"Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b
"Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra
"Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu
"Mas, apa benar keponakanmu, Habil mau sunatan?"Aku langsung menatap gugup ke arah Eva. Berusaha setenang mungkin. Jangan sampai dia tahu apa yang sedang aku sembunyikan darinya."Lah, kata siapa, Dek?""Kata Lala, sahabatku yang rumahnya deket perumahan Mbak Neli.""Terus kamu percaya?" Eva hanya menggeleng. Tangannya fokus menata baju-bajuku ke dalam koper."Gak usah dipercaya si Lala. Dia 'kan suka nyebar gosip gak bener. Kalau ada acara di rumah Kakakku, pasti kamu di suruh datang.""Iya juga yah, Mas.""Ya iya toh, Dek. Jangan berpikir macam-macam. Doakan bisnis kopi Mas lancar, yah. Biar bisa cepat pulang ke rumah."Maafkan aku, Eva. Suamimu ini telah berbohong. Aku bukan pergi bisnis kopi ke Lampung. Sebenernya, aku akan menghadiri acara sunatan Habil di jakarta. Aku tidak mungkin mengajak istri yang kampungan seperti Eva. Mbak Neli bisa marah-marah. Maklum saja, dia sudah lama hidup di kota. Gaya dan pergaulannya juga cukup moderen. Berbeda dengan Eva. Aku dan Eva memang tin
"Eva?"Kornea mataku membulat lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. Keberadaannya mulai terhalangi rombongan keluarga dan suadaraku yang baru datang dari klinik."Siapa Mas?""Ti-tidak, Nay. Ayok, kita sambut Habil."Jangan sampai Nayla tahu kecemasanku saat ini. Walaupun, Nayla memang sudah mengetahui statusku sebagai pria beristri, tapi bahaya jika mereka saling bertemu di acara sunatan. Bisa malu Mbak Neli kalau terjadi keributan."Mas mau ke mana?""Aku ke sana dulu, sebentar."Aku sengaja melangkah menuju rombongan. Ingin memastikan perempuan berkacamata yang terlihat misterius. Nayla, sengaja aku suruh tunggu di tenda acara."Kenapa, Di?" tanya Mbak Neli.Wajah Mbak Neli nampak bingung melihat gelagat aneh yang aku tunjukan. Sedangkan mataku terus melirik ke segala penjuru. Namun, nihil. Perempuan itu sudah menghilang. Padahal, aku yakin sekali dia sedang memandang ke arahku. Kapan dia pergi? ap
"Halah, jangan banyak omong. Pergi!"Mbak Neli meraung sambil menangis. Dia berada dalam pelukan ibu. Aku tahu perasaannya. Pasti kacau karena kejadian ini."Bangunkan mereka," perintah Bapak tua.Salah seorang anak buahnya mencipratkan air. Orang-orang yang tadi kesurupan dan pingsan, mulai sadarkan diri. Mereka bergegas keluar dari tenda hajatan."Dasar gila!"Mbak Ratna melempar Aqua gelas yang berserakan di tanah. Meluapkan emosi yang membuncah. Dia memang paling bar bar. Tak akan terima jika adiknya disakiti."Mending kita bubar aja, guys. Serem di sini. Pasti mereka banyak duitnya gak wajar. Mangkanya diganggu makhluk halus."Celetuk seorang perempuan tukang gosip. Dia menggiring opini buruk kepada para tamu yang hadir. Satu persatu, para tamu membubarkan diri."Maria, apa benar si Adi punya istri lain? atau salah satu anakmu nyewa jasa pesugihan?" tanya salah satu saudara kepada ibuku."Heh, Uwa Erna jangan bicara yang sembarangan. Istri Adi hanya satu, Nayla. Terus yah, kelu
[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?"Hallo, Dek?"Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?"Iya, Mas kenapa?""Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?""Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?""Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng.""Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa.""Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah.""Iya."Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayl
"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan.""Saya bukan pem-"Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. "Ratna, bawa Nayla ke kamar.""Oke, Bu.""Ayok, Nay.""Tapi, Mbak, Bu ...." "Masuk!" bentak Ibu geram.Tak ada yang bisa membantah ucapan Ibu. Nayla yang awalnya nampak ingin membongkar pernikahan kami, tiba-tiba tak bisa berkutik. Mbak Ratna, dengan sigap menariknya masuk ke kamar. Sedangkan aku, hanya bisa mematung bagai seorang sapi yang dicucuk hidungnya. "Ibu pasti kesal juga yah, sama kelakuan pembantunya? sabar yah, Bu. Pembantu kadang suka gitu," ucap Eva dengan enteng.Dia malah duduk sambil meminum air putih. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Eva yang biasa aku kenal. Ada apa sebenarnya?"Istirahatlah, Eva. Kamu pasti capek. Soal Nayla, biar ibu yang urus."Aku yakin Ibu sebenarnya marah pada Eva. Namun tak ada yang berani melawan. Ibu maupun Mbak Ratna, selalu bersikap manis pada Eva. Meskipun, kenyataannya Eva hanya dimanfaatkan saja. Demi harta