"Mir, ini tanda tangan. Ada yang mau ajak kerja sama. Buat launcing model baru produk panci kita," ujar Tiara menyodorkan Map di meja kerjaku.
"Iya, Ra. Sabar. Lagi asik nih."
"Hadeh, lu masih aja posting suami lu di status? gak guna tau. Mending langsung cerein aja."
"Hust, enak aja. Santai, Ra. Sebagai perempuan masa kini, kita harus main cantik. Buat tukang selingkuh menyesal. Lalu, hempasan, hahaha."
"Heran, lu masih bisa ketawa. Padahal, udah tahu diselingkuhi. Emang bener-bener perempuan langka. Gua salut, punya temen kaya lu."
Aku hanya menampakkan senyum termanis di dunia. Maklumi saja jika Tiara berbicara demikian. Dia belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga. Hanya tahu aku wanita yang tegar. Padahal, aku juga pernah menangis ketika mengetahui kejadian ini. Dikhianati suami sendiri dengan sahabatnya. Bahkan, selingkuhannya sudah aku anggap teman dekat.
"Doakan aku selalu tega, Ra." Tiara hanya mengangguk dengan senyum miring.
"Aamiin, Ra. Ya udah, nanti ajah gua minta tanda tangannya." Tiara keluar dari ruanganku.
Ponselku berdering. Tertera nama Mas Adam. Bibirku tertarik ke samping. Menampakkan senyum sinis. Sesuai perkiraan dia akan menelponku setelah sampai di kantornya.
Aku memang sudah mempersiapkan banner untuk menyambut dia dan selingkuhannya. Dia pikir aku bodoh? setelah mengetahui perselingkuhannya, aku tentu lebih hati-hati. Sengaja memasang banyak cctv. Untuk mengawasi gerak gerik suamiku. Nantinya, akan aku gunakan sebagai bukti untuk menuntutnya.
Namun, tak akan aku lepaskan dua penghianat itu sebelum menyadarkan mereka dengan fakta yang menampar hati. Lihat saja Mas, kamu akan menyesal seumur hidup dengan pilihanmu. Ada masanya, aku akan menghempaskan dirimu dalam kesengsaraan.
"Hallo, Mas, kenapa? aku lagi sibuk jualan panci. Ganggu aja."
"Terserah kamu mau jualan panci atau jualan celana dalem sekali pun. Yang ingin aku permasalahkan, kenapa mukaku dipasang di banner besar dengan pose memalukan memegang panci-pancimu, hah?" tanya Mas Adam melalui sambungan telepon dengan nada tak bersahabat.
Dia pasti malu luar biasa. Citranya tercoreng habis-habisan. Wajahnya bukan hanya aku promosikan di dunia Maya, tetapi di dunia nyata juga, hahahah. Kapok 'kan kamu, Mas? mangkanya, jangan berani-berani mempermainkanku.
"Gimana Mas, keren gak bennernya?"
"Gila kamu, Mira. Kamu mau jadi istri durhaka, hah? cepat bereskan banner-banner sampahmu ini. Hapus semua postingan promosimu. Dasar tidak waras. Tega-teganya kamu menjual suami sendiri."
Dasar makhluk tak tahu diri. Sama sekali tak menyadari kesalahannya. Dia malah menghujatku habis-habisan. Seolah-olah akulah penjahatnya.
"Kali-kali, Mas. Demi cuan. Kamu harus tahu, Mas. Perusahan panci tempat aku jadi reseller, sedang mengadakan sayembara dengan hadiah rumah mewah. Emang kamu gak mau?"
"Hah? sayembara apa?" tanyanya mulai melunak. Dasar pria matre.
"Sayembara untuk menjadikan suami sendiri model iklan panci-panci yang akan dijual."
Aku tahu alasan dia tetap bertahan denganku, pasti karena harta orang tuaku. Apalagi saat dia tahu, kalau akulah pemilik perusahan panci ini. Pasti Mas Adam akan menghalalkan segala cara untuk tetap mempertahankanku menjadi mesin uangnya.
Untung saja, aku mendengarkan saran dari Tiara. Menyembunyikan siapa diriku yang sebenarnya sejak awal pacaran dengan Mas Adam. Awalnya setelah satu tahun pernikahan ini, aku ingin memberitahu semuanya. Bahwa aku punya usaha yang menjanjikan. Agar suamiku tak usah cape-cape lembur. Namun, niat itu aku urungkan. Saat Bumi menyodorkan banyak bukti tentang perselingkuhan Mas Adam.
Saat aku cari tahu kebenarannya, ternyata kenyataannya memang begitu. Suami yang aku cintai, tega msnghinati. Hanya demi perempuan tak punya hati seperti Diana. Perempuan yang tega merebut suami orang lain. Padahal, aku sudah memperlakukannya sebaik mungkin sebagai sahabat suamiku.
Ternyata memang memang benar, tak ada kata persahabatan untuk pria dan wanita. Pasti ada rasa yang tersimpan. Entah dari salah satunya, atau dua-duanya.
"Kamu serius hadiahnya rumah mewah?"
"Iya, Mas. Tapi, masih ada persyaratan lainnya. Kamu mau gak?"
Mas Adam tak langsung menjawab. Mungkin dia sedang berdiskusi dengan selingkuhannya. Aku yakin mereka pasti menyetujui tawaranku. Maklum, dua-duanya sama-sama mata duitan. Lihat saja, aku akan mengajak mereka bermain-main.
"Gimana, Mas? kalau gak mau ya, udah. Paling temenku yang dapat hadiah sama suaminya. Padahal, sayang banget loh, Mas. Sainganku cuman ada tiga orang. Sisanya belom pada nikah. Ada juga yang suaminya gak mau. Peluang kita menang cukup besar."
"Ya sudah, mau, mau. Tapi, nanti rumahnya harus atas nama aku."
"Siap. Bisa diatur soal itu."
"Oke, sip. Katakan saja apa syarat selanjutnya."
"Nanti pas kamu pulang kantor, biar aku kasih tahu. Sekarang, kamu fokus kerja saja. Jangan lupa, bennernya gak boleh dicopot."
"Masa gak boleh dicopot? aku malu, Mir."
"Mau menang gak?"
"Ya sudah, ya sudah."
Sambungan telepon dimatikan. Mereka masuk dalam jebakanku. Suruh siapa bermain gila di belakangku. Jangan salahkan aku, jika semuanya akan aku bongkar dengan elegan.
"Jadi, rencana selanjutnya apa, Mir?" tanya Tiara saat kami makan malam.
"Ikuti saja perintahku, Ra. Pelan-pelan tapi pasti. Tugas utama kamu, untuk sementara hanya mengumpulkan bukti berupa video dan foto sebanyak mungkin. Untuk mempermudah persidanganku nantinya."
"Siap. Asal imbalannya, deketin gua sama pria tampan yang gua suka."
"Siapa?"
"Ya, itu loh ...."
"Siapa?"
"Bumi. Pria yang ngasih tahu lu tentang semua ini. Ketampanan, simpati, dan kejujurannya menggugah hati. Oh ... seksinya pria itu," ujar Tiara sambil menampakkan ekspresi seksi menjilat jari jemarinya yang penuhi bumbu sambal.
"Hahaha, tergantung. Kalau Bumi mau sama kamu."
"Ih, harus mau. Lu harus dukung gua dong, Mir. Gua 'kan sudah menjadi asisten pribadi, sekaligus sahabat rasa adik juga. Kali-kali buat gua bahagia."
"Dikasih kartu buat shopping juga kamu bahagia."
"Iya sih. Ya, sama dikasih cogan, lebih bahagia," kekehnya membuatku tertawa geli.
Menjelang isya, kami selesai makan dan mengurus beberapa pekerjaan. Seperti biasa, Tiara mengantarku pulang. Tentu aku tidak bisa membawa mobilku sendiri ke rumah. Mas Adam bisa curiga.
"Calon mantan suami lu kayanya udah balik, Mir."
"Iya, tuh. Tumben. Ya udah, aku masuk dulu. Makasih Tiara."
"Oke ibu Bos."
Aku turun dari mobil. Berjalan dengan langkah hati-hati. Supaya tidak menimbulkan suara. Baru sampai pintu aku mendengar suara desahan yang menggangu pendengaran. Pasti dua manusia yang tidak tahu itu sedang melakukan aneh-aneh.
"Mas, buka pintunya!"
"Se-sebentar."
"Cepetan. Aku cape nih."
"Kamu ngagetin aja, Mir," ujar Mas Adam membuka pintu. Dia tampak menghalangi aku masuk. Namun, dengan paksa aku menerobos.
"Lagian, kenapa segala dikunci."
"Eh, ada Diana," sambungku saat melihat perempuan itu duduk dengan gugup. Kancing baju paling atas tampak terbuka.
"Hey, Mi-mir. Aku numpang istirahat dulu. Jadi, mampir ke sini."
"Iya, gak papa. Kebetulan kamu ke sini. Aku jadi ada ide pemotretan untuk persyaratan lomba promosi panci bersama suamiku."
"Hah, maksudnya?"
"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."
Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik.
"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik. "Ti-tidak usah, Mir. Kalian saja.""Ih, jangan gitu dong, Na. Aku punya konsep iklan yang bagus nih.""Ko-konsep apa?""Konsep Lempar Panci untuk Pelakor.""Maksud kamu apa pake konsep kaya gitu?" tanya Mas Adam tampak tidak suka. "Santai dong, Mas. Jadi, bos panci aku itu cewek, Mas. Dia suka konsep-konsep marketing yang unik. Sedangkan temen-temenku yang lain, pake konsep iklan yang biasa. Cuman pose mesra sama suami dan panci dagangannya. Kalau aku, mau pake ide yang berbeda. Tahu aja menang gitu.""Maaf, Mir. Aku gak mau," tolak Diana dengan senyum terpaksa. "Yah, ko, gak mau, Sih. Cuman kamu doang temen cewek kita. Tolonglah, bantu. Sekali ini saja. Demi hadiah rumah," ujarku mengatupkan tangan untuk memohon. Diana
POV Adam "Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa."Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu.""Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas.""Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan.""Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin
"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai kehilangan tambang emasku. "Hilaf-hilaf kepalamu botak, Mas. Gampang sekali kamu bicara. Kamu pikir kesalahhanmu sama halnya kaya maling celana dalam? dasar pria titisan kadal buntung," umpat Mira tampak emosi."Maafkan Mas, Sayang. Mas dijebak Diana. Sebenarnya Mas hanya mencintai kamu.""Mas, enak saja kamu menyalahkan aku," protes Diana.Aduh, kenapa Diana tidak mengerti posisiku. Aku hanya sedang berusaha mendapatkan maaf dari MIra. Kalau sampai MIra benar-benar meminta cerai, mendadak miskin diriku. Aku mana bisa membahagiakan Diana tanpa subsidi uang dari MIra. Selama ini, uangku hampir setengahnya terkuras karena harus memberi jatah bulanan pada ibu dan adikku. Kalau bukan karena bantuan uang dari MIra, kebutuhan rumah tak akan bisa terbiayai. Kenapa aku tidak menyadari kalau istriku sangat kaya. Kalau tahu dia pemiik perusahan, aku akan ekstra hati-hati ketika berselingkuh."Ini hadiah
"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman.""Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku. "Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu.""Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya.""Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpi
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a
"Su-suka, ma-maksudnya?" Bumi hanya tersenyum. Sementara diriku gelagapan. Mendadak salah tingkah. "Ya, aku suka sama kamu. Siapa orang yang tidak suka dengan perempuan cantik, baik, dan hebat sepertimu, Mir. Kamu juga sangat mandiri. Jadi, kamu harus selalu kuat. Percaya dengan dirimu sendiri.""Oh, gitu."Sial. Hampir saja aku kegeeran. Aku pikir Bumi menyimpan rasa yang aneh-aneh padaku. Ternyata dia hanya memuji untuk membangkitkan semangatku."Iya, emang kamu maunya gimana?""Ya gak gimana-gimana, Bumi. Sudah-sudah, jangan bicara aneh-aneh.""Aku tidak bicara aneh, Mira. Jangan-jangan pikiranmu yang aneh-aneh.""Enak saja.""Hehehe, gitu dong. Tampakkan muka kesalmu. Tidak baik menyimpan beban. Ekspresikan saja isi bisa.""Ekspresikan kaya gimana, Bumi? kalau aku tahu caranya, udah aku lakuin. Rasanya tuh, pengen marah-marah sambil Jambak rambut Si Pelakor. Sayang, tanganku terlalu berharga buat nyentuh dia.""Betul itu. Jangan kotori tanganmu. Lebih baik pake cara lain.""Cara
Kujual Suamiku di Status Fecabook Part 11 Musuh dalam SelimutPOV Adam "Sahabat penghianat!" Aku terus memaki Bumi sambil memukuk dia sekuat tenaga. Tak peduli badanku yang terus terkena pukulan, sampai terjengkang ke tanah. Aku tak akan membiarkan pria itu pergi, sebelum dia babak belur. "Sadar diri, Dam. Lu bukan suami yang baik. Kalau tidak bisa membahagiakan Mira, biarkan dia dibahagiakan pria lain.""Arrgh, sialan!"Aku bangkit lagi. Melayangkan pukulan bertubi-tubi. Sekarang, Bumi yang tergeletak lemah di tanah. Darah menetes dari pelipisnya. "Berhenti, berhenti, Mas. Gila kamu."Kepalan tangan melambung di udara. Padahal, satu pukulan lagi, aku jamin Bumi akan pingsan. Namun, Mira malah menahan. Dia memasang badan melindungi Bumi."Kenapa kamu bela dia, Mir. Sudah jelas-jelas dia menghasut kamu sampai minta ceria dan bersikap seperti ini.""Kamu gila, Mas? kenapa sih, kamu gak sadar-sadar juga. Coba sekali saja sadar diri dan akui kesalahan kamu. Sudah jelas-jelas kamu sel