Ada hal yang tak bisa kusampaikan dan hanya sampai di ujung lidah. Melihat kedua orang tuaku yang terus mengukir senyum, bagiku itu sudah cukup. Melihat kedekatan dua keluarga yang begitu akrab, rasanya semua sudah lengkap.Tak peduli aku harus menikam perasaanku sendiri. Biarlah kujalani, jika ini memang takdirku. Saat ini, yang bisa kulakukan hanya menerima dan menghadapi yang ada di depan mata.Melintas lagi, pesan ibu semalam, "akan lebih baik jika kita yang dicintai oleh pasangan, dari pada kita yang mencintai pasangan. Sebab kita akan diratukan, oleh orang yang tepat, yang mencintai kita."Ingin sekali aku menjawab, akan lebih baik kalau saling mencintai, Bu. Namun kalimat tersebut hanya bisa kutelan lagi. Kusimpan untukku sendiri.Menunjukkan wajah bahagia, meski di hati terasa tak sama. Semua kulakukan demi mereka. Biarlah kukubur rasa ini, di dalam hati, karena hati wanita ialah sedalam samudera."Terima kasih, ya, Nak, sudah ber
"Eh, sudah bangun, ya? Jam berapa sekarang, Dek?" tanyanya sambil berusaha membuka lebar kedua matanya."Nggak tau. Jam berapa, Bu? tanyaku pada ibu."Sudah mau setengah enam. Ayo, bangun. Sudah kesiangan ini Subuhnya."Gegas Mas Dika beranjak dari duduknya, lantas ke kamar mandi. Aku menyusul kemudian.."Mas, makasih, ya?" ucapku, saat Mas Dika mulai melajukan mobilnya di jalan beraspal, bergabung dengan kendaraan lain."Makasih buat apa, Dek?""Buat, selimut, sama nemenin di belakang," ucapku lirih. Ada rasa takut sebenarnya, takut diinterogasi sama Mas Dika."Oh, iya, nggak apa-apa."Tumben nggak nanya kenapa, Mas?"Maaf ya, Mas ... .""Maaf buat apa?""Maaf kalau, aku, melangkahi Mas Dika lagi," ujarku, lantas menunduk."Sudah, nggak usah dipikirin. Mas nggak apa-apa, malah seneng lihat kamu, bentar lagi ada yang jagain. Iya, kan?""Iya, Mas. Makasih, ya Mas.
Setelah kejadian lamaran mendadak itu, hari berlalu dengan apa adanya. Tidak semua hari berjalan dengan baik. Tapi, pasti ada hal baik di setiap harinya. Seperti halnya hari ini. Melihat Sinta yang begitu antusias mendengarkan ceritaku, itu juga satu kebahagiaan tersendiri bagiku.Ia yang belakangan sering mencemaskan kondisiku, kini terlihat tersenyum lega. Senyum yang dengan cepat menjalar padaku. Ia yang banyak mengajarkan aku cara bersyukur, sebab ia tak seberuntung aku, yang memiliki keluarga lengkap."Selamat ya, Na. Aku ikut seneng dengernya," ucap Sinta sungguh-sungguh. Ia lantas memelukku. Lama. Aku bahkan dapat melihat kaca-kaca bening menghiasi bola matanya."Makasih, ya, Sin.""Sama-sama. Terus, si Bapak ini gimana, dong?""Bapak yang mana?""Yang itu." Ia mengisyaratkan ke sebuah ruangan di mana Pak Hanan berada."Ya, nggak gimana-gimana. Emang maunya gimana?"Tadinya, aku udah seneng dan
Aku menanggapi sekedarnya. Tepatnya, lebih banyak diam dan menyimak keramaian anak-anak di depan kami."Deal, ya?" ia bertanya, sedangkan aku tak mengerti tadi ia membahas apa."Iya," jawabku singkat. Perhatianku masih tertuju dengan anak kecil yang mulai lelah naik perosotan, hingga beberapa kali terjatuh saat menaiki tangganya."Kak, ada es krim putar, beli, yuk," ujarku, saat melihat penjual es krim putar bergerak mendekat ke arah kami duduk."Boleh."Gegas ia berdiri dan melambaikan tangan, memanggil penjual es krim putar supaya mendekat.Bibirku ikut tersenyum, melihat Kak Dirga menyelipkan lembaran warna biru tanpa meminta kembalian, pada penjual es krim tersebut. Hampir selalu seperti itu jika ia membeli sesuatu pada penjual keliling, yang akhirnya aku pun meniru. Ia kembali ke bangku tempatku duduk dengan membawa dua cone penuh es krim."Terima kasih, Kak.""Sama-sama, Sayang. Kamu seneng banget sama es krim, ya?" tanyanya, sambil tangann
Apa yang terbayang, saat mendengar kata 'ibu mertua'?Ialah wanita, yang melahirkan calon suami, yang kelak akan menjadi orang tuaku juga. Ialah yang menjadi cinta pertama bagi anak lelakinya. Setidaknya, demikianlah yang ada dalam bayanganku. Tak sedikit kisah kisruh menantu dan mertua yang menjadi momok menakutkan bagi seorang calon pengantin sepertiku. Perseteruan menantu dan mertua yang tak ada habisnya, kerap kali menyapa indera pendengaranku.Tak sedikit juga, beberapa teman mengisahkan kisah pahitnya setelah berumah tangga. Beberapa ada yang merasa tertipu, sebab ia tak lagi menjadi tulang rusuk bagi suami, tapi berbalik menjadi tulang punggung. Bahkan beberapa mengaku harus bertahan dalam kepahitan demi buah hati, agar memiliki sosok orang tua yang lengkap, tak peduli ia harus mengorbankan perasaan sendiri.Beberapa yang lain, memilih berpisah, lantas kembali menjalani hidup tanpa sosok seorang suami, demi menjaga kesehatan jiwa dan mental. Sedangkan bu
Melihat bunga yang tumbuh subur, membuat hatiku ikut mekar juga saat berada di tempat ini. Mau berlama-lama juga aku bakalan betah kala kondisinya begini."Iya, Kak. Pasti tangan yang terampil dan telaten yang telah merawat mereka, hingga tumbuh subur dan berbunga sangat cantik.""Calon mertua kamu itu, ngeliatin," bisiknya, sambil memberi kode ke arah pintu masuk.Kedua mataku membesar, sebab tak menyadari keberadaan beliau. Detik berikutnya, aku segera beranjak untuk memangkas jarak dengan orang tua Kak Dirga. Beliau terlihat tersenyum senang, serta kedua matanya berbinar."Assalamu'alaikum Bu, maaf, tadi saya khilaf," ujarku. Duh, bicara apa aku ini?"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah, syukurlah kalau kamu suka berada di sini. Tidak apa-apa, ibu malah senang kalau kamu menikmati apa yang ada di rumah ini. Mau masuk, apa di sini dulu, Nak?" ucapnya penuh dengan keramahan.Sekilas aku melirik Kak Dirga
Setelah melewati proses panjang dan melelahkan, akhirnya hari itu tiba juga. Tenda pernikahan telah terpasang sejak kemarin sore. Demikian halnya dengan panggung pelaminan. Semua orang telah sibuk sejak beberapa hari yang lalu, menyiapkan segala tetek bengek yang dibutuhkan untuk hajatan pernikahan ini.Kerabat jauh berdatangan, untuk menyaksikan acara yang akan digelar. Tetangga kiri kanan tak ketinggalan ikut ambil bagian.Badanku telah diberi bermacam lulur sejak kemarin, berharap kulitku terlihat bersinar di hari besar ini. Hari yang menjadikan aku sebagai ratu sehari. Hari yang menggantikan statusku dari julukan perawan tua, menjadi seorang istri dari lelaki bernama Dirgantara.Ia, lelaki yang mencurahkan cinta padaku, juga keluargaku, selama beberapa waktu belakangan ini. Ia, yang memiliki banyak kesamaan dan kebetulan denganku dalam menjalani roda kehidupan. Ia, yang menjanjikan manisnya madu pernikahan. Ia, yang menjadi calon menantu kesa
"Kamu tau apa yang paling ingin kulihat sekarang, Na?" ucapannya kali ini, mau tak mau membuat aku mendongak untuk melihat dan mendengar apa yang akan ia sampaikan lagi."Apa itu, Kak?" tanyaku tak mengerti. Sungguh aku tak mengerti dengan pertanyaan yang ia lontarkan."Aku ingin melihat cinta di matamu, seperti dulu. Kemana ia sekarang, kenapa aku tak menemukannya? Lihat aku, Na. Katakan, apa kamu mencintai aku?" ujarnya dengan memegang kedua bahuku.Aku bergeming, untuk sesaat kedua mata kami bertemu, lantas aku membuang wajah, tak berani menatap ke dalam mata itu. Di mana hatiku, yang tega menyakiti orang-orang yang selama ini peduli padaku? Salahkah aku, jika hati ini tak ada di sini saat ini? "Pertanyaan apa ini? Bukankah, kita akan menikah beberapa saat lagi? Bukankah, kedua keluarga kita sudah seperti keluarga sendiri? Kenapa masih bertanya tentang cinta?"Aku meracau sendiri, tak mengerti apa yang terjadi. Benar memang, aku