukan apapun di sana, tapi ingat penghasilan resto harus di transfer ke rekeningku ya mulai sekarang."

 

"Oh, baik, Bu." Telpon kututup.

 

Aku tersenyum puas, silakan saja bekerja keras di sana, Susan.

 

Bersambung.

 

 

 

 

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
laaaa kabur dia nggak mau ngurus suami sakit cabein aja Mbak Yuli
goodnovel comment avatar
Hanum Anindya
kalau aku jadi istri pertama ku cakar tuh muka Susan,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status