POV Adam
[Di jual barang kualitas bagus, dengan harga murah. Sekali memiliki, maka tidak akan menyesal sampai mati. Yang minat, langsung japri.]
"Dam, Dam, liat status promosi di akun F* istri lu," ujar Rendi setelah membaca caption status jualan istriku dengan suara lantang.
"Kenapa? paling dia promosi panci, wajan, dan perkakas masak lainnya. Lu, kaya baru liat status bini gua ajah."
"Iya gua tahu. Tapi, sekarang dia jualan barang antik. Asli, lu pasti kaget liat barangnya."
"Barang apaan?" tanyaku pada Rendi. Sementara mata fokus pada layar komputer.
"Liat dulu. Gua yakin lu suka barangnya," ujar Rendi terkekeh.
Aku langsung cek F******k. Mencari akun jualan istriku. Mira memang seorang penjual olshop alat-alat dapur. Dia sangat suka memasak. Sehingga, bergabung dengan perusahan penjual alat dapur, untuk menjualkannya di media sosial, dan marketplace.
Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-jangan Mira berjualan barang-barang aneh. Seperti benda penglaris atau benda ala-ala dukun yang lainnya. Bisa malu diriku. Suaminya seorang pekerja kantoran, sedangkan istrinya jualan barang yang tidak jelas. Mau ditaruh di mana mukaku ini.
"Status yang mana?" tanyaku heran. Ketika sudah membuka akun jualan Mira. Tidak ada yang aneh. Dia berjualan panci seperti biasanya. Dengan caption yang cukup menarik. Banyak foto-foto alat dapur yang berseliweran di akunnya.
"Itu, status paling atas. Baru Dua jam yang lalu."
"Yang ini?" tanyaku mendekati Rendi. Menunjuk status istriku.
"Iya, yang itu. Buka foto-fotonya. Di foto paling akhir. Gua yakin lu suka barangnya."
Aku langsung buka foto-foto yang di shere istriku. Ada sekitar lima belas foto. Dari foto pertama sampai sepuluh tampak biasa saja. Tidak ada barang yang aneh.
Namun, di foto urutan sebelas sampai lima belas, aku sungguh kaget. Mata membelalak tak percaya. Mira mengirim fotoku dengan segala fose. Bahkan, di foto terkahir sangat mencengangkan. Ada fotoku yang sedang mencium tangan wanita. Namun, pada gambar wanitanya sengaja diburamkan.
"Eh, Dam, lu udah liat sw istri lu? gila. Kayanya dia tahu lu selingkuh," ujar temanku yang lain.
"Enak aja, lu. Gua gak selingkuh," hardikku kesal.
"Wah, ada istri jual suami. Serem amet," ledek Rendi.
"Diam, lu. Kerja-kerja."
Suara ledekkan perlahan meredup. Mereka fokus kembali dengan kerjaan masing-masing. Sedangkan aku, malah gusar sendiri. Aku takut Mira salah paham atas kedekatanku dengan Diana. Aku paham betul, perempuan dalam foto itu adalah Diana. Sahabatku sejak SMA, kuliah, sampai sekarang kami kerja satu perusahaan sekaligus satu tim.
"Mas, kenapa sama istri kamu? ko, bikin status gitu," ujar Diana saat jam makan siang.
"Gak usah dipikirin, Na. Biasalah, paling salah kirim Saking banyaknya foto panci, Mira sampe salah majang barang dagangannya," ujarku berusaha menenangkan Diana. Padahal, sedari tadi aku panik. Mira tidak bisa dihubungi setelah membuat status yang menggemparkan.
Tak mau teman hidupku itu gusar, atau sakit hati. Entah dia menyadari atau tidak, foto perempuan yang dibuat buram adalah fotonya. Semoga saja tidak sadar. Hubungan kami bisa berantakan kalau itu terjadi.
"Apa Mira gak mau kita deket lagi sebagai sahabat, Mas? kalau gitu, lebih baik kita saling berjauhan."
"Gak gitu, Na. Udahlah, jangan berpikir negatif. Sebelum kenal Mira, aku udah Deket sama kamu. Kita bakal tetep berhubungan sampai kapan pun."
"Tapi pertemanan kalian ini sudah kelewatan," cetus Bumi tiba-tiba duduk makan bersama.
Kami bertiga adalah sahabat dekat sejak SMA. Bedanya, Bumi lebih beruntung dari kami. Di usianya yang sekarang, dia sudah menjadi manager di perusahan ini. Berkat Bumi juga, aku dan Diana bisa diterima di perusahaan ini. Meskipun, dalam soal percintaan, Bumi sangat tidak beruntung. Berkali-kali diselingkuhin, dan akhirnya menjadi jomblo abadi.
"Kelewatan gimana, Sih, Mi. Sok tahu kamu tuh.""Hahaha, terserah kamu, Na. Kalian sebenarnya tahu, tapi pura-pura tak tahu. Tenang saja, aku tak akan ikut campur. Asal, jangan libatkan aku dalam urusan ini. Siap-siap Dam, takutnya ada perang dunia ketiga, hahaha."
Bumi bicara dengan meledek. Seakan-akan kejadian ini adalah lelucon. Aku berusaha bersikap biasa. Walaupun ucapannya membuat pikiran negatif mendominasi isi kepala.
"Udah, makan-makan," sergahku menghentikan topik pembicaraan yang tidak mengenakan.
Sampai waktu pulang kerja, aku masih memikirkan ucapan Bumi. Takut Mira marah, atau mengancam berpisah. Bahaya jika itu terjadi. Bisa langsung miskin diriku. Apalagi harus berhadapan dengan bapaknya Mira yang galak luar biasa. Mampus ....
"Mir, buka pintunya, Sayang. Mas pulang."
Aku berusaha memasang ekspresi semanis mungkin. Lebih baik bersikap seolah-olah tidak tahu. Dibandingkan harus bertanya, malah menambah masalah saja.
"Mira ...."
"Iya, Mas. Aku denger. Emang aku budek?"
Mira membuka pintu dengan wajah datar seperti biasa. Dia mempersilakanku masuk. Sikapnya tidak mencurigakan. Tampak baik-baik saja. Mungkin benar dugaanku, Mira hanya salah memposting foto. Dia tidak mungkin tahu apa-apa tentang rahasia yang aku simpan.
"Mir, kamu baik-baik aja 'kan?"
"Ya, baik-baik ajalah. Emang kenapa? lihat nih, dari atas sampe bawah masih lengkap. Heran, kesambet kamu, Mas?"
"Hehehe, enggak ...."
"Ya udah sana, mandi terus makan. Aku dah, makan duluan. Gegara laper. Jadi, kamu makan sendiri aja yah."
"Iya, Sayang gak papa."
Tanpa menjawab lagi, Mira langsung merebahkan tubuh di kasur. Aku mulai mencium keanehan dari tingkahnya. Baru aku sadari, sikapnya perlahan cuek. Apa hanya perasaanku saja?
"Hahaha, iya .... beneran."
Dari ruang makan, aku mendengar suara Mira sedang asik berbicara dengan seseorang. Mungkin, dia sedang menelpon sahabatnya.
"Hahaha ...."
Suara tawanya makin kencang. Istriku terdengar sangat bahagia. Ada apa gerangan? tidak biasanya Mira tertawa terbahak-bahak seperti itu. Perasaanku jadi tidak enak. Segera aku menyelesaikan makan, dan menyimpan piring kotor di dapur.
"Udah dulu, yah. Nanti aku telepon lagi."
Saat aku masuk ke kamar, Mira malah menutup sambungan teleponnya. Dia menarik selimut dan tidur membelakangiku. Aku makin curiga, ada yang tidak beres dengan istriku.
"Sayang ...."
"Hmmm."
"Mau dipijit?"
"Enggak."
"Kamu kenapa? ko, kaya beda. Aku buat salah?"
"Enggak."
"Hmm ... Mas boleh tanya sesuatu."
"Iya, apa?" tanya Mira masih dengan posisi yang sama. Dia seakan tak mau memandangku
"Kamu ... salah kirim foto Mas, yah?"
"Oh, foto yang di F* sama status wa?"
"Iya, itu salah kirim 'kan?"
"Enggak."
"Hahaha, jangan becanda Sayang. Gak mungkin kamu jual suamimu secara online."
"Emang kenapa? banyak yang nawar mahal, Mas. Liat deh, kolom komennya. Status aku jadi rame."
Aku tak melanjutkan lagi perbincangan dengan Mira. Memilih mengambil ponsel dan mencek status Mira. Benar saja yang dia katakan. Kolom komentar sudah berubah jadi wadah bergosip. Banyak kicauan para ibu-ibu yang ditanggapi Mira.
[Suaminya juga dijual, Mbak?][Cek harga]
[Wah, tampaknya suaminya selingkuh, nih. Beginilah kalau istrinya penjual online. Hahaha, mantap .... lanjutkan, Bun]
[Iya, Bun]
Balas Mira dengan emoticon tersenyum manis.
Tanganku mengepal kuat. Menahan sesak di dada. Merasa dilecehkan oleh istri sendiri. Tega-teganya Mira memposting fotoku bagaikan barang dagangan. Gila. "Prank kamu gak lucu, Sayang," ujarku menahan emosi. Mira mengambil posisi duduk. Wajahnya tampak tidak merasa bersalah. Dia malah memandangku dengan intens. Lalu, mengambil ponselnya. Mendadak hatiku berdegup kencang. Rasa marah sirna begitu saja. Digantikan kecemasan. Takut Mira mengetahui skandalku dengan Diana. Tak mungkin. Perempuan lugu seperti dia, akan mencari lebih jauh tentang kedekatanku dengan Diana. Aku juga berusaha menyembunyikan hubungan spesial kami dibalik kedok persahabatan. Supaya, Mira tak mencurigai semua rahasia yang sudah aku sembunyikan cukup lama. Bahkan, banyak orang percaya, aku dan Diana hanya sebatas sahabat dekat. "Aku gak prank Mas. Satatusku rame gara-gara posting muka kamu. Terus, lihat nih ...."Mira menunjukkan WhatsApp. Banyak pesan yang masuk dari pelanggannya. Ada yang meledekku, dan ada ya
[Di jual ... di jual ... beli sepuluh panci, bakal dapat bonus pria digambar ini. Bisa daftar jadi istri kedua atau ketiga, batas sampai keempat. Kalau mau jadi selingkuhannya juga boleh. Asal pancinya dibeli dulu kakak ... cus langsung japri.]"Mir, ini tanda tangan. Ada yang mau ajak kerja sama. Buat launcing model baru produk panci kita," ujar Tiara menyodorkan Map di meja kerjaku. "Iya, Ra. Sabar. Lagi asik nih.""Hadeh, lu masih aja posting suami lu di status? gak guna tau. Mending langsung cerein aja.""Hust, enak aja. Santai, Ra. Sebagai perempuan masa kini, kita harus main cantik. Buat tukang selingkuh menyesal. Lalu, hempasan, hahaha.""Heran, lu masih bisa ketawa. Padahal, udah tahu diselingkuhi. Emang bener-bener perempuan langka. Gua salut, punya temen kaya lu."Aku hanya menampakkan senyum termanis di dunia. Maklumi saja jika Tiara berbicara demikian. Dia belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga. Hanya tahu aku wanita yang tegar. Padahal, aku juga pernah menangis ke
"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik. "Ti-tidak usah, Mir. Kalian saja.""Ih, jangan gitu dong, Na. Aku punya konsep iklan yang bagus nih.""Ko-konsep apa?""Konsep Lempar Panci untuk Pelakor.""Maksud kamu apa pake konsep kaya gitu?" tanya Mas Adam tampak tidak suka. "Santai dong, Mas. Jadi, bos panci aku itu cewek, Mas. Dia suka konsep-konsep marketing yang unik. Sedangkan temen-temenku yang lain, pake konsep iklan yang biasa. Cuman pose mesra sama suami dan panci dagangannya. Kalau aku, mau pake ide yang berbeda. Tahu aja menang gitu.""Maaf, Mir. Aku gak mau," tolak Diana dengan senyum terpaksa. "Yah, ko, gak mau, Sih. Cuman kamu doang temen cewek kita. Tolonglah, bantu. Sekali ini saja. Demi hadiah rumah," ujarku mengatupkan tangan untuk memohon. Diana
POV Adam "Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa."Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu.""Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas.""Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan.""Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin
"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai kehilangan tambang emasku. "Hilaf-hilaf kepalamu botak, Mas. Gampang sekali kamu bicara. Kamu pikir kesalahhanmu sama halnya kaya maling celana dalam? dasar pria titisan kadal buntung," umpat Mira tampak emosi."Maafkan Mas, Sayang. Mas dijebak Diana. Sebenarnya Mas hanya mencintai kamu.""Mas, enak saja kamu menyalahkan aku," protes Diana.Aduh, kenapa Diana tidak mengerti posisiku. Aku hanya sedang berusaha mendapatkan maaf dari MIra. Kalau sampai MIra benar-benar meminta cerai, mendadak miskin diriku. Aku mana bisa membahagiakan Diana tanpa subsidi uang dari MIra. Selama ini, uangku hampir setengahnya terkuras karena harus memberi jatah bulanan pada ibu dan adikku. Kalau bukan karena bantuan uang dari MIra, kebutuhan rumah tak akan bisa terbiayai. Kenapa aku tidak menyadari kalau istriku sangat kaya. Kalau tahu dia pemiik perusahan, aku akan ekstra hati-hati ketika berselingkuh."Ini hadiah
"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman.""Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku. "Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu.""Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya.""Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpi
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a