POV Adam [Di jual barang kualitas bagus, dengan harga murah. Sekali memiliki, maka tidak akan menyesal sampai mati. Yang minat, langsung japri.]"Dam, Dam, liat status promosi di akun FB istri lu," ujar Rendi setelah membaca caption status jualan istriku dengan suara lantang. "Kenapa? paling dia promosi panci, wajan, dan perkakas masak lainnya. Lu, kaya baru liat status bini gua ajah.""Iya gua tahu. Tapi, sekarang dia jualan barang antik. Asli, lu pasti kaget liat barangnya.""Barang apaan?" tanyaku pada Rendi. Sementara mata fokus pada layar komputer. "Liat dulu. Gua yakin lu suka barangnya," ujar Rendi terkekeh.Aku langsung cek Facebook. Mencari akun jualan istriku. Mira memang seorang penjual olshop alat-alat dapur. Dia sangat suka memasak. Sehingga, bergabung dengan perusahan penjual alat dapur, untuk menjualkannya di media sosial, dan marketplace. Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-jangan Mira berjualan barang-barang aneh. Seperti benda penglaris atau benda ala-ala dukun
Tanganku mengepal kuat. Menahan sesak di dada. Merasa dilecehkan oleh istri sendiri. Tega-teganya Mira memposting fotoku bagaikan barang dagangan. Gila. "Prank kamu gak lucu, Sayang," ujarku menahan emosi. Mira mengambil posisi duduk. Wajahnya tampak tidak merasa bersalah. Dia malah memandangku dengan intens. Lalu, mengambil ponselnya. Mendadak hatiku berdegup kencang. Rasa marah sirna begitu saja. Digantikan kecemasan. Takut Mira mengetahui skandalku dengan Diana. Tak mungkin. Perempuan lugu seperti dia, akan mencari lebih jauh tentang kedekatanku dengan Diana. Aku juga berusaha menyembunyikan hubungan spesial kami dibalik kedok persahabatan. Supaya, Mira tak mencurigai semua rahasia yang sudah aku sembunyikan cukup lama. Bahkan, banyak orang percaya, aku dan Diana hanya sebatas sahabat dekat. "Aku gak prank Mas. Satatusku rame gara-gara posting muka kamu. Terus, lihat nih ...."Mira menunjukkan WhatsApp. Banyak pesan yang masuk dari pelanggannya. Ada yang meledekku, dan ada ya
[Di jual ... di jual ... beli sepuluh panci, bakal dapat bonus pria digambar ini. Bisa daftar jadi istri kedua atau ketiga, batas sampai keempat. Kalau mau jadi selingkuhannya juga boleh. Asal pancinya dibeli dulu kakak ... cus langsung japri.]"Mir, ini tanda tangan. Ada yang mau ajak kerja sama. Buat launcing model baru produk panci kita," ujar Tiara menyodorkan Map di meja kerjaku. "Iya, Ra. Sabar. Lagi asik nih.""Hadeh, lu masih aja posting suami lu di status? gak guna tau. Mending langsung cerein aja.""Hust, enak aja. Santai, Ra. Sebagai perempuan masa kini, kita harus main cantik. Buat tukang selingkuh menyesal. Lalu, hempasan, hahaha.""Heran, lu masih bisa ketawa. Padahal, udah tahu diselingkuhi. Emang bener-bener perempuan langka. Gua salut, punya temen kaya lu."Aku hanya menampakkan senyum termanis di dunia. Maklumi saja jika Tiara berbicara demikian. Dia belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga. Hanya tahu aku wanita yang tegar. Padahal, aku juga pernah menangis ke
"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik. "Ti-tidak usah, Mir. Kalian saja.""Ih, jangan gitu dong, Na. Aku punya konsep iklan yang bagus nih.""Ko-konsep apa?""Konsep Lempar Panci untuk Pelakor.""Maksud kamu apa pake konsep kaya gitu?" tanya Mas Adam tampak tidak suka. "Santai dong, Mas. Jadi, bos panci aku itu cewek, Mas. Dia suka konsep-konsep marketing yang unik. Sedangkan temen-temenku yang lain, pake konsep iklan yang biasa. Cuman pose mesra sama suami dan panci dagangannya. Kalau aku, mau pake ide yang berbeda. Tahu aja menang gitu.""Maaf, Mir. Aku gak mau," tolak Diana dengan senyum terpaksa. "Yah, ko, gak mau, Sih. Cuman kamu doang temen cewek kita. Tolonglah, bantu. Sekali ini saja. Demi hadiah rumah," ujarku mengatupkan tangan untuk memohon. Diana
POV Adam "Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa."Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu.""Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas.""Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan.""Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin
"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai kehilangan tambang emasku. "Hilaf-hilaf kepalamu botak, Mas. Gampang sekali kamu bicara. Kamu pikir kesalahhanmu sama halnya kaya maling celana dalam? dasar pria titisan kadal buntung," umpat Mira tampak emosi."Maafkan Mas, Sayang. Mas dijebak Diana. Sebenarnya Mas hanya mencintai kamu.""Mas, enak saja kamu menyalahkan aku," protes Diana.Aduh, kenapa Diana tidak mengerti posisiku. Aku hanya sedang berusaha mendapatkan maaf dari MIra. Kalau sampai MIra benar-benar meminta cerai, mendadak miskin diriku. Aku mana bisa membahagiakan Diana tanpa subsidi uang dari MIra. Selama ini, uangku hampir setengahnya terkuras karena harus memberi jatah bulanan pada ibu dan adikku. Kalau bukan karena bantuan uang dari MIra, kebutuhan rumah tak akan bisa terbiayai. Kenapa aku tidak menyadari kalau istriku sangat kaya. Kalau tahu dia pemiik perusahan, aku akan ekstra hati-hati ketika berselingkuh."Ini hadiah
"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman.""Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku. "Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu.""Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya.""Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpi
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun