"Po-polisi?" Marisa tergeragap menjawab ucapan peneleponnya.
"Betul, Bu. Saya Aiptu Rizal dari kepolisian Mojokerto."
"Mo-Mojokerto?" Kembali suara gagap Marisa terdengar. Perasaan perempuan cantik itu mulai tidak enak.
"Benar, Bu. Kami menghubungi karena ingin bertanya, apa ibu kenal dengan Bapak Irawan Syahputra? Catatan panggilan terakhir di ponsel Pak Irawan adalah nomor Ibu."
"Pak Irawan suami saya. Memang ada apa, Pak? Kok ponsel suami saya bisa di tangan bapak?"
"Mohon maaf, Bu. Pak Irawan mengalami kecelakaan di Tol Mojokerto. Sekarang beliau dilarikan ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto."
"A-apa, Pak? Ti-tidak mungkin! Suami saya dinas ke Malang. Jadi mana mungkin ada di Mojokerto?" Marisa membantah penjelasan dari peneleponnya. Namun, dia juga bingung kenapa ponsel suaminya ada di tangan polisi. Kepolisian Mojokerto pula. Bagaimana bisa?
"Silakan dicek langsung ke rumah sakit, Bu. Sementara ini kendaraan dan semua barang di dalam mobil akan kami amankan untuk penyelidikan. Ibu akan kami hubungi kembali."
Tanpa menunggu jawaban Marisa polisi menutup pembicaraan. Perempuan itu berpegangan ke pinggir meja untuk beberapa saat. Namun, rasa terkejut yang teramat sangat membuatnya tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia melorot dan suara terakhir yang masuk ke telinganya adalah jeritan para muridnya.
"A-aku di mana?" Mata Marisa mengerjap berulang kali. Sesekali dia memicing ketika cahaya lampu masuk ke dalam matanya.
"Ibu Marisa sudah sadar? Tadi ibu pingsan di dalam kelas?" jawab guru piket UKS.
"Saya? Pingsan?" tanya Marisa dengan nada tak percaya. Setelah melihat guru perempuan yang berdiri di samping ranjang UKS, ingatan Marisa kembali ke beberapa saat lalu. Terakhir dia menerima telepon dari seseorang yang mengatasnamakan Kepolisian Mojokerto. Anehnya orang tersebut menggunakan ponsel Irawan, suaminya.
"Mas Irawan … Mas Irawan," Marisa menyebut nama suaminya lirih. Lalu tangisnya meledak tanpa bisa ditahan.
"Lho … Bu Risa kenapa?"
Melihat tangis Marisa yang semakin kencang, rekan gurunya semakin kebingungan. Dia mengguncang lengan Marisa beberapa kali dan kemudian memeluknya erat sampai tangis Marisa mereda.
"Istighfar, Bu," hiburnya sambil mengelus rambut hitam Marisa. "Saya ambilkan minum, ya?"
Beberapa saat kemudian guru wanita yang sudah setengah baya itu mengangsurkan segelas teh manis hangat kepada Marisa.
"Minumlah selagi hangat, Bu Marisa. Semoga bisa meredakan rasa gundah Ibu. Setelah itu kalau Ibu mau cerita masalahnya ke saya juga boleh. Barangkali dengan bercerita bisa melegakan hati Ibu." Guru yang biasa dipanggil Ibu Aisyah itu membantu Marisa duduk di pinggir kasur dan meminum teh.
"Terima kasih Bu Aisyah," ucap Marisa. Meski lelehan air mata masih mengalir di pipinya, tetapi dia sudah tidak menangis histeris seperti tadi. Setelah meneguk separuh isinya, Marisa mengangsurkan gelas ke Bu Aisyah kembali. "Saya sudah lebih tenang sekarang."
Ibu Aisyah menerima gelas sambil menatap Marisa. "Syukur Alhamdulillah. Omong-omong kenapa kok Ibu tadi sampai pingsan dan menangis? Kalau Ibu Marisa mau cerita, saya siap mendengarkan."
"Ta-tadi saya terima telpon dari polisi, Bu. Anehnya dia menggunakan nomor ponsel suami saya. Katanya … katanya … suami saya kecelakaan di tol SUMO. Itu nggak mungkin karena suami saya dinasnya ke Malang. Kira-kira apa itu penipuan ya, Bu?"
"Wah saya kurang tahu juga, Bu. Apa coba ditelpon saja? Barangkali bisa dapat kepastian."
"Ibu benar. Ponsel saya di kelas."
"Tidak, kok. Tas dan ponsel Bu Marisa tadi dibawakan ke sini. Itu di meja samping kasur."
Marisa menengok ke balik punggungnya. Tangannya meraih tas dan merogoh mencari ponsel. Setelah ditemukan, jarinya segera memencet tombol panggilan cepat ke nomor suaminya.
"Tidak tersambung," ucap Marisa lirih dan kembali mengulangi menekan nomor yang sama. Dia baru berhenti mencoba setelah menelepon tiga kali dan tidak tersambung.
"Tadi Bu Marisa bilang dari kepolisian mana? Coba saya bantu carikan nomor telpon kantornya. Penelepon sebut nama atau tidak?"
"Saya ingat-ingat dulu, Bu." Kening Marisa berkerut-kerut memikirkan kejadian sebelum dia mengalami pingsan.
"Kalau tidak salah namanya Aiptu Rizal."
"Oke, Bu Marisa. Coba Ibu telpon nomor ini. Saya dapat dari teman polisi yang dinas di Jombang." Bu Aisyah menunjukkan sederet nomor yang ada di ponselnya.
Tanpa menunggu lama Marisa segera menghubungi nomor kantor kepolisian Mojokerto. Dia bercerita tentang telepon yang tadi pagi dia dapat dan meminta disambungkan dengan Aiptu Rizal.
"Jadi beliau sedang di luar kantor? Kira-kira kembali pukul berapa ya?"
Marisa mendengar orang yang menerima teleponnya bertanya kepada seseorang.
"Aiptu Rizal sedang menangani kasus kecelakaan di Tol SUMO, Bu. Jadi tidak bisa dipastikan kapan kembali ke kantor."
"Ja-jadi me-memang ada kecelakaan di Tol SUMO?" Tubuh Marisa gemetar. Dia bertanya dengan terbata-bata.
"Ada Bu. Korbannya sudah dibawa ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto."
Telepon digenggaman Marisa luruh. Dia bahkan belum menutup telepon dan mengucapkan terima kasih saat menerima informasi itu. Tangisnya kembali pecah dan lebih kencang dibanding sebelumnya.
"Lho … lho ada apa Bu Marisa? Tenang … tenang, Bu."
Marisa meraup ponselnya yang tergeletak di kasur dan melemparkannya ke dalam tas. Sambil terus menangis dia turun dari kasur dan ingin segera beranjak.
"Mau kemana, Bu?" cegah Bu Aisyah buru-buru.
"Saya mau ke Mojokerto, Bu. Kecelakaan itu benar-benar terjadi dan saya ingin memastikan korbannya bukan suami saya."
"Tapi tidak bisa begitu, Bu." Bu Aisyah menahan lengan Marisa. "Kenapa tidak bisa?" Mata Marisa melotot marah ke arah rekan gurunya itu. "Bu Marisa tidak bisa pergi dalam kondisi syok begini! Lihat kaki Ibu! Bahkan Ibu tidak mengenakan sepatu karena masih terguncang. Sebaiknya ibu menghubungi keluarga dan meminta mereka mengantar Ibu. Bahaya kalau Ibu pergi sendirian."Marisa terdiam mendengar ucapan rekannya itu. "Bu Aisyah ada benarnya," batin Marisa. Jadi, dia berusaha keras menguasai dirinya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. Perempuan itu juga menurut ketika Bu Aisyah membimbingnya duduk di sofa di ruang UKS. "Ibu mau memastikan korban kecelakaan Tol SUMO ke mana? Apa Bu Marisa sudah tahu tujuannya di Mojokerto?" tanya Bu Aisyah sambil mengelus pelan lengan Marisa. "Sudah, Bu. Saya mau ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto. Polisi yang menelepon saya tadi pagi bilang kalau korban dibawa ke sana." "Kalau sudah jelas alamat yang dituju, Bu Marisa bisa h
"Mas Rian apa-apaan, sih!" Marisa balas membentak. Dia merasa kesal dengan ulah Rian yang absurd. Tangannya sampai memerah karena ditepis tangan Rian yang besar. Ditambah masih harus menerima bentakan."Maaf Risa tadi itu spontan." "Memangnya kenapa kalau ada suara radio di mobil? Biar nggak sepi, Mas. Pikiranku sekarang ini lagi sumpek, jadi pengen dengar lagu-lagu gitu." "Cuma dengar lagu, kan? Bisa dengerin lewat HP. Mau Mas pinjemin ponsel Mas? Koleksi lagunya banyak dan bagus-bagus," bujuk Rian. "Gak cuma lagu, sih. Risa juga mau dengerin berita. Biasanya kan di E-100 ada berita macam itu." "Sudahlah Risa. Lebih baik kamu tidur. Pulihkan dulu kondisi mental kamu. Perjalanan masih jauh. Kalau bisa istirahat, kamu akan lebih tenang." Marisa terdiam mendengar perkataan kakak sepupunya itu. Dia menoleh dan menatap sepupunya dari samping. Lelaki itu tampak serius dengan permintaannya. "Iya kamu benar, Mas. Lebih baik aku tidur. Lumayan bisa satu jam." Rian mengangguk. "Katakan
"Aku belum nemu fotonya di google.""Ada yang tahu akun medsosnya?"Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan. "Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian. "Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat. Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi. Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian."O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?" "Saya kakak iparnya dan ini istrinya.""O kala
"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!" Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil. Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika. "I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya. "Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita." "Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh." Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartaw
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin